Harum Cempaka Dalam Cinta 2 Putri Bangsawan Aceh

Cempaka
Cut Nyak Meutia (kiri) dan Cut Nyak Dhien. Foto kolase dari dokumen sejarah.

Dua kuntum cempaka itu lahir dalam zaman yang sama. Meski lebih muda, namun Cut Nyak Meutia lebih dahulu gugur di medan juang, nun di pedalaman rimba Negeri Pase. Sedangkan Cut Nyak Dhien, menghadap Ilahi Rabbi di Sumedang, Tanah Pasundan. Cut Nyak dijauhkan dari negeri yang amat ia cintai. Keduanya mengorbankan segalanya demi satu hal: cinta!

Cut Nyak Meutia lahir di daerah Ulebalang Keureutoe, Pirak, pada 1870. Ia merupakan buah hati pasangan Teuku Ben Daod Pirak-Cut Jah. Ia merupakan perempuan satu-satunya di antara lima bersaudara. Sebagai bungsu, Cut tentu menjadi kesayangan keluarga.

ketika Cut Nyak Meutia lahir, Perang Aceh belum dimulai. Perang besar tersebut baru dimulai tahun 1873, setelah pihak Belanda mendapatkan informasi bahwa pada 1 Maret tahun yang sama skuadron Angkatan Laut Amerika Serikat yang dipimpin oleh Laksamana Thornton Alexander Jenkins, berangkat ke Aceh untuk membantu Kesultanan Aceh.

Baca: Belanda Akui Aceh Bangsa Besar

Sebagai puteri bangsawan, Cut Nyak Meutia mendapatkan pendidikan yang bagus di lingkungan keluarga. Ia ditanamkan nilai-nilai cinta kepada bangsa, kepada agama, dan tentu saja cinta kepada keluarga. Cempaka yang harum itu benar-benar dididik sebagai calon ibu dan calon istri yang kelak dapat menjadi pelita untuk keluarga.

Demikianlah ketika suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjhik Ditunong mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, sang cempaka ikut serta. Membantu suami menyiapkan logistik, mengatur siasat, serta keluar masuk rimba, demi membela bangsa.

Bagi Cut Nyak Meutia, takzim kepada suami yang sedang berjuang di jalan Allah, merupakan bentuk kepatuhannya kepada Ilahi Rabbi, serta pengabdiannya kepada bangsa.

Pada suatu persilangan masa, Teuku Muhammad berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Lhokseumawe. Peristiwa itu terjadi pada Maret 1905. Cut Nyak gelisah, sang belahan jiwa telah tertawan. Ia selalu berdoa sembari berharap ada keajaiban bila sang suami berhasil meloloskan diri. Namun takdir tidak dapat dilawan. Tidak lama setelah ditangkap, Ampon Muhammad dihukum mati di tepi Pantai Lhokseumawe, di bibir riak Selat Malaka.

Mendapatkan kabar kematian sang suami, Cut Nyak merasa seperti disambar petir. Pria pujaan hatinya, sahabat dalam suka dan suka, teman dalam perjuangan membela bangsa, kini telah gugur sebagai kesuma bangsa.

Sebelum ajal menjemput, Ampon Muhammad sempat berwasiat kepada sahabatnya Pang Nanggroe. Bila kelak ia harus gugur di tangan Belanda, sudilah sang sahabat menikahi Cut Nyak Meutia, demi menjaga moral sang wanita, sekaligus merawat putra mereka Teuku Raja Sabi yang masih belia.

Pang Nanggroe menyampaikan wasiat itu kepada sang cempaka. Perempuan tersebut menerima wasiat itu dengan penuh kelapangan dada. Mereka menikah dan melanjutkan perang melawan penjajah.

Pada suatu pertempuran yang terjadi pada tahun 26 September 1910, Pang Nanggroe gugur. Cut Meutia dan perempuan pejuang lainnya, telah diminta menyelamatkan diri ke dalam hutan. Pasukan mereka hadapi bukan tentara biasa. tapi korps Marechausée yang terkenal beringas dan ahli dalam pertempuran jarak dekat, serta sangat menguasai taktik antigerilya. Di Paya Cicem, Pang Nanggroe gugur setelah segenap upaya mengalahkan tentara elit Belanda.

Kemampuan pasukan khusus tersebut, dapatlah dikatakan setara dengan Pasukan Rajawali yang merupakan percampuran Kostrad dan Kopassus dalam pelaksanaan operasi militer di Aceh era tahun 2000-an.

Bila Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910, Cut Nyak Meutia Gugur pada 24 Oktober tahun yang sama. Lokasi persembunyiannya di belantara Pase—Aceh Utara—berhasil ditemukan oleh pasukan musuh. Lagi-lagi, sang cempaka kalah melawan Marechausée yang sangat terlatih. Ia gugur di Alue Kurieng sebagai kuntum harum pertiwi. Cut Nyak menutup mata pada usia 40 tahun.

Cempaka dari Lampadang

Nun di sana, tepatnya di Lampadang, Aceh Besar, pada tahun 1848, lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Cut Nyak Dhien. Ia merupakan putri Teuku Nanta Setia, yang merupakan Ulebalang VI Mukim. Sedangkan ibu Cit Nyak merupakan putri seorang Ulebalang Lampageu.

Sebagai puteri ulebalang Cut Nyak Dhien telah akrab dengan politik sejak remaja. Ia memahami betul semangat orang Aceh. Demikian pula setelah menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, yang merupakan putra seorang Ulebalang Mukim 13 Sagie 26 yang bernama Teuku Ujong Aron.

Mereka menikah pada tahun 1962. Saat itu usia sang cempaka 14 tahun. Sebelum menikah ia telah dibekali pelajaran tentang Islam dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan rumah tangga.

Sang suami bersama Teuku Nanta Setia dan para pejuang lainnya, bertempur melawan Belanda ketika sang penjajah pertama kali mendarat 26 maret 1873. Setelah berjuang selama belasan tahun, tepat pada usia perkawinan mereka 16 tahun, Teuku Ibrahim Lamnga gugur di medan tempur.

Cut Nyak Dhien berduka. Ia terluka. Sedih dan marah bercampur aduk. Ia ingin membalas Belanda secara langsung. Ketika Teuku Umar datang meminangnya pada 1880, Cut Nyak Dhien bersedia dengan syarat, dirinya diperbolehkan terjun langsung ke medan laga, melawan kaphe penjajah yang tak tahu malu menduduki negeri yang bukan milik mereka. Teuku Umar menyepakati syarat tersebut. Mereka pun menikah.

Ketika Teuku Umar balik badan dan bekerjasama dengan Belanda—sebagian menyebutkannya sebagai taktik perang—pada 1883, Cut Nyak dikabarkan kecewa. Namun tetap setia mendampingi sang perwira yang telah berjuang membela Aceh sejak usia 19 tahun. Ia yakin ada sesuatu yang sedang direncanakan oleh Teuku Umar.

Hal itu terbukti, pada tahun 1884 Teuku Umar kembali melawan Belanda setelah mengelabui penjajah memanfaatkan peristiwa penyanderaan Kapal Nicero oleh Raja Teunom.

Mereka kemudian melanjutkan perjuangan membela Aceh dengan cara gerilya. Masuk dan keluar hutan dengan cara sembunyi-sembunyi. Perlawanan keduanya yang dibantu oleh mujahidin lainnya membuat Belanda sakit kepala. Mereka menjadi buronan utama.

September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.

Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi setiap panggilan dari Gubernur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan yang memuaskan, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda.

Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.

Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin pejuang Aceh, membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara di hadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Belanda kembali tertipu.

Setelah Teuku Umar gugur pada 1899 di Meulaboh, Cut Nyak Dhien tak menghentikan perlawanan. Ia bergerak melanjutkan peperangan bersama sekutu-sekutunya.

Meski semangatnya terus berkobar, dan mengharamkan tubuhnya disentuk kafir Belanda, namun sang cempaka nan indah tak dapat melawan waktu. Di dalam rimba ia diserang menyakit asam urat akut. Matanya rabun, dan kesehatannya semakin mengkhawatirkan.

Kondisi Cut Nyak yang demikian, membuat Panglima Laot yang setia membersamainya dalam perjuangan, jatuh iba. Perempuan setua itu masih harus keluar masuk rimba, demi sebuah perang yang tak jelas kapan akan berakhir.

Pang Laot akhirnya secara diam-diam turun gunung, melaporkan diri ke Belanda. Menyampaikan posisi persembunyian Cut Nyak Dhien, cempaka yang kian layu karena dimakan masa. Pang Laot tidak ingin mendapatkan kompensasi apa pun dari Belanda. Tujuannya melaporkan keberadaan Cut Nyak Dhien, bukan hendak menjual perjuangan. Semata hanya ingin perempuan itu mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Dapat beristirahat dengan tenang di usianya yang sudah renta.

Ketika Belanda menyerang persembunyian Cut Nyak, sang perempuan marah besar. Ia mengobarkan perlawanan. Namun apalah daya, kondisinya sudah rapuh. Ia sangat marah kepada Pang Laot. Memaki lelaki tersebut sembari mencoba menikamnya dengan rencong. Tapi karena matanya yang tak lagi awas, Pang Laot tidak berhasil ditikam.

Pria itu tak membalas ketika perempuan itu memaki-makinya. Ia hanya dapat menghela nafas. di mata Cut ia telah menjadi pengkhianat. Namun dalam sanubarinya, ia tak ingin perempuan itu terus hidup dalam kondisi tak menentu. Selalu ada risiko atas tiap pilihan. Pang Laot telah jadi pengkhianat di mata sang sahabat.

Belanda sangat menghormati puteri Teuku Nanta Setia sang cempaka dari Serambi Mekkah. Mereka mengobati sang srikandi hingga berangsur-angsur sembuh. Namun karena pengaruhnya masih sangat besar, ia akhirnya diasingkan ke Sumedang, ke tanah Pasundan.

Sang cempaka kesuma bangsa menutup mata pada 6 November 1908 pada usia 60 tahun.  Ibu Perbu dikuburkan bersama kenangan dan rasa cinta mendalam terhadap negerinya; Aceh.

Disadur dari: Perang Kolonial Belanda di Aceh, buku Cut Nyak Dien, Tagar.id, detik, acehnetwork.com, buku Membedah Sejarah Aceh, Cut Nyak Dien; Kisah Ratu Perang Aceh, dan sumber-sumber lain.

Artikel SebelumnyaPerbaikan Jalan Lampung Akan Diambil Alih Pemerintah Pusat
Artikel SelanjutnyaJalur Masuk Pulau Banyak Dangkal
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here