Yusny Sabi merupakan putra Aceh yang telah bergaul hingga level internasional. Bahkan Presiden ke-43 Amerika Serikat George W Bush, mengirimkan surat khusus kepada intelektual tersebut. Meski demikian, Yusny Sabi tetap menjunjung tinggi rasa cintanya kepada Aceh. Demi Aceh, Yusny Sabi bahkan pernah berguling di jalan beraspal yang penuh tahi lembu.
Prof. Drs. Yusny Sabi, B.A.,M.A., Ph.D, lahir di Gampong Bugak Krueng Mate, Mukim Bugak, Kewedanaan Bireuen, Aceh Darussalam, 26 Juni 1944. Ia merupakan putra dari pasangan Muhammad Saby bin Prang dan Teungku Jariyah binti Teungku Imum Abdullah. Ayahnya Yusny merupakan seorang pedagang yang seringkali mengangkut cabai dari Peusangan dibawa ke Medan melalui jalur Selat Malaka.
Pada suatu ketika, saat Sekutu melancarkan Agresi II, Toke Saby ditangkap. Barang niaganya disita dan dia dipenjara di Medan. Toke Saby tidak betah dikurung di dalam kerangkeng. Dia melobi dan akhirnya bebas. Tapi hartanya yang disita tidak dikembalikan.
Baca: Azhari Idris, dari Bireuen ke Industri Hulu Migas Indonesia
Masa Yusny bermanja-manja dengan ayahnya tidaklah berlangsung lama. Ketika ia berumur 6 tahun, tepatnya 1950, Toke Saby meninggal dunia.
Yusny Sabi beruntung, meski ayah telah tiada, dia memiliki ibu yang luar biasa. Teungku Jariyah merupakan seorang ibu yang sangat paham agama, karena putri dari Teungku Abdullah, Imum Gampong Bugak Krueng Matee.
Saudara-saudara ibunya seluruhnya juga punya pengetahuan agama yang mumpuni. Sehingga dengan kondisi itu, Yusny kecil berada dalam pengasuhan keluarga yang menjunjung tinggi nilai agama dan pendidikan.
Tidak mudah menjadi janda. Lima orang anak cukup merepotkan Teungku Jariyah. Sang bunda tidak ingin anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang bagus. Meski janda dan baru anak tertua yang menikah, Jariyah tetap memiliki semangat membara mengirimkan putra dan putrinya ke sekolah.
Tak ada yang membayangkan bahwa Yusny akan sampai ke Amerika Serikat untuk menimba ilmu. Tidak akan ada yang menyangka Yusny akan mendapatkan surat ucapan terima kasih khusus dari Presiden George W Bush. Tapi hadiah memang diberikan kepada si pemimpi besar dengan tindakan besar.
Tulisan ini tidak akan mengupas lebih lanjut bagaimana Yusny Sabi berjuang mewujudkan mimpinya. Pada kesempatan yang lain, Komparatif.id akan menulis secara khusus tentang itu.
Tulisan ini fokus pada kiprah Yusny Sabi yang ikut dan berperan besar dalam mewujudkan perundingan pertama antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia.
Kisah ini ditulis oleh Azhari Idris, yang kini menjabat Kepala SKK Migas Kalimantan-Sulawesi. Tulisan dengan judul Perundingan Damai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Dengan Pemerintah Indonesia Era 1999-2003 Profesor juga ikut tiarap….dimuat di dalam buku berjudul Yusny Sabi Sang Motivator, yang diterbitkan oleh LSAMA dan Kaukaba.
Azhari Idris menukil dalam tulisan itu Komite Bersama Modalitas keamanan (KBMK) dan Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KBAK) dibentuk berkat dukungan Hendry Dunant Centre (HDC) untuk mencari jalan keluar bagi Aceh yang dikecamuk perang. KBMK beranggotakan pimpinan militer GAM di lapangan dan perwira menengah TNI Polri. Sementara KBAK merupakan unsur sipil dari kedua belah pihak. Dari unsur pemerintah diwakili oleh tokoh masyarakat sipil, tokoh LSM, wakil pemerintah daerah, dan kalangan ulama/cendekia.
Yusny Sabi dipilih mewakili ulama dan cendekiawan. Dalam proses sejumlah perundingan, ia memainkan peranan sangat penting. Dalam perjalanan kerja-kerja politik KBMK dan KBAK, Yusny Sabi mendapatkan kepercayaan dari kedua belah pihak. Dia dianggap sebagai tokoh yang dituakan, dapat didengar pendapatnya serta adil dalam sikap dan tindakan.
Yusny banyak terlibat menjalin komunikasi informal dengan para pihak di luar meja perundingan. Yusny memilih bekerja ekstra, karena saat itu Aceh membutuhkan banyak dukungan internasional. Rakyat mengungsi di mana-mana, korban jiwa bergelimpangan di berbagai tempat, dan rakyat banyak yang kelaparan.
Atas kepercayaan yang diberikan kepadanya, Yusny Sabi kemudian dipercayakan bergabung ke dalam Tim Monitoring Masalah Keamanan (TMMK). Tidak mudah menjadi bagian tim itu, karena ia sipil murni, tak pernah berkecimpung dalam dunia kemiliteran.
Kepercayaan kepada Yusny dari kedua belah pihak bukan lahir ujug-ujug. Saat itu rasa curiga antar sesama anak bangsa sangat tinggi. Namun karena Yusny menunjukkan keseriusan dan ketulusan tinggi, ia pun menjadi pilar penting dalam merajut komitmen kedua belah pihak.
Yusny Sabi Berguling di Jalan Penuh Tahi Sapi
Bertugas sebagai tim monitoring, membuat Profesor Yusny Sabi harus ikut terjun ke daerah-daerah yang terjadi kontak senjata. Termasuk keluar masuk belantara untuk menemui petinggi-petinggi militer GAM. Pelaksanaan tugas itu tidak mudah, karena segala kemungkinan bisa terjadi.
Pada suatu pagi terjadi kontak senjata di Cot Matahe, Aceh Utara. Saat itu TNI sedang melakukan patroli di jalan sepanjang jalur pipa gas Exxon Mobil menuju Paya Bakong. Saat sedang berpatroli, TNI diserang pasukan GAM.
Karena serangan itu, TNI memobilisasi pasukan dalam jumlah lebih banyak ke tempat itu.
Ketua tim perunding dari masing-masing pihak di KMBK diperintahkan untuk membangun komunikasi dengan pasukan masing-masing di lapangan. KBMK juga sepakat menurunkan tim monitoring ke lapangan untuk melakukan ferivikasi laporan tersebut.
Kebetulan, saat itu Prof. Yusny dan timnya sedang berada di Lhokseumawe. Merekalah yang berangkat ke lokasi dengan menggunakan kendaraan berlabel Hendry Dunant Centre (HDC) yang menjadi fasilitator perundingan damai.
Ketika rombongan tiba di Matahe, pasukan TNI memberhentikan mobil tim monitoring. Sejumlah prajurit keluar dari semak-semak. Seluruh penumpang dipaksa turun dari mobil.
Tim monitoring dibentak dan diperintahkan tiarap di atas badan jalan yang berdebu dan penuh tahi lembu. Seorang prajurit yang jauh lebih muda, membentak Yusny sembari meminta guru besar tersebut ikut tiarap.
Yusny mematuhinya. Dia tiarap. Kemudian berguling-guling di atas badan jalan sesuai perintah TNI yang menodongkan senjata siap tembak.
Risiko seperti itu sudah dihitung olehnya sejak awal bersedia bergabung dalam tim perundingan. Ia tidak takut bila di lapangan akan direndahkan, akan dihina, dan diperlakukan tidak wajar. Ia ikhlas melakukannya demi Aceh yang sangat dirinya cintai.
Sejarah mencatat, bahwa perundingan damai yang dirintis berkat dukungan HDC, menjadi pintu gerbang menuju serangkaian perundingan lainnya yang kelak membuka jalan besar suksesnya MoU Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.