Aceh Negeri yang Ramah dan Indah

Muhajir Juli mengajak siapa saja supaya datang ke Aceh.
Muhajir Juli

Banyak orang masih salah paham tentang Aceh. Bahkan masih banyak jurnalis yang mempertanyakan bagaimana kondisi Aceh sesungguhnya setelah penerapan syariat Islam. Masih banyak di antara mereka yang menerjemahkan penerapan syariat Islam akan “menerkam” siapa saja yang datang ke Serambi Mekkah.

Pertanyaan-pertanyaan tentang seperti apa sesungguhnya Daerah Modal, muncul ketika saya mengikuti Ekspedisi Geopark Kaldera Toba, yang dilaksanakan oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumatera Utara, 4 sampai 6 Februari 2023, yang merupakan rangkaian dari kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) yang dilaksanakan di provinsi tersebut.

Sembari beristirahat kala mengikuti jelajah alam tersebut, banyak wartawan yang mengaku mengagumi kuliner di negeri yang dulunya masyur dengan kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara. Mereka mengatakan menyukai mi Aceh, kopi, dan kuah beulangong.Tapi kekaguman itu berlanjut dengan pertanyaan; benarkah di balik lezatnya kuliner, ada penambahan ganja di dalamnya?

Pertanyaan mereka berlanjut, seperti apa budidaya ganja? Benarkah ditanam secara luas dan terang-terangan?

Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan syariat Islam? Benarkah polisi syariat akan menangkapi siapa saja yang tidak melaksanakan salat Jumat, dan kemudian mencambuknya di muka umum? Bagaimana dengan musafir dan nonmuslim? Akankah juga dicambuk?

Pertanyaan-pertanyaan demikian bukan kali ini saja ditanyakan. Berkali-kali, setiap ada kegiatan di luar, pertanyaan seperti itu kerap diajukan kepada saya. Sebagai orang Aceh yang lahir dan bertumbuh di Serambi Mekkah, tentu merasa geli dengan pertanyaan-pertanyaan demikian. Meski di sisi lain juga merasa miris, betapa masih banyak orang yang merasa kampung halaman saya seperti sebuah negeri nun—entah di mana—yang ketika isu keislaman lebih dominan muncul, maka diasosiasikan sebagai kawasan yang seram, muram, tidak ramah, dan kejam, dan menyenangi madat.

Saya menjelaskan bahwa faktor lezatnya kuliner bukan karena ganja. Mariyuana memabukkan, ulama melarang penggunaannya, negara menangkap yang mengonsumsinya. Kuliner Aceh kaya rempah; itulah faktor utama lahirnya citarasa aduhai yang ngangenin. Rasa masakan Aceh secara umum merupakan perpaduan Timur Tengah, India, dan Cina. Satu hal lagi, di Aceh, 100 persen makanan halal. Jadi tidak perlu lagi mempersoalkan tentang kehalalannya.

Baca juga: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali

Perihal penerapan syariat Islam, itu juga suatu hal yang menarik. Pelarangan minuman keras, perlontean, dan adanya polisi syariat—yang kini telah disatukan dengan Satpol PP—telah melahirkan kondisi sosial kemasyarakat yang kondusif. Pelaksanaan cambuk terhadap orang yang melanggar Qanun Jinayah, telah melalui proses peradilan. Tidak serta-merta orang akan dihukum, konon lagi pelancong yang tidak salat Jumat karena ia musafir dan nonmuslim.

Bagaimana dengan kehidupan perempuan? sampai sekarang wanita Aceh masih hidup normal. Ada yang bekerja di instansi pemerintah, swasta, maupun berdikari dengan usahanya secara pribadi. Gadis-gadis Aceh masih bersekolah dari SD hingga perguruan tinggi. Mereka masih menyetir motor dan mobil tanpa perlu didampingi mahram. Mereka masih bebas berkegiatan dari pagi sampai malam. Bahkan masih bisa kongkow di tempat pelesiran bersama teman-temannya. Demikian juga perempuan luar yang datang ke Aceh. selama masih dalam batas wajar, tidak ada yang mempersoalkan.

Perihal pakaian, bila ia muslim, maka aka nada kewajiban menutup aurat. Bila ada yang tidak menutupnya secara wajar, ketika ada razia—itu sangat jarang dilakukan—maka akan dinasihati oleh pelaksana hukum. Untuk nonmuslim, masih banyak yang bergerak di ruang publik dengan celana pendek.Selama dalam batas wajar, maka tidak akan menjadi persoalan. Di mana itu dapat dilihat? Datanglah ke pusat-pusat yang banyak nonmuslim. Salah satunya di Peunayong, Kota Banda Aceh.

Di Aceh tidak ada preman. Bilapun sesekali muncul, maka akan segera lenyap karena tak ada toleransi terhadap premanisme. OKP di Aceh rata-rata anggotanya para sarjana dan pejabat. Termasuk OKP yang di luar Aceh dikenal sebagai kelompok preman yang gemar memalak siapa saja dengan alasan biaya keamanan.

Di Aceh OKP-OKP itu menjalankan organisasinya dengan kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah yang paling aman di Indonesia. Tak ada begal di kota-kota di Aceh. Tak ada kumpulan anak muda bersenjata tajam berkeliling kota di malam hari. Bilapun ada, maka akan segera ditindak oleh polisi. Jadi bila sempat muncul—seperti kasus di Lhokseumawe- maka secepat kilat akan disapu oleh polisi.

Bioskop memang belum beroperasi di Aceh. Mal-mal di Aceh belum membuka bioskop. Ada ketakutan bila di gelapnya ruang bioskop akan dipergunakan oleh orang-orang nakal yang ingin bermesum ria. Pelarangan itu bukan tanpa alasan. Dulu, ketika bioskop masih eksis hingga ke kota kecamatan, terdapat banyak pelanggaran syariat. Pelanggaran-pelanggaran itu dibekengi oleh oknum-oknum aparat yang bekerjasama dengan preman mabuk.

Tapi sekarang ini bioskop merupakan salah satu tempat hiburan yang menyenangkan. Tempat menikmati karya-karya sineas Indonesia dan dunia dalam bentuk sinema. Di berbagai kota di Indonesia, bioskop telah identik dengan hiburan yang bersih, tanpa minuman keras, dan tanpa kemesuman. Mungkin dengan semakin banyaknya stakeholder yang masuk ke bioskop di luar Aceh, maka suatu saat bioskop akan ada lagi di Aceh. Ini hanya soal waktu saja.

Aceh adalah negeri yang indah. Daerah yang harmoni dengan segenap keindahan alamnya, kelezatan kulinernya, keramahan warganya, keberagaman budayanya, serta kekayaan sejarahnya. Negeri Serambi memiliki semuanya. Gunung menjulang dengan panorama yang luar bisa, pantai membentang dengan airnya yang bersih, kota yang penuh sejarah, dan tentunya  adalah negeri yang asyik tanpa begal, tanpa pemabuk, tanpa perlontean terbuka.

Melihat Aceh Dengan Islamophobia

Satu hal yang mesti dipahami, negeri di ujung barat Indonesia tidaklah sempurna, karena hakikatnya manusia tempat salah dan lupa. Tapi Pemerintah telah membuat pagar—hukum—demi menjaga supaya keramahan dan kedamaiannya tetap maujud sampai berzaman-zaman.

Lalu mengapa Serambi Mekkah masih menakutkan bagi sebagian orang luar? Karena disadari atau tidak, di jiwa kita telah tertanam islamophobia yang sudah mengakar. Kita langsung antipati begitu mendengar syariat Islam. Kita akan ketakutan kala melihat logo bintang bulan bertengger di kubah masjid, di dinding-dinding meunasah. Di sisi lain, merasa tidak bermasalah bila melihat simbol-simbol lainnya. Bila sesuatu yang tidak identik dengan Islam–berapapun banyaknya– maka tidak menjadi persoalan, justru kita anggap sebagai kekuataan kebudayaan.

Islamophobia telah menyebabkan kita merasa tidak nyaman bila melihat komunitas berhijab, dan segera mengasosiasikan bila orang-orang yang menutup aurat dengan sempurna, sebagai komunitas jumud yang radikal.

Buanglah islamophobia tersebut. Datanglah ke Serambi Mekkah, nikmati alamnya, seruput kopinya, nikmati kulinernya, dan bergabunglah dalam ruang publik. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bila itu dilakukan, maka kemanapun Anda pergi, akan selalu dihormati dan dihargai.

Artikel SebelumnyaJokowi Sebut Data Jadi “Minyak Baru”
Artikel SelanjutnyaHPN 2023 Beri Efek Berganda Kepada Sumut
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here