Komparatif.ID, Banda Aceh—Belasan mantan aktivis mahasiswa yang bergabung dalam Farmidia (Front Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh), Sabtu (8/4/2023) berkumpul di tepi Krueng Lamnyong, Banda Aceh. Sembari menanti waktu berbuka, mereka berkontemplasi bersama dua akademisi UIN-Ar-Raniry Fuad Mardatillah dan Baharuddin.
Matahari pada Sabtu sore terlihat sangat indah di ufuk barat. Bola api tersebut menampakkan diri dengan warna orange cerah. Nun di sana, secara perlahan tenggelam di balik pucuk-pucuk cemara laut yang tumbuh berjejer di sepanjang bantaran Krueng Lamnyong.
Sekitar puluhan meter dari jembatan Lamnyong yang menghubungkan Banda Aceh dan Kopelma Darussalam, tepatnya di bantaran sungai, di atas sebidang tanah lapang yang disebut Gampong Gayo—merujuk nama warkop yang digusur saat penertiban bantaran sungai—belasan orang dari mantan mahasiswa yang bergabung dalam Farmidia, duduk bersila di atas hamparan spanduk besar.
Baca: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali
Pertemuan tersebut cukup langka. Meskipun Farmidia merupakan salah satu buffer aksi paling legendaris di Aceh sepanjang 1998-2003, namun para penggiatnya sangat jarang bertemu dalam ruang yang sama dan atas nama silaturahmi Farmidia.
Ada Radhi Darmansyah, Syarifuddin Abe, Rahmatan, Ahfas, Muhammad, Islamuddin, Asadi, dan sejumlah lainnya dalam temu kangen itu. Mereka duduk berjejer secara rapi di atas ambal plastik yang digelar secara sederhana di atas rumput-rumput yang tumbuh subur di tepi sungai.
Fuad Mardatillah yang terlihat makin sepuh, Baharuddin yang tak lagi memelihara kumis, membersamai reuni Farmidia. Kedua akademisi tersebut sedari dulu terkenal sangat dekat dengan mahasiswa pergerakan.
Fuad Mardatillah yang diminta memberikan sambutan pada “mimbar bebas” tersebut mengajak para penggawa Farmidia untuk kembali “menghidupkan” lembaga tersebut sebagai tempat mendidik mahasiswa-mahasiswa sekarang, yang kian jauh dari kepedulian terhadap kondisi bangsa.
Fuad merasa prihatin dengan rendahnya kepekaan para mahasiswa yang ada di kampus. Ia berharap para pentolan organisasi yang sangat vokal di era konflik Aceh, ikut ambil bagian, mendidik lagi para mahasiswa, supaya nurani mereka kembali menyala.
“Farmidia harus kembali hadir seperti dulu. Kekerasan fisik seperti dulu tidak lagi terjadi di Aceh. Tapi kekerasan dalam bentuk lain terus saja terjadi. Termasuk penyimpangan (korupsi), penyebaran hoaks, dan lainnya. Inilah tugas sejarah yang harus kita tularkan semangat itu kepada [generasi muda]. Ini menjadi tantangan kita sekarang. Dulu kita telah berbuat banyak, yang hasilnya mungkin minus bukan plus. Yang kita dapatkan sekarang negative peace, bukan positive peace. Kekerasan senjata memang tidak ada lagi, tapi kekerasan non senjata masih banyak sekali. Masih berserakan di mana-mana, di semua level,” sebut Fuad Mardatillah.
Pertemuan itu dirangkai dengan doa bersama kepada arwah para kolega yang telah lebih dulu menghadap Ilahi, baik ketika konflik bersenjata, gempa dan tsunami Aceh, serta meninggal dunia secara biasa setelah damai terajut di Serambi Mekkah.
Dalam sesi diskusi informal sembari santap kuah beulangong buka puasa, Asadi menyebutkan mereka dulu ditempa di Pusat Kegiatan Mahasiswa di Kopelma Darussalam. Siang dan malam mereka melatih diri dan kemudian terjun mengadvokasi Aceh, sembari terus menimba ilmu di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Radhi Darmansyah menyebutkan, berbagai buffer aksi mahasiswa lahir dari Rahim IAIN Ar-Raniry—kini UIN—baik yang bersifat independen maupun yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Dalam berbagai catatan disebutkan bahwa poros gerakan mahasiswa Aceh dimulai dari IAIN Ar-Raniry. Merekalah yang pertama kali menggeliatkan Kopelma Darussalam sehingga tepat disebut jantong hatee rakyat Aceh.
Dalam catatan Komparatif.ID, gerakan mahasiswa IAIN Ar-Raniry mendapatkan dukungan dari akademisinya, mulai jajaran dosen hingga rektorat. Nama-nama legendaris seperti Fuad Mardatillah, Baharuddin, Farid Wajdi, dan lainnya, bukan semata hadir dalam pertemuan-pertemuan elit, tapi juga membersamai mahasiswa di lapangan, ketika menggelar demonstrasi menentang tindakan represif aparat negara yang petantang-petenteng menyiksa rakyat Aceh atas nama pemulihan keamanan kala itu.