Migor kembali menjadi topik di internet. Bukan karena harganya yang mahal dan minyak langka. Tapi perihal cara membeli minyak curah yang diwajibkan menunjukkan aplikasi PeduliLindungi/NIK.
“Dikit-dikit diatur, dikit-dikit diatur. Negara ini sudah kebanyaan peraturan. Dan negara kita ini bukan negara peraturan.Semua diatur, semua diatur malah terjerat sendiri,stop itu sudah!”
Demikian kata Presiden Joko Widodo, kala memberikan sambutan Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019, di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).
Dengan wajah serius Presiden Jokowi meminta kepala daerah serta ketua DPRD tidak banyak membuat peraturan. Ia tak ingin kepala daerah kerap membuat peraturan yang bila ditelaah lebih lanjut justru tak diperlukan.
Presiden menilai dengan jumlah peraturan yang menumpuk, roda pemerintahan tidak bisa bergerak kencang, sedangkan untuk mengambil keputusan dalam perubahan dibutuhkan kecepatan.
“Sekarang negara sebesar apa pun pengennya fleksibel, cepat merespons setiap perubahan. Kita malah memperbanyak peraturan, untuk apa?” ujar Jokowi, seperti diwartakan CNNIndonesia.
PeduliLindungi dan NIK untuk Beli Minyak Goreng
Baru-baru ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, menyebutkan menerbitkan aturan tentang pembelian minyak goreng curah. Setiap orang yang akan membeli migor curah wajib menunjukkan aplikasi PeduliLindungi, atau Nomor Induk Kependudukan (NIK). Jumlah yang dapat dibeli oleh setiap orang maksimal per hari 10 kilogram.
Dalam keterangan resminya, Jumat (24/6/2022) Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan, peraturan tersebut akan diberlakukan setelah masa sosialisasi selesai. Masa “pemberitahuan” yang diwacanakan selama dua minggu, dimulai pada Senin (27/6/2022).
“Setelah masa sosialisasi selesai, untuk dapat membeli minyak goreng curah dengan Harge Eceran Tertinggi (HET), masyarakat harus menggunakan aplikasi PeduliLindungi atau menunjukkan NIK,” kata Luhut.
LBP memberikan jaminan, siapa saja yang dapat memenuhi syarat tersebut akan mendapatkan minyak goreng curah dengan HET Rp14 ribu per liter, atau Rp15.500 per kilogram di pengecer resmi yang terdaftar di Simirah 2.0. atau juga melalui Pelaku Usaha Jasa Logistik dan Eceran (PUJLE) yakni Warung Pangan dan Gurih.
Untuk memastikan kelancaran sosialiasi dan proses transisi, LBP telah membentuk task force untuk menyebarluaskan informasi, termasuk melayani keluhan yang timbul di tengah masyarakat.
Terkait hal-hal yang belum jelas, LBP menyebutkan masyarakat dapat mengakses informasi pembelian melalui kanal media sosial instagram @minyakita.id dan juga website linktr.ee/minyakita.
Mengapa itu diberlakukan? Luhut mengatakan untuk menghindari penyelewengan minyak goreng dan pemerataan distribusi.
Pernyataan LBP diperkuat oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas). Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) menambahkan untuk minyak goreng curah kemasan, pihaknya akan meluncurkan Minyak Kita yang nantinya akan diedarkan melalui minimarket dan gerai ritel modern lainnya.
Kritik dari Rakyat: Luhas Tak Patuh Amaran Presiden
Lahirnya peraturan tentang kewajiban menunjukkan NIK atau aplikasi PeduliLindungi saat membeli minyak goreng curah, dikritisi oleh warganet di berbagai platform media sosial, mulai Facebook hingga Twitter.
Netizen menyebarkan Kembali video singkat pidato Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa Indonesia sudah kebanyakan peraturan, meskipun bukan negara peraturan.
“Begitu ruwet dan ribetnya aturan yang dibuat untuk rakyat, Cuma beli sekelas migor harus pakai aplikasi PeduliLindungi/NIK.” Twit akun @Sarusy2.
“Apa lagi sih ini, Pak Luhut? Segala beli minyak goreng pakai aplikasi! Kok rakyat kayaknya makin dibuat susah sih, Pak? Yang salah kan mafia migor, kenapa yang makin susah rakyat sih, Pak,” tulis akun @MprAldo.
Sejumlah narasumber Komparatif.id yang ditemui di Banda Aceh, juga mengungkapkan hal yang sama. Mereka kesal dengan peraturan-peraturan aneh yang selalu muncul di benak menteri-menteri Presiden Jokowi. Selalu membuat peraturan yang ujung-ujungnya nanti tidak dilaksanakan.
“kemarin tarif Borobudur dinaikkan hingga Rp700.000 per orang. Kemudian dibatalkan oleh Presiden. Sekarang beli migor curah harus menunjukkan aplikasi PeduliLindungi atau NIK. Kok makin ke sini, semakin banyak peraturan untuk rakyat kecil. Kok mereka tidak patuh pada Presiden Jokowi?” kata M. Bilal (45).
Usman Budiman (50) justru menanggapi dengan kocak. Sembari tertawa dia membandingkan peraturan tersebut dengan kisah masa konflik di Aceh. Saat itu siapa saja yang ingin beli kartu sim telepon selular harus mendaftar ke aparat negara sembari menunjukkan KTP. Itu pun belum tentu dapat. Bila petugas curiga, maka kartu tak dijual.
“Sekarang, di tengah perubahan zaman yang kian kencang era 4.0, pembantu-pembantu Presiden Jokowi justru bertindak lucu. Keputusan-keputusan mereka asal bunyi, macam masa Orde Baru saja. Apa-apa diatur, semua diatur. Kok hidup di negara ini banyak kali peraturan?” katanya.
Usman Budiman mengatakan untuk apa tim task force migor curah, bila Pemerintah punya komitmen serius memberantas mafia minyak goreng. Dari Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan, Pemerintah sudah punya aparatur yang digaji oleh negara. Mengapa jenjang organisasi tersebut tidak dioptimalkan?
“Kemendag punya bawahan yaitu Dinas Perdagangan di tingkat provinsi hingga kabupaten. Kemudian punya perangkat hukum hingga level bhabinkantibmas. Apakah perangkat itu belum cukup?” gugat Usman.
“Aneh-aneh saja Pak Luhas [Luhut-dan Zulhas] dalam buat peraturan,” katanya.
Hal menarik lainnya disampaikan oleh Rosdiana (37), ibu rumah tangga beranak empat itu, menyebutkan sebagai pengguna internet cerdas, dia mengagumi cara kerja Presiden Jokowi membangun Indonesia. Tapi tingkah menteri-menterinya kerap bertentangan dengan keinginan tersurat Presiden.
“Presiden bilang A, Menteri bilang B. nanti Pak Jokowi harus bilang C. Kok rasanya Presiden kita sudah seperti pemadam kebakaran, yang apinya disebabkan oleh pernyataan dan tindakan menteri-menterinya itu.”
Dia juga mengkritik Zulkifli Hasan, yang dia sebut seperti berada di bawah ketiak Menteri LBP. Kalau hanya menelurkan keputusan yang membuat ribet, lalu apa artinya mengganti Menteri Perdagangan?
“Dengan blusukan meniru cara Pak Jokowi, tidak akan menyelesaikan masalah. Ini terbukti, banyak pencitraan di media. Baru beberapa hari menjabat sudah bikin pusing rakyat,” keluh Rosdiana.