Nasir Djamil: Disusun Terburu-buru, UUPA Belum Sempurna

Nasir Djamil: Disusun Terburu-buru, UUPA Belum Sempurna
Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, saat diskusi publik “Advokasi Revisi UUPA Antara Peluang dan Tantangan” yang digelar secara daring pada Selasa (8/7/25). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Jakarta— Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, mengungkapkan UUPA belum sempurna mengakomodir poin penting dalam MoU Helsinki karena disusun saat situasi darurat pascadamai Helsinki dan gempa tsunami 2004.

“Kalau prosesnya lebih panjang, mungkin UUPA akan lebih sempurna dan lebih banyak memuat aspirasi,” ujarnya pada diskusi publik “Advokasi Revisi UUPA Antara Peluang dan Tantangan” pada Selasa (8/7/25).

Sebagai salah satu tokoh yang ikut terlibat dalam proses penyusunan UUPA pada 2006, Nasir mengakui UUPA belum sempurna karena disusun dalam situasi darurat. Ia menilai penyusunan yang dilakukan secara terburu-buru menyebabkan sejumlah poin penting dari MoU Helsinki tidak sepenuhnya dimasukkan ke dalam UUPA. 

Nasir juga mengkritik lemahnya pemahaman di kalangan pejabat kementerian terhadap substansi UUPA. Ia mengatakan, sosialisasi yang buruk sejak awal membuat banyak pejabat eselon yang kini menjabat tidak memahami dasar kekhususan Aceh. 

Karena itu, ia mengusulkan pembentukan kementerian khusus atau utusan presiden yang bertugas menangani urusan daerah-daerah dengan status khusus dan istimewa, termasuk Aceh. 

“Karena itu, perlu langkah strategis agar kekhususan Aceh ini tidak diputuskan di tingkat direktorat. Harus ada Menteri Khusus atau minimal Utusan Khusus Presiden untuk mengurus daerah-daerah istimewa seperti Aceh,” tambah Nasir Djamil.

Baca juga: Anwar Ramli: Revisi UUPA Harusnya Ubah 193 Pasal

Ia turut berharap hubungan antara Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Presiden Prabowo Subianto dapat menjadi jembatan untuk memperkuat implementasi kekhususan Aceh. 

Nasir Djamil mengingatkan agar pengakuan terhadap Aceh tidak berhenti pada seremoni atau penghormatan simbolik, melainkan diwujudkan dalam struktur dan kebijakan yang konkret.

Sementara itu, aktivis perempuan Aceh, Cut Farah Meutia, menilai arah diskusi terlalu teknis dan terjebak pada sembilan poin revisi yang telah disepakati di DPR Aceh daripada mengkaji peluang dan tantangan dari proses revisi itu sendiri.

Menurutnya, pekerjaan DPR Aceh telah selesai karena sembilan poin revisi telah disepakati. Kini bola ada di DPR RI dan DPD RI. Karena itu, ia menilai revisi UUPA akan sangat bergantung pada kredibilitas dan strategi politik wakil Aceh di Senayan.

“Saya menyarankan agar DPR RI membentuk pansus khusus di Senayan yang akan merumuskan revisi UUPA ini. Kalau tidak, maka revisi ini akan dikendalikan oleh pusat,” tegasnya.

Ia juga menyinggung pentingnya lobi politik kepada ketua-ketua partai nasional, mengingat ada beberapa partai yang sejak awal menolak keberadaan UUPA. Cut Farah menyebut PDI-P sebagai salah satu partai yang dulu keras menolak, dan kini menjadi partai terbesar di parlemen.

“DPR RI asal Aceh harus lebih dulu duduk bersama dengan partai-partai yang berpotensi menolak agar tidak ada penolakan saat pembahasan di parlemen,” ujarnya.

Menurutnya, pendekatan politik yang elegan dan kekeluargaan lebih penting daripada pendekatan konfrontatif. 

Artikel SebelumnyaAnwar Ramli: Revisi UUPA Harusnya Ubah 193 Pasal
Artikel SelanjutnyaRevisi UUPA Bukan Kegagalan Implementasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here