Kemarin, Jumat (30/6), tepat sehari sebelum Hari Bhayangkara ke-77 yang jatuh pada hari ini (1/7), Mabes Polri mengumumkan “kado terindah” dalam bentuk prestasi lembaga itu mengungkap kasus peredaran sabu 348 kg yang disembunyikan di hutan Aceh Utara.
Sebelumnya, kinerja Polri berada dalam sorotan tajam publik menyusul kasus Freddy Sambo, Kanjuruhan Solo, dan kasus Teddy Minahasa. Karena itu, keberhasilan Polri membongkar kasus sabu di hutan Aceh tersebut niscaya akan semakin membantu Polri mendapatkan kembali kepercayaan publik. Keberhasilan tersebut juga memadu-madankan sisi normatif (das sollen) dan realitas dalam keseharian kehidupan masyarakat (das sein).
Dua istilah tersebut adalah istilah yang sering berulang-ulang muncul dalam studi mengenai hukum baik sebagai norma atau kaidah maupun sebagai suatu kultur. Hans Kelsen, ahli hukum dan filsuf Austria, adalah tokoh yang sering dikutip setiap kali ada pembahasan tentang teori kedua istilah tersebut.
Das sollen (what ought to be) itu bisa ditemukan dalam sumber hukum, sedangkan das sein (what is) ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Karena sebagai sumber hukum maka das sollen sering juga disebut dengan dunia norma, dunia kaidah, atau dunia teori. Contoh das sollen: tidak boleh berkendara tanpa menggunakan helm; dan pelaku kejahatan korupsi harus dihukum berat. Contoh lain: mencuri saat bencana alam adalah pencurian dengan pemberatan dan harus dihukum maksimal; dan pelaku khalwat di Aceh harus dicambuk sekian puluh kali.
Adapun pengertian lengkap das sollen itu adalah segala sesuatu yang seharusnya terjadi atau segala sesuatu yang diinginkan oleh banyak pihak untuk terjadi, dan menjadi hal lumrah dan dianggap baik menurut norma yang berlaku.
Sedangkan das sein adalah segala sesuatu yang menjadi pelaksanaan dari das sollen, baik yang sesuai dengan das sollen maupun yang bertentangan (dengan das sollen).
Das sein adalah dunia kenyataan yang sebenarnya, bersifat empirikal, fakta di lapangan. Karena itu, das sein sering disebut juga dengan dunia praktik atau dunia konkrit terjadinya apa yang dicita-citakan di dalam das sollen. Misalnya: tidak menggunakan helm harus dihukum; koruptor di penjara maksimal; dan pelaku khalwat dicambuk— yang kesemuanya terjadi di dalam kenyataan.
Baca juga: Korban Pelanggaran HAM, Pungguk Merindukan Bulan
Namun, harus dipahami bahwa kadang kala kedua hal tersebut berbeda di lapangan. Ketika kemudian perbedaan itu terjadi, muncul berbagai masalah dan menimbulkan konsekuensi hukum. Tidak pakai helm, maka pengendara melanggar lalu lintas tetapi ada pelanggaran yang dibiarkan begitu saja. Koruptor harus dihukum berat, tetapi dalam faktanya ada juga koruptor yang divonis ringan.
Contoh lain: pelaku khalwat harus dicambuk, tetapi dalam kenyataan (dulu) pernah ada pelaku yang melarikan diri dari kampungnya karena das sollen saat itu tidak menentukan bahwa pelaku harus ditahan terlebih dahulu sebelum dicambuk.
Ada hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa dalam das sollen, akibat dari apa yang ada dalam norma, tidak diperhitungkan. Dengan kata lain, das sollen adalah suatu keharusan yang tidak memandang akibat yang ditimbulkan dari suatu keharusan, apakah negatif atau positif.
Dengan kata lain, ketika ada das sollen tidak terimplementasi di lapangan, maka nilai atau norma dalam das sollen tetap tidak berubah, melainkan tetap sebagaimana yang sudah ada di dalam das sollen tersebut.
Pekerjaan rumah yang paling penting kemudian adalah bagaimana memastikan tidak adanya gap (pemisah) antara das sollen dan das sein, atau antara apa yang seharusnya ada dengan apa yang sesungguhnya di dalam kenyataan empirik.
Namun, menjaga konsistensi itu sungguh bukan pekerjaan mudah. Anggota kepolisian dituntut untuk mampu menunjukkan kesesuaian perilaku (das sein) dengan nilai atau norma (das sollen) yang mengikat setiap anggota kepolisian. Hal ini menjadi penting karena anggota kepolisian terikat pada norma moral sebagaimana manusia pada umumnya dan pada norma moral yang bersifat khusus sebagai konsekuensi logis memilih profesi sebagai anggota kepolisian.
Saat terjadi penyimpangan, maka reaksi publik menjadi sangat keras. Ini terbukti dalam berbagai kasus, yang kemudian viral di media massa cetak dan elektronik dan juga di media sosial. Das sollen kepolisian dikontrol oleh das sein publik.
Kasus Sambo awalnya dicoba sembunyikan. Tewasnya 100-an lebih penonton sepak bola di Kanjuruhan Solo, awalnya juga dianggap delik biasa. Lalu, menetapkan korban sebagai tersangka, dikritik oleh media, polisi pun kemudian berubah haluan. Intinya, publik menginginkan kesesuaian.
Kesesuaian itu ada dalam lingkup perilaku di rumah tangga, di dalam masyarakat, dan di dalam kedinasan (lingkungan organisasi). Dalam ketiga lingkup tersebut, ada hal-hal yang seharusnya (das sollen, ought to be). Sedangkan perilaku das-seinnya adalah perilaku ketika dorongan nurani terlahiriahkan (terwujud nyata).
Di sini terlihat fakta yang tampak nyata dalam bentuk perbuatan, tanpa dilihat alasan perbuatan. Ketika ada dorongan berbuat baik tetapi kemudian terlahiriahkan secara tidak baik, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara keharusan (das sollen) dengan kenyataan (das sein).
Baca juga: Data Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Centang Perenang
Untuk menjaga keseimbangan tersebut, institusi kepolisian harus memahami secara tepat fungsi dan wewenang serta etika-etika kepolisian. Kita memahami bahwa etika itu berada di atas hukum (das sollen), dengan kata lain meskipun secara hukum sesuatu sudah benar, tetapi bisa saja sesuatu yang sudah benar itu tidak sesuai dengan etika.
Di dalam kehidupan rumah tangganya, anggota kepolisian harus menjadi cermin kehidupan dan perhatian bagi rumah tangga yang lain. Mengapa? Karena ada anggapan bahwa kehidupan rumah tangga anggota kepolisian adalah kehidupan yang sudah mapan secara ekonomi sekaligus juga mapan secara emosi berkat latar ilmu pengetahuan dan pendidikan yang sudah ditempuhnya.
Di dalam masyarakat (das sein), anggota kepolisian juga harus mampu mengikis kesombongan dan keangkuhan atau arogansi karena sikap-sikap itu bertentangan dengan nilai-nilai moral (das sollen). Dengan cara demikian, maka partisipasi masyarakat misalnya dalam menjaga kamtibmas, akan lebih mudah muncul dibanding jika anggota kepolisian bersikap angkuh atau arogan.
Terakhir pada level kedinasan. Konsep dasar perilaku dalam kedinasan adalah berperilaku baik, yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku sehingga muncul dedikasi, loyalitas, kepatuhan, ketaatan, disiplin, dan tanggung jawab dalam diri setiap anggota kepolisian.
Setiap anggota kepolisian mesti sadar bahwa refleksi perilaku anggota kepolisian dalam kedinasan adalah cermin eksistensi lembaga atau organisasi kepolisian. Baik buruknya kelembagaan, tak diragukan, akan dinilai pada adanya keseimbangan antara das sollen dalam kelembagaan dengan bagaimana perilaku anggota lembaga kepolisian di dalam kenyataan.
Selamat Hari Bhayangkara ke-77, semoga selalu bisa memberikan kado-kado terindah kepada negeri.