Cut Nurasyikin, Singa Podium Aceh yang Pergi bersama Gelombang Tsunami

Cut Nurasyikin mengepalkan tangan saat keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Banda Aceh, Selasa (21/10/2023) seusai divonis 11 tahun penjara . Ia merupakan perempuan sekaligus pengusaha yang bersimpati kepada GAM. Foto: Dok. keluarga.
Cut Nurasyikin mengepalkan tangan saat keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Banda Aceh, Selasa (21/10/2023) seusai divonis 11 tahun penjara . Ia merupakan perempuan sekaligus pengusaha yang bersimpati kepada GAM. Foto: Dok. keluarga.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Cut Nurasyikin merupakan salah satu singa podium. Meski tidak secara nyata mengaku bagian dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tapi kiprah Ketua Yayasan Srikandi Aceh tersebut secara gamblang berafiliasi dengan gerakan perlawanan yang didirikan oleh Hasan Tiro. Ia kembali keharibaan Ilahi Rabbi, tatkala dijemput gelombang tsunami seusai gempabumi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004.

Rabu, 6 Desember 2023, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, memberikan Gelar Kehormatan Wali Nanggroe kepada tiga sosok yang dinilai berjasa kepada perjuangan GAM di masa lalu. Tiga sosok yang dinilai sebagai syuhada dalam perjuangan GAM yang mendapatkan gelar kehormatan yaitu Panglima GAM Wilayah Peureulak allahyarham Teungku Ishak Daud. Kombatan karismatik tersebut digelari Perkasa Alam. kedua, allahyarham Teungku Usman Hanafi, Tuha Peut Gerakan Aceh Merdeka. Arwah diberi gelar Syah Alam. Ketiga, allhayarham Cut Nurasyikin, yang diakui oleh Wali Nanggroe sebagai pejuang perempuan. Arwah diberi gelar Tajul Alam.

Gelar kehormatan tersebut diterima oleh perwakilan keluarga masing-masing. Ada aura syahdu saat gelar itu diberikan. Ribuan kenangan melintas di benak. Pernak-pernik ingatan partisipasi mereka dalam upaya mewujudkan Aceh sebagai sebuah negara yang berdaulat.

Selasa sore, 20 Mei 2003, pada pukul 17.00 WIB, aparat negara dari Mapolresta Banda Aceh mendatangani kediaman pribadi Cut Nurasyikin di Jalan Flamboyan, Lampulo, Banda Aceh. Dia digelandang ke Mapolresta, dan selama tiga hari sejak ditangkap, tidak diperkenankan dijenguk oleh siapapun, termasuk pengacara. Peristiwa penangkapan dirinya dicatat oleh Koalisi NGO HAM Aceh.

Baca: Meraba Keberadaan Pasukan Inong Balee

Selasa, 21 Oktober 2003, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara kepada Cut Nurasyikin, seorang pengusaha perhotelan yang divonis bersalah menghasut rakyat Aceh supaya masuk ke dalam GAM, serta mengancam kesatuan bangsa.Ia juga pernah menyalurkan bantuan kemanusiaan bersama Ilyas Abed, seorang pentolan GAM kala itu.

Kak Cut, demikian dia sering disapa, dinilai berpihak kepada GAM saat menjadi wakil GAM di Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KBAK) masa Jeda Kemanusiaan pada tahun 2000. Akibatnya dia dijerat Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Tindakan Makar.

Saat majelis hakim yang diketuai oleh Hamdan Hasibuan membacakan putusan, Cut Nurasyikin menyimak serius. Begitu vonis dijatuhkan, perempuan yang hadir ke Pengadilan Negeri mengenakan setelan jas, celana panjang, dan kerudung serba putih terlihat bersemangat. Dia berteriak sembari mengacungkan tangan ke udara “Alhamdulillah! Hidup Aceh! Hidup Aceh! Usia Indonesia tidak lama lagi,”

Perempuan pemberani tersebut dipenjara di Lapas Lhoknga, Aceh Besar. Ia tidak pernah menghirup udara perdamaian. Musibah gempabumi dan tsunami pada 26 Desember 2004, Kak Cut ikut dibawa pergi oleh gelombang Samudera Hindia. Jasadnya tidak pernah ditemukan.

Cut Nurasyikin, Perempuan Revolusioner

Juru Runding GAM di Helsinki, Finlandia, Teungku Muhammad Nur Djuli, di dalam bukunya yang berjudul The Long And Winding Road To Helsinki; Aceh Dalam Perang dan Damai, menulis bahwa seminggu sebelum gempabumi dan tsunami, ia menerima telepon dari Cut Nurasyikin. Perempuan yang dituduh sebagai Panglima Batalyon Inong Balee menyampaikan kerinduannya ingin bertemu Wali Neugara Paduka Hasan Tiro. Dulu Cut pernah nekat ke Swedia dengan biayanya sendiri, hanya demi dapat berjumpa dengan Wali. Tapi sesampainya ia di sana, tidak diberi kesempatan menjumpai Paduka. Sementara si khap-khop, telah banyak yang dapat berjumpa dengan Wali Neugara.

Kala itu Nur Djuli berjanji, selepas Cut dari penjara, ia akan membawa sang singa podium  ke Swedia untuk bertemu Hasan Tiro.

“Cut jangan khawatir, begitu Cut keluar nanti, hal yang pertama saya lakukan adalah membawa Cut ke Stockholm berjumpa Teungku Wali Neugara, saya janji,” sebut Nur Djuli.

Tapi Cut menjawab bila janji itu tidak mungkin dapat ditunaikan. Karena ia mengatakan akan meninggal di tempat itu. Nur Djuli sedih kala mendengar jawaban Kak Cut. Tapi ia tidak terkejut. Mengira bila pernyataan tersebut wajar saja, karena hukuman untuk Cut 11 tahun. Bukan tempo yang singkat.

Di dalam catatan Nur Djuli, Nurasyikin bukan perempuan biasa. Ia benar-benar sebagai seseorang yang revolusioner, punya banyak pengikut, meski bukan GAM. Cut tidak pernah masuk hutan, tetapi berani bicara di atas panggung Referendum Aceh pada 8 November 1999, pidatonya di halaman Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, menggelegar. Tanpa tedeng aling-aling ia menyerukan kemerdekaan Aceh, bebas dari okupasi Indonesia.

Jasad Cut Nurasyikin tidak pernah ditemukan. Ia dibawa pergi oleh gelombang raksasa dari Samudera Hindia. Ia menjadi sosok sejarah yang dikenang sebagai perempuan pemberani dari Aceh. Cut Nur Asyikin merupakan salah satu bukti tentang kepedulian berdasarkan isme keacehan; bukan karena ia hidup menderita bersebab kemiskinan. Cut Nurasyikin seorang pengusaha yang memiliki rasa cinta berlebih kepada Tanah Rencong, negeri tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan kemudian juga meninggal dunia di negeri yang teramat ia cintai. Mari larungkan Fatihah kepada allahyarham.

Artikel SebelumnyaAgen Penyelundup Rohingya Raup Untung Hingga Rp3,3 M
Artikel SelanjutnyaIndonesia Sasar Reformasi Struktural Pascapandemi Covid-19
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here