Admi, Tionghoa yang Merawat Jejak Rempah Bandar Singkel Lama

Admi, pria berdarah Tionghoa yang nenek moyangnya pernahbermukim di Singkel Lama sejak abad ke-17. Ia menggali kembali bekas bandfar besar itu yang kini telah menjadi hutan nipah berlumpur pekat dan berbuaya. Foto: Muhajir Al-Fairuzy.
Admi, pria berdarah Tionghoa yang nenek moyangnya pernahbermukim di Singkel Lama sejak abad ke-17. Ia menggali kembali bekas bandfar besar itu yang kini telah menjadi hutan nipah berlumpur pekat dan berbuaya. Foto: Muhajir Al-Fairuzy.

Singkel Lama telah lama terkubur dalam lumpur hitam di bawah hutan nipah di tepi Samudera Hindia. Bandar besar di masa lampau itu ditelusuri kembali oleh Admi, lelaki berdarah Tionghoa yang nenek moyangnya telah bermukim di Singkel sejak abad ke-17. Seacara swadaya ia menggali lumpur pekat, menelusuri rawa untuk mengumpulkan artefak masa lalu.

Siang itu, cuaca pusat Kota Singkel terasa hangat, matahari menyengat tepat di atas ubun-ubun. Saya dan Bulman Satar yang sedang melakukan penelitian jejak rempah di Pantai Barat Aceh berhenti di sebuah rumah dalam pemukiman pasar Singkel.

Pemukiman di sini masih bercorak pasar lama di kawasan pantai barat. Bangunannya bercorak toko dua lantai, dengan material papan, sebagian sudah terkonversi dengan material beton. Di atasnya, jendela ukuran besar terbuka lebar, dijadikan tempat beristirahat. Di bawahnya, digunakan untuk berdagang. Corak rumah seperti ini lazim ditemui di kawasan pantai barat Aceh, yang menandakan ini pemukiman dan kawasan pasar. Di Tumon misalnya, atau Ladang Rimba, pemukiman pasar persis seperti di Singkel.

Tak lama, dari belakang pintu depan, keluar seorang laki-laki berusia 50 tahun. Namanya Admi. Ia masih tampak lebih muda dari usianya, perawakan peranakan China jelas diwarisinya. Ia tampak energik, mungkin karena aktifitasnya yang selalu memonitor dan bergerak menelusuri hutan rawa Singkel sebagai polisi hutan.

Kami dipersilakan masuk dan menelusuri ruang memanjang ke belakang. Tiba di dapur, kami melihat sebuah pemandangan luar biasa.Hamparan pecahan keramik dan benda-benda artefak kuno ditumpuk berlesehan. Beberapa pecahan keramik berhasil dipasang dan dirangkai kembali dengan menggunakan lem menjadi utuh yang membentuk piring dan mangkok.

“inilah kerja saya bila tidak patroli, di rumah saya merangkai ini. Pecahan ini tak ditemukan dalam waktu yang sama.”

Kami dibuat kagum, rangkaian yang dikumpulkan menyatu kembali, direstorasi sedemikian rapi. Ada guci keramik, piring, dan beberapa peralatan dapur lainnya. “ini semua dari Singkel lama” terangnya lagi.

Tembikar porselain hasil restorasi yang dikerjakan oleh Admi. Barang kuno itu digali dari dalam lumpur pekat hutan nipah di tepi Samudera Hindia, Aceh Singkil. Foto: Muhajir Al-Fairusy.
Tembikar porselain hasil restorasi yang dikerjakan oleh Admi. Barang kuno itu digali dari dalam lumpur pekat hutan nipah di tepi Samudera Hindia, Aceh Singkil. Foto: Muhajir Al-Fairusy.

Dari cerita Admi, kakeknya adalah seorang pedagang yang datang dari Tiongkok ke Kota Singkel Lama. Kakeknya bernama Im Tjoen Oey (Im Cun Wi). Diduga datang dari Guangzhou dan telah menetap di Singkel lama sejak abad ke-17.

Perihal keberadaan perantau dari Daratan Tiongkok ke Singkel Lama dapat dilihat dari tinggalan makam, meskipun kini telah menyatu ke dalam Sungai Kilangan, akibat gerusan abrasi.

Warga Singkel, khususnya warga Kayu Menang dan Kuala Baru tahu persis lokasi pemakaman China Singkel Lama. Sungai Kilangan pulalah yang menjadi pemisah antara Kayu Menang dan Kuala Baru.

Kota Singkel Lama memang permukiman heterogen secara demografi. Beragam komunitas manusia berkumpul. Berdasarkan catatan Belanda, ragam bangsa berkumpul di sana, mulai dari Aceh, China, Melayu, Minang, Arab, dan Belanda pun ikut bermukim.

Kembali ke Admi, pria berdarah Tionghoa tersebut telah bekerja mengumpulkan benda-benda peninggalan Kota Singkel Lama sejak tahun 2000. Ia tergerak mengumpulkan setelah prihatin melihat banyak artefak Singkel lama diperjual belikan oleh masyarakat sekitar.

Guci koleksi Admi yang ditemukan di dalam lumpur di bekas bandar Singkel Lama. Foto: Muhajir Al-Fairusy.
Guci koleksi Admi yang ditemukan di dalam lumpur di bekas bandar Singkel Lama. Foto: Muhajir Al-Fairusy.

“Dulu ada Meriam, ada pedang, ada beberapa benda sejarah yang diambil dari Singkel Lama dijual begitu saja pada pengepul barang antik oleh masyarakat. Ironinya, dijual dengan harga yang amat murah,” terang Admi dengan raut wajah menyesali praktik tersebut. Melihat itu, ia prihatin, dan tergerak untuk menyelamatkan artefak sejarah negerinya. Di tangan Admi, seluruh artefak yang dikumpulkan kini dijaga dan dirawat. Pengakuan Admi, tak ada satupun yang jatuh ke tangan pengepul.

Memburu dan mengumpulkan artefak di Singkel Lama tidak mudah. Selain kawasannya berawa dengan himpitan pohon nipah, berlumpur hitam pekat yang kerap menarik separuh kaki pengunjung ke dalam, serangan nyamuk yang begitu banyak dan datang menghampiri pengunjung, juga dihadapkan dengan ancaman buaya.

Admi sendiri mengakui beberapa kali harus berhadapan dengan predator buaya saat sedang meraba-raba dengan tangan dalam lumpur untuk mencari benda-benda kuno tersebut.

Jika ada buaya ia akan menghindar, demikian strategi jitu menghadapi predator terbuas Rawa Singkel itu. Admi hafal dan menguasai betul medan rawa dan Singkel Lama. Ia tahu titik-titik bersejarah tersebut. Saat berkunjung ke Singkel Lama dan hutan rawa Singkel, Admi tampak begitu gesit dan seperti kompas berjalan menunjukkan titik-titik artefak lain, seperti nisan-nisan tua bercorak Islam peninggalan abad ke-17 M, gerabah dapur hingga bangunan-bangunan Belanda yang kini mulai dihisap ke dalam lumpur.

“Singkel Kuno dan Singkel Lama tenggelam akibat ledakan gunung Krakatau, yang menyebabkan “galoro” (tsunami) di kawasan ini,” terang Admi. Singkel Kuno merujuk pada abad ke-15 hingga 17 M yang kini jelas terendam dalam birunya Samudera Hindia, bersebelahan dengan Singkel Lama.

Besar kemungkinan di sini dulu pemukiman yang melahirkan tokoh-tokoh penting seperti Abdurrauf dan Hamzah Fansury. Adapun Singkel Lama adalah kawasan yang survive sejak abad ke-17 M hingga awal abad ke-20 M.

Singkel Lama adalah bandar pelabuhan rempah penting Pantai Barat Aceh. Berbagai komiditi rempah, mulai lada, cengkeh, damar, ombil, dan gaharu diperdagangkan di sini. Dibawa oleh penduduk dari hulu sungai Singkel yang terus menyambung hingga ke Alas.

Singkel Lama adalah Pelabuhan tersibuk pada masanya. Belanda memulai ekspansi ke Aceh setelah menaklukkan Singkel dan pantai barat. Di sana, Belanda ikut terlibat perdagangan rempah. Bahkan, menyiapkan kapal khusus pengantar rempah dari Singkel lama ke Belanda yang bertuliskan Singkel di badan kapal.

Seorang aktor pengembang lada penting di Singkel yang sekaligus dipanggil Raja Singkel, Labai Dhapa (Teuku Jakfar) yang bekerja untuk Kerajaan Aceh Darussalam dikenang baik sebagai tokoh penting rempah oleh masyarakat Trumon. Saat Belanda masuk ke Singkel Lama, Labai Dhapa menolak bekerjasama dengan Belanda, ia selanjutnya pindah ke Trumon dan membuka perkebunan lada baru.

Mata uang kuno yang ditemukan di bekas bandar Singkel Lama. Foto: Muhajir Al-Fairusy.
Mata uang kuno yang ditemukan di bekas bandar Singkel Lama. Foto: Muhajir Al-Fairusy.

Di Trumon, usaha pengembangan lada diteruskan oleh keturunannya Raja Bujang dan Raja Batak (Aceh; Batat) serta Raja Arif, yang menghantarkan Trumon menjadi Kerajaan penghasil lada terbesar pada masanya. Bahkan, Trumon mampu mencetak mata uang tersendiri dan meneguhkan diri sebagai federasi Kerajaan Aceh yang otonom dengan mengibarkan bendera sendiri.
Jarak Singkel Lama dan Trumon tampak jelas terhubung dekat jika dilihat dari puncak Sigantang Sira, yang kini dikembangkan menjadi destinasi wisata baru di Pantai Barat.

Jejak sejarah inilah yang dikumpulan Admi. Beberapa artefak atau peninggalan fisik yang ditemukan Admi adalah pecahan aneka ragam dan bentuk keramik, kendi/guci, mata uang kuno, minyak kapur, damar, potongan kayu pecahan kapal niaga, dan lainnya.

Semua artefak ini ditemukan di kawasan kota Singkel Lama dan kawasan rawa Singkel. Ia bergerak secara swadaya dengan dumber dana pribadi. Sampai saat ini koleksi artefak yang ia temukan disimpan di rumah. Keramik-keramik dan beberapa kendi/guci ia letakkan di ruang tamu.

Sementara pecahan keramik dan artefak-artefak kecil lainnya disimpan dalam kardus-kardus dan keranjang plastik yang ditaruh di ruangan dapur. Salah satu tantangan Admi, ia mengaku kekurangan perhatian dari Pemkab Singkil, ia butuh wadah penyimpanan seperti rak dan lemari penyimpanan yang layak. Namun, ia terkendala di anggaran. Pada saat bersamaan ia juga harus menyekolahkan anak-anaknya.

Admi adalah satu di antara beberapa cerita, bagaimana orang-orang pinggiran bergerak menyelamatkan identitas sejarah. Tanpa mereka, bukti sejarah tidak hanya tenggelam. Bahkan, menjadi dongeng semata. Bangsa besar adalah bangsa yang menempatkan sejarah sebagai cermin identitas diri.

Singkel sebagai kawasan penting dalam sejarah Aceh, sudah sepatutnya mendapat tempat perhatian luas dari segenap komponen. Bukankah, dari sini oase dan obor peradaban Aceh itu datang, dua tokoh penting dalam peradaban Aceh; Hamzah Fansury dan Abdurrauf Ali al Jawi al-Fansury datang dari sini mewarnai peradaban Aceh yang gemilang pada masanya.

Artikel SebelumnyaPeringati HUT 77 RI, Aceh Utara Tanam 7.700 Pohon
Artikel SelanjutnyaSTAIN Meulaboh & Aceh Selatan Perkuat Jalur Rempah Pantai Barat

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here