Komparatif.ID, Banda Aceh— The Aceh Institute (AI) meminta DPRK Banda Aceh untuk tetap komitmen mendukung penerapan Qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) meski anggota dewan sudah berubah.
Hal tersebut disampaikan Project Manager TC Aceh, Winny Dian Safitri, kepada awak media usai audiensi bersama DPRK Banda Aceh di Sultan Selim Cafe pada Jumat (1/11/2024).
“Kami sudah audiensi, dulu kan dengan bu Tati Meutia Asmara (red– sekarang anggota DPRA). Pada pertemuan tersebut kami laporkan perkembangan KTR, sekaligus meminta KTR tetap didukung DPRK Banda Aceh meski anggota dewan sudah berubah,” terangnya.
Winny menjelaskan posisi Aceh Institute (AI) sebagai civil society organizations (CSO) hanya berperan di sektor advokasi bukan penindakan. Karena itu pihaknya membutuhkan dukungan dan komitmen DPRK Banda Aceh agar KTR berjalan efektif.
Lebih lanjut, Winny menjelaskan meski sudah diterapkan selama bertahun-tahun, aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh tampaknya masih jauh dari efektif. Ia mengungkapkan 80 persen tempat yang diawasi di Banda Aceh belum mematuhi regulasi KTR. Hanya sekitar 20 persen lokasi yang dianggap patuh sepenuhnya.
Aceh Institute juga melakukan monitoring dan evaluasi setiap bulan di 50 lokasi berbeda di Banda Aceh. Dari hasil kunjungan tersebut, pelanggaran yang ditemukan beragam, seperti tidak adanya tanda KTR, adanya orang yang merokok, puntung rokok berserakan, hingga tercium aroma asap rokok.
Baca juga: Strategi Membumikan Kampanye KTR di Aceh
“Dari 50 tempat yang diawasi, hanya 13 tempat yang benar-benar patuh terhadap aturan KTR,” lanjutnya.
Aceh Institute berharap dengan dukungan dari DPRK Banda Aceh dan peningkatan pengawasan, penerapan Qanun KTR bisa berjalan lebih efektif dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat di Banda Aceh.
Sementara itu, Technical Coordinator TC Banda Aceh, Nadia Ulfah, mengungkapkan pengawasan qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh tidak berjalan efektif akibat keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM).
Meskipun pengawasan dilakukan secara rutin di beberapa titik di Banda Aceh, tingkat kepatuhan masih sangat rendah, hanya mencapai 31 persen.
Dari 145 titik yang diinspeksi, yang mematuhi aturan KTR hanya 26 area (31 persen), dan sisa 119 area (69 persen) masih mengabaikan qanun yang telah disahkan sejak 2016 lalu itu.
Pelanggaran yang paling dominan adalah tidak adanya area khusus merokok di 84 lokasi, tidak terdapat tanda peringatan KTR di 53 lokasi, dan keberadaan korek api di 31 lokasi.
Nadia juga menyoroti kafe-kafe di Banda Aceh yang menjadi titik pelanggaran qanun KTR terbanyak. Menurutnya, banyak kafe yang didukung oleh sponsor besar dari industri rokok.
Sponsorship dari perusahaan rokok ini dinilai sebagai faktor yang cukup berpengaruh dalam melanggengkan pelanggaran, terutama melalui tampilan logo atau iklan produk rokok di area publik yang seharusnya bebas dari iklan semacam itu.
Menanggapi kondisi tersebut, Aceh Institute berkomitmen untuk memberikan peringatan kepada tempat-tempat yang melanggar qanun KTR, khususnya kafe-kafe yang menerima sponsor dari industri rokok.
Pihaknya akan mendorong penghapusan logo atau iklan rokok di area yang semestinya steril dari pengaruh industri tersebut. Langkah ini diharapkan dapat menjadi langkah preventif agar kesadaran dan kepatuhan terhadap qanun KTR semakin meningkat.