17 Tahun Damai, Aceh Masih Sebatas Konsumen Produk dari Sumut

PYM Wali Nanggroe Aceh (kiri) sedang menjelaskan tentang 17 tahun damai, Aceh masih sebatas konsumen produk dari Sumut. Kajati Aceh menyimaknya dengan baik. Foto: Ist.
PYM Wali Nanggroe Aceh (kiri) sedang menjelaskan tentang 17 tahun damai, Aceh masih sebatas konsumen produk dari Sumut. Kajati Aceh menyimaknya dengan baik. Foto: Ist.

Komparatif.ID, Banda Aceh—17 tahun usia perdamaian Aceh, Serambi Mekkah masih bergelut dengan persoalan kemiskinan dan ketergantungan yang akut terhadap Sumatera Utara.

Demikian disampaikan oleh Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, Kamis (12/5/2022) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Bambang Bachtiar,S.H.,M.H, yang berkunjung ke Istana Wali Nanggroe Aceh di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar.

Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, yang didampingi Staf Khusus Bidang Luar Negeri Dr. Raviq, kepada Kajati Aceh dan rombongan menyebutkan saat ini Serambi Mekkah belum berada pada kondisi yang pernah dicita-citakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berdamai dengan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005.

Hal utama yang kasat mata yaitu bidang ekonomi, meskipun sudah 17 tahun usia perdamaian, saat ini ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada Sumatera Utara, atau dalam terminologi orang Aceh sering disebut Medan—merujuk pada ibu kota Sumut.

“Saat ini ekonomi Aceh masih sangat bergantung dengan daerah lain khususnya daerah tetangga yakni Medan atau Sumatera Utara. Banyak kebutuhan masyarakat Aceh diproduksi di Medan dan dijual ke Aceh, dan Aceh dijadikan sebagai tempat pemasaran,” ujar Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe.

Sementara hasil pertanian Aceh juga dijual sebagai barang mentah ke Medan, yang harganya ditentukan secara sepihak oleh teungkulak yang menjadi agen pengusaha di Sumut. Bahkan dalam praktiknya, sebelum petani panen, mereka usdah terlebih dahulu menjualnya kepada kaki tangan tengkulak besar.

Dari sisi pembangunan juga belum banyak yang dapat dibanggakan. Bahkan banyak hal yang pantas disebut janggal. Dana otonomi khusus yang sejatinya diperuntukkan pada kegiatan peningkatan kesejahteraan rakyat dan pembangunan infrastuktur, justru tidak dapat dikelola secara baik oleh Pemerintah Aceh.
Ujung-ujungnya, APBA yang tidak dapat diserap pada tahun anggaran berjalan, dikembalikan ke Pemerintah Pusat dalam bentuk SiLPA.

Sementara itu Kajati Aceh Bambang Bachtiar,S.H.,M.H, di depan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe mengatakan terkait penegakan hukum, pihak Kejati Aceh lebih menempuh model restorative justice, khususnya untuk perkara-perkara sederhana.

Prinsip yang dijalankan adalah bukan mencari perkara sebanyak-banyaknya, dengan memenjarakan orang sebanyak mungkin. Tetapi berusaha keras memastikan bahwa perkara-perkara sederhana yang masih mungkin ditempuh jalan damai, maka akan didorong untuk diselesaikan secara musyawarah.

Hal ini sejalan dengan ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Pokok Pemerintahan Aceh ,di mana di dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat telah diatur bilamana terjadi permasalahan hukum di tingkat gampong,keuchik bersama dengan tuha peut dapat menyelesaikan dan memutus perkara di tingkat gampong tanpa harus melalui proses persidangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here