Rata-rata skuad Persiraja Banda Aceh dihuni pemain muda minim pengalaman. Mereka berbakat. Butuh dukungan dari semua pihak agar para pemain itu—konon yang unggul—tidak terjebak star syndrome. Tidak perlu julukan the next Messi, the next Irwansyah, dan lainnya. Biarkan mereka tumbuh dengan nilainya sendiri, agar tak lekas mati muda karena kena racun popularitas.
Star syndrome di kalangan pemain sepak bola memang bukan hal baru. Karena tak sedikit pesepakbola muda yang cepat merasa puas apabila mereka sudah dikenal banyak orang. Di Indonesia kita mengenal Syamsir Alam atau Tristan Alif Naufal yang punya skil olah bola di atas rata-rata.
Tristan pernah mendapatkan julukan Messi-nya Indonesia, padahal saat itu dia masih sangat belia. Demikian juga dengan Syamsir yang dipuji sebagai wonder kid. Julukan-julukan tersebut sangat fantastis, namun sukses pula mengantarkan pemain bola muda berbakat tenggelam dalam jebakan star syndrome.
Hal itu sering terjadi saat pesepak bola muda itu merasa bahwa dia sudah seperti bintang dan diidolakan banyak orang, padahal perjalanan kariernya masih seumur jagung.
Bisa dibilang wajar hal itu terjadi, tetapi sangat aneh dan tak bisa dipahami apabila sosok pesepak bola yang awalnya menarik perhatian karena performanya saat di lapangan tapi tak mampu lagi bermain apik.
Meskipun semua terpulang dari bagaimana para pemain me-manage diri agar tidak cepat puas dengan popularitas yang didapat, tapi star syndrome kemudian terbukti menjadi bumerang bagi para pesepakbola tersebut, tidak terlepas dari peran fans dan media.
Kita semua bisa melihat bahwa tidak sedikit media yang begitu gemar membesar-besarkan capaian yang diraih oleh pemain-pemain muda yang dinilai berbakat.
Julukan the next Maradona, the next Bepe, dan lain-lain terbukti telah membuat pemain muda di berbagai belahan dunia “terbang” dan akhirnya layu sebelum berkembang alias gagal mencapai titik puncak karirnya.
Mengaca dari berbagai pengalaman yang pernah dialami oleh banyak bakat muda yang hancur akibat start syndrome seperti yang diutarakan di atas, alangkah bijaknya bagi kita sebagai fans sepak bola di Aceh, terutama pendukung Persiraja Banda Aceh, dan juga para pengelola media massa agar dapat lebih bijak dalam memberitakan kiprah pemain muda.
Untuk memuji dan memberikan ruang apresiasi tidak perlu terlalu hiperbolik. Jangan sampai ada pemain kita yang merasa begitu cepat puas dengan apa yang telah ditorehnya.
Kita semua tahu bahwa mayoritas pemain Persiraja adalah anak-anak muda berbakat tapi minim jam terbang. Mereka punya skil bagus tapi belum teruji. Mereka butuh dukungan dan sedikit pujian, agar semangatnya kian membara.
Pemain muda yang kini membela Persiraja butuh dukungan demi meningkatkan kepercayaan diri. Namun jika dukungan, pujian dan sanjungan yang kita berikan tidak proporsional, maka bisa saja berakibat buruk bagi pribadi pemain dan juga untuk bonden yang kita cintai.
Untuk itu, pemain muda Persiraja tidak perlu diberikan julukan seperti the next Messi, the nect Persiraja, The Next Dahlan Djalil, dan lainnya. Cukuplah pujian itu diberikan sekadarnya saja. Biarkan mereka tumbuh sebagai dirinya sendiri.
Pujian sederhana akan menyelamatkan anak-anak muda di skuad kebanggaan kita bersama.