Harga beras menanjak tajam. Baru-baru ini harga beras layak konsumsi kelas menengah di Aceh Rp2.15.000/ zak. Sangat menguras kantong. Di mana-mana suara teriakan terdengar. Meski belum ada laporan kelaparan, tapi naiknya harga beras membuat para ibu empot-empotan mengelola keuangan keluarga.
Dari laporan yang diterima Komparatif.Id, semakin banyak ibu-ibu yang mengawasi anak-anak mereka saat makan. Siapa saja yang tidak habis, harus habis. Bila tak habis, maka wajib habis.
Pedagang nasi menyesuaikan diri. Harga nasi tidak dinaikkan, tapi volumenya dikurangi.
Baca: Mendagri Ajak Tinggalkan Beras Karena Tidak Sehat
“ratapan” semakin kencang karena TikTok Shop dipaksa berhenti beroperasi. Para reseller kelimpungan mencari sumber pendapatan baru. Harga beras naik, cari kerja sulit, eh, TikTok Shop tiba-tiba ditutup. Sudah jatuh ketimpa tangga. Sakitnya terasa hingga ke ulu hati.
Menanggapi semakin mahalnya harga beras, Mendagri Tirto Karnavian, Selasa (3/10/2023) mengajak rakyat Indonesia mengurangi konsumsi beras. Beras tidak sehat. Mengonsumsi beras menyebabkan diabetes. Dia mengimbau masyarakat beralih mengonsumsi sorgum, sagu, sukun, jagung, talas, yam, dll.
Pernyataan Mendagri Tito Karnavian sepintas menarik. Sangat cocok bila disampaikan oleh dosen di dalam kelas; saat berceramah tentang pangan alternatif pengganti beras. Pernyataan dosen bersifat pengetahuan. Tapi kalau Tito bicara atas nama Mendagri, artinya yang ngomong adalah negara.
Ketika negara yang bicara, seharusnya tidak demikian. Karena dengan pola tersebut, menimbulkan reaksi negatif. Mendagri kok bicara demikian? Seharusnya Menkes yang ngomong.
Baca: TikTok Shop Resmi Berhenti, Netizen Mengeluh
Beras telah menjadi persoalan akhir-akhir ini. Harga beras semakin mahal. Penyebabnya macam-macam. Menurunnya jumlah panen akibat el nino. Pembatasan—bahkan penghentian impor sejumlah negara penghasil beras, dan program food estate yang sepertinya belum berhasil.
Terlepas dari itu, bicara produk pengganti tidak serta merta dapat dilakukan. Indonesia memang memiliki sejumlah sumber karbohidrat alternatif. Seperti sorgum, sagu, ubi, sukun, dll. Tapi apakah sumber karbohidrat alternatif tersebut tersedia dalam jumlah yang banyak? Apakah lebih mudah diproduksi? Apakah lebih efisien saat diolah? Serta, apakah lebih sehat?
Kalau bicara efek negatif, beras mengandung gula yang menyebabkan diabetes. Sagu bila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak menyebabkan kembung dan sembelit. Sehingga tidak aman untuk penderita jantung dan diabetes.
Lalu bagaimana dengan sorgum? Kandungan senyawa saponin menyebabkan alergi bagi yang pertama mengonsumsinya. Bentuk alerginya bisa gatal-gatal, mual, dan pusing.
Mengapa bisa terjadi demikian? Karena sistem pertahanan tubuh akan melawan saponin yang masuk. Hasilnya, bisa berujung ke klinik kesehatan.
Bagaimana caranya supaya kandungan saponin bisa berkurang? sorgum harus diolah secara khusus dan pengolahnya harus dilatih. Yakin pemerintah punya waktu melatihnya? Program pemberdayaan skala kecil saja dikorupsi oleh pelaksana, boro-boro serius melatih rakyat mengolah sorgum.
Demikian juga ubi jalar, bila dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan diare, sakit perut, dan kembung. Karena mengandung vitamin A yang sangat banyak, bila dikonsumsi berlebihan, akan menyebabkan sakit kepala, ruam, rambut rontok, bibir pecah-pecah, kulit kering.
Bagi penderita ginjal, jantung, dan diabetes, harus berkonsultasi dengan dokter.
Bagaimana dengan singkong? Di negara-negara yang mayoritas penduduknya makan singkong, ditemukan semakin banyaknya penderita kaki lumpuh pada anak-anak, kadar yodium rendah di dalam tubuh, peningkatan risiko penyakit gondok, gejala hilangnya rasa pada tangan, penglihatan buruk, lemah, dan masalah berjalan. Keracunan yang berujung pada kematian.
Lalu, sukun seperti apa? Risiko terjadinya pendarahan dan tekanan darah rendah. Mau?
Akhirnya, semua pangan alternatif sama seperti beras. Memiliki efek samping. Bahkan lebih dahsyat dari beras. Artinya, bukan itu solusi yang perlu ditempuh oleh pemerintah. Karena jalan keluar yang dilontarkan Mendagri Tito Karnavian, bukanlah jalan keluar. Justru mengajak rakyat memasuki labirin tak berujung.
Tito telah melakukan blunder. Mengulang kesalahan komunikasi yang pernah disampaikan oleh beberapa menteri sebelumnya. Tapi tidak seburuk kata piting yang keluar dari mulut Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, ketika menimpali perlawanan masyarakat Rempang, Kepri, saat mempertahankan tanahnya yang hendak “dirampas” atas nama investasi internasional. Meski kemudian Panglima berkilah bahwa piting yaitu merangkul, tapi mayoritas rakyat Indonesia sudah terbebas dari buta huruf.
Mendagri harus mengerti juga, mayoritas rakyat sudah terbebas dari buta huruf. Hal yang jadi persoalan adalah harga beras. Hanya itu; harga beras.