Kala Seorang Blogger Aceh Ditawari Cewek di Gang Dolly

gang dolly surabaya
Penampakan Jalan Kupang Gunung Timur 1 lebih dikenal dengan Gang Dolly

“Nyari cewek, Mas?”

Suara itu serak, meluncur tanpa basa-basi dari seorang pria paruh baya yang duduk di atas tembok beton rendah. Ia berada di sisi kanan gerbang menuju Gang Jarak, sebuah lorong yang kini menampung sisa-sisa napas dari legenda yang pernah begitu riuh: Gang Dolly.

Pria itu memegang tongkat, sebelah kakinya bengkak abnormal, mengingatkan saya pada penyakit kaki gajah. Tatapannya lurus, seolah pertanyaan itu adalah sapaan standar di wilayah ini, setara dengan “Selamat sore” di tempat lain.

Jumat, 22 Agustus 2025, sore itu, Surabaya menyambut saya dengan gerah yang khas. Sebagai seorang blogger dari Aceh, tanah yang menegakkan syariat sebagai napas kehidupan sehari-hari, menginjakkan kaki di sini terasa seperti melintasi sebuah portal ke dunia yang kontradiktif.

“Saya cuma mau lihat-lihat saja, Pak,” jawab saya sambil melempar senyum yang saya usahakan terlihat tulus, bukan canggung. “Boleh masuk, kan?”

Ia hanya mengangguk, matanya kembali menatap kosong ke jalanan, seolah saya hanyalah satu dari sekian banyak orang penasaran yang lewat. Ya, seperti yang lainnya, saya juga penasaran dengan Gang Jarak, yang disebut-sebut mirip Gang Dolly yang berada di Jalan Kupang Gunung Timur 1.

Rasa penasaran itulah yang membawa saya ke Jalan Kupang Gunung Timur 1 atau Gang Dolly. Saya sengaja memesan ojek online dengan tujuan Pasar Burung Dolly. Nama “Gang Dolly” masih lebih magis dan menjual ketimbang nama resminya di aplikasi mana pun. Sebelas tahun setelah penutupannya oleh Walikota Tri Rismaharini pada 2014, saya ingin melihat wajah baru dari lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu.

Saya melangkah pelan, menyusuri gang yang kini terasa seperti gang perumahan biasa, meski aura masa lalunya masih samar-samar terasa. Beberapa bangunan wisma yang dulu masyhur—Wisma Barbara, New Barbara, Dahlia, Flamboyant, Anggrek—telah berganti rupa.

Wisma Barbara yang legendaris kini menjadi Pasar Burung Dolly. Di sebelahnya, Wisma New Barbara telah berubah menjadi KUB Maju Jaya, tempat para perajin lokal membuat sepatu dan sandal hotel. Ada yang menjadi kafe dengan lampu-lampu kekinian, namun lebih banyak lagi yang beralih fungsi menjadi rumah kos.

Baca juga: Boh Limeng, Menjadi Pelacur Karena Gaya Hidup

Ironisnya, di antara bangunan yang telah bertransformasi itu, terselip lahan-lahan kosong dan bangunan terlantar yang dibeli pemerintah kota. Rerumputan liar tumbuh di atas puing-puing kenangan, menjadi saksi bisu dari geliat malam yang tak pernah tidur. Kata orang-orang yang pernah merasakan era keemasannya, Dolly dulu sangat ramah. Setiap pria yang lewat akan disapa, ditarik lembut, dan diajak mampir. Keramahan yang berujung pada transaksi.

Saat sedang asyik merekam video dengan ponsel, menyapu gambar dari satu sudut ke sudut lain, seorang pria paruh baya berkaos oblong dan celana pendek menyapa saya dengan ramah yang tulus.

Pasar Burung Dolly
Pasar Burung Dolly dulunya adalah Wisma Barbara

“Dari mana, Mas?” tanyanya. Senyumnya terbuka.
“Saya dari Jogja,” jawab saya, menyebut kota perantauan saya, lebih mudah dicerna daripada menyebut Aceh.

Obrolan kami mengalir ringan. Ia bercerita, tadi pagi ada juga orang yang datang dan mengambil gambar seperti saya. “Temannya, Mas?” tanyanya lagi. Saya menggeleng.

“Sekarang sudah sepi, Mas. Beda jauh sama dulu,” katanya, matanya menerawang. “Malam juga sudah tidak seramai dulu. Tidak ada lagi esek-esek di sini. Dilarang keras. Rumah kos di sini juga diawasi, tidak boleh dipakai untuk yang aneh-aneh.”

Namun, di ujung kalimatnya, ia menambahkan sebuah kode. “Tapi ya… kalau ada yang butuh sekali, masih ada saja yang bisa menyediakan. Cuma mainnya di luar, tidak boleh di lingkungan Dolly lagi.”

Bisikan itu adalah benang merah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Dolly mungkin sudah mati secara fisik, tetapi ruhnya menolak untuk pergi. Ia hanya bermetamorfosis, bersembunyi di lorong-lorong yang lebih sempit.

Saya melanjutkan langkah menuju pintu masuk utama Gang Dolly. Di sana, seorang ibu sedang sibuk mengipas sate di gerobak dagangannya. Aroma gurihnya kontras dengan reputasi tempat ini. Saya meminta izin untuk duduk di kursi plastik, dan kami pun bercakap-cakap.

“Di gang ini sudah bersih, Mas. Tidak boleh lagi ada yang begitu,” ujarnya sambil menunjuk ke dalam gang dengan dagunya. Menurutnya, para perempuan yang dulu bekerja di sini telah menyebar. Ada yang pulang kampung, ada yang pindah ke lokalisasi lain, dan banyak yang beradaptasi dengan zaman.

“Mungkin sekarang pakainya ‘aplikasi hijau’,” katanya, sebuah istilah lokal untuk aplikasi kencan online yang sering disalahgunakan untuk prostitusi. “Mereka banyak yang pindah ke Gang Jarak. Biasanya nongkrong di warung-warung kopi, pura-pura karaoke atau nawarin jasa pijat.”

Ibu itu kemudian menatap saya dengan sorot mata keibuan. “Hati-hati saja kalau masuk ke sana, Mas. Jangan rekam sembarangan. Siapa tahu ada preman yang jaga-jaga.”

Peringatan itu membuat saya semakin waspada, sekaligus semakin penasaran. Saya berterima kasih dan berjalan menuju Andromeda Cafe, salah satu tempat yang masih bertahan. Di depannya, di atas kursi plastik, duduk seorang pria berwajah timur, lengkap dengan topi yang menaungi matanya. Saat saya lewat, ia memanggil dengan isyarat kepala.

“Dari mana, Mas?” sapanya, nadanya sopan tapi matanya tajam menilai.
“Jogja, Mas,” jawab saya dengan jawaban yang sama.
“Mau cari apa di sini?” tanyanya langsung ke inti. “Kalau cari cewek, di Dolly sudah tidak ada. Sudah ditutup.”

Suasana Gang Dolly sore hari
Suasana di Gang Dolly pada sore hari.

Saya baru saja akan menjawab bahwa saya hanya melihat-lihat, tapi ia sudah melanjutkan kalimatnya dengan suara yang sedikit direndahkan.

“Tapi… kalau Masnya mau, saya bisa sediakan.”

Napas panjang yang disembunyikan akhirnya keluar juga. Inilah dia. Wajah baru Dolly yang beroperasi dalam bisik-bisik.

“Tidak jauh dari sini, Mas. Cuma lima menit. Ada penginapan juga. Nanti saya antarkan,” lanjutnya, seolah sedang menawarkan paket wisata terlarang.

Didorong rasa ingin tahu jurnalistik, saya iseng bertanya, “Berapa biasanya, Mas?”
“Murah, Mas. Sekitar 250 ribu,” jawabnya cepat, “Itu sudah sama kamarnya untuk beberapa jam.”

Sebuah tawaran lengkap, efisien, dan rahasia. Saya menatapnya sejenak. Di balik topi dan wajahnya yang keras, ada pragmatisme dingin para penyintas. Mereka tidak lagi menjual gemerlap wisma, tetapi paket-paket tersembunyi yang dijajakan di emperan kafe.

Saya menggeleng pelan. “Terima kasih, Mas. Saya cuma mau buat video tentang kondisi Dolly sekarang,” kata saya, mencoba mengalihkan percakapan.

Pria itu mengangguk paham, tanpa ekspresi kecewa. Mungkin ia sudah terbiasa dengan penolakan. Saya pun pamit, melangkah menjauh dari Andromeda Cafe, menjauh dari tawaran itu, dan perlahan meninggalkan Gang Dolly.

Sore itu, saya tidak hanya melihat bangunan-bangunan yang berubah fungsi. Saya menyaksikan bagaimana sebuah ekosistem yang dipaksa mati ternyata mampu beradaptasi dengan cara yang luar biasa. Ia tak lagi berteriak di bawah lampu neon, melainkan berbisik di sudut-sudut gang yang remang. Dan bagi saya, seorang blogger dari Aceh, bisikan itu terdengar jauh lebih nyaring daripada hingar bingar Dolly di masa jayanya.

Pertanyaan pertama yang saya terima, “Nyari cewek, Mas?”, ternyata bukanlah pembuka, melainkan sebuah kesimpulan dari perjalanan ini. []

kampungbet

kampungbet

Artikel SebelumnyaPolda Aceh Imbau Masyarakat Tidak Terpancing Hoaks & Provokasi
Artikel SelanjutnyaMusadere, Cara Khalifah Usmani Sita Aset Koruptor di Zaman Ottoman
Taufik Al Mubarak
Seorang blogger yang tidak kunjung pensiun. Kini mencoba bikin video di YouTube.

1 COMMENT

  1. > “Saya dari Jogja,” jawab saya, menyebut kota perantauan saya, lebih mudah dicerna daripada menyebut Aceh.

    hahahaha.. ya, klo jawab dari aceh, bakal rumit dan banyak pertanyaan lanjutan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here