J. Hendry Noerman Hidupkan Jejak Sultanah Nahrasiyah Lewat Film Dokumenter

J. Hendry Noerman Hidupkan Jejak Sultanah Nahrasiyah Lewat Film Dokumenter
Poster film “Nahrasiyah: Jejak Sang Sultannah” karya sutradara J. Hendry Noerman. Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Lhokseumawe— Kisah kepemimpinan salah seorang penguasa Samudera Pasai, Sultanah Nahrasiyah, diangkat ke layar lewat film dokumenter berjudul “Nahrasiyah: Jejak Sang Sultannah” karya sutradara J. Hendry Noerman.

Film berdurasi tujuh menit itu ditayangkan perdana dalam Nahrasiyah Art Festival 2025 yang berlangsung pada 8–9 Oktober 2025 di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultannah Nahrasiyah, Lhokseumawe.

Film ini mengisahkan Sultanah Nahrasiyah, penguasa Kesultanan Samudera Pasai yang memerintah pada tahun 1406–1428. Ia dikenal sebagai sosok pemimpin perempuan yang lembut, bijaksana, dan menjunjung tinggi nilai kesetaraan gender dalam pemerintahan maupun kehidupan masyarakat.

Dalam sejarah, Sultanah Nahrasiyah merupakan putri dari Sultan Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad bin Malikussaleh. Makamnya yang megah dari batu pualam penuh kaligrafi dan simbol Islam sering disebut sebagai salah satu makam terindah di Asia Tenggara.

Catatan tentang Sultanah Nahrasiyah tidak hanya ditemukan dalam sumber lokal, tetapi juga terekam dalam kronik Cina Ying-yai sheng-lan. Dalam catatan itu, Nahrasiyah disebut sebagai penguasa yang berperan besar dalam bidang politik, ekonomi, serta penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara.

Baca juga: Kopiah Riman: Warisan Sultan Iskandar Muda yang Bertahan hingga Kini

Bagi Hendry, sosok Sultanah Nahrasiyah bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan juga lambang kepemimpinan perempuan yang kuat dan berjiwa pengasih, yang pantas disebut sebagai “wali” bagi perempuan Nusantara.

Film “Nahrasiyah: Jejak Sang Sultannah” digarap dengan pendekatan dokumenter hybrid yang memadukan unsur musik, visual teatrikal, dan narasi sejarah. Hendry Noerman menerapkan teknik sinematik eksperimental agar film tidak hanya menjadi dokumentasi sejarah, tetapi juga pengalaman estetis yang membawa penonton seolah menyelami masa kejayaan Samudera Pasai.

Musik dan visual yang magis digunakan untuk membangun suasana yang mengingatkan pada masa silam, menjadikan film ini berbeda dari dokumenter konvensional.

Proses produksi dilakukan oleh tim kecil independen selama tiga bulan, mulai dari pra-produksi hingga pascaproduksi. Film ini didanai sepenuhnya oleh Badan Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh, bekerja sama dengan Matasapi Films sebagai rumah produksi, serta berkolaborasi dengan Teater Rongsokan dan Telaga Art Space Banda Aceh.

Hendry dikenal sebagai sutradara dengan gaya dokumenter yang khas dan penuh eksperimen. Beberapa karya sebelumnya, seperti Medan Hardcore (2012), Experimentalía Menuju Surga (2017), dan Imperator Infernum (2021), telah diputar di berbagai festival film nasional dan internasional.

Karyanya yang berjudul Identitas (2017), yang mengangkat isu kepemilikan KTP warga Aceh pada masa konflik, bahkan masuk ke sejumlah festival seperti APFF Karachi, Salamindanaw Film Festival, JAFF Netpac Jogja, dan menjadi bagian arsip resmi JAFF.

Menurut Hendry, ide untuk menggarap “Nahrasiyah: Jejak Sang Sultannah” berawal dari keinginannya memperkenalkan kembali tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah Aceh yang sering terpinggirkan. Ia berharap film ini dapat menjadi media pembelajaran sekaligus inspirasi bagi generasi muda untuk lebih mengenal sejarah bangsanya.

Usai pemutaran perdana di Nahrasiyah Art Festival 2025, film ini direncanakan akan berkeliling ke berbagai festival film, kampus, komunitas seni, dan museum di seluruh Indonesia.

Artikel SebelumnyaJelang Laga Hadapi Irak Malam Ini, Patrick Kluivert: Kami Harus Menang
Artikel SelanjutnyaH. Mukhlis Serahkan Sapi untuk Kenduri Ummi Abon Sofyan Arongan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here