Komparatif.ID, Banda Aceh— Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh melayangkan gugatan hukum terhadap PT Medco E&P Malaka dan sejumlah institusi pemerintah terkait dugaan pencemaran gas beracun yang telah berulang kali dialami masyarakat di Aceh Timur.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menyebut gugatan tersebut sebagai langkah terakhir setelah berbagai upaya dialog tidak membuahkan hasil.
Ia menjelaskan masyarakat sudah terlalu lama menanggung risiko paparan gas berbahaya. Ia menegaskan, pihaknya telah berulang kali menyampaikan saran dan masukan baik kepada perusahaan maupun pemerintah, namun tidak ada tindak lanjut yang signifikan.
“Setelah berbagai upaya advokasi dilakukan tanpa hasil, kami menempuh jalur hukum sebagai pilihan terakhir agar ada perbaikan tata kelola lingkungan di Aceh Timur,” kata Shalihin saat konpres di kantor WALHI Aceh, Jumat (3/9/2025).
Ketua Tim Kuasa Hukum WALHI, Zulfikar Muhammad, memaparkan dugaan pencemaran gas beracun terjadi sejak 2021, tercatat serangkaian insiden yang menyebabkan warga harus mengungsi akibat paparan gas.
Pada 2021, lebih dari 500 warga Gampong Pante Rayeuk T dan Blang Nisam terpaksa meninggalkan rumah karena bau menyengat dari sumur gas PT Medco. Pada 2023, peristiwa serupa kembali terjadi dan memaksa sekitar 500 warga mengungsi, dengan 35 orang menjalani perawatan intensif di RS Zubir Mahmud.
Pada Agustus 2025, kasus serupa terulang, mengakibatkan 200 orang mengungsi dan dua orang dilarikan ke rumah sakit.
Menurut Zulfikar, kasus ini tidak lagi dapat disebut sebagai insiden tunggal. “Kondisi ini terus berulang. Ini bukan lagi kecelakaan, melainkan kelalaian sistematis yang mengancam keselamatan warga,” ujarnya.
Ia menambahkan dampak gas beracun tidak hanya menyerang kesehatan fisik, tetapi juga menimbulkan trauma bagi anak-anak dan mengganggu kehidupan sosial masyarakat.
Gugatan hukum ini diajukan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. PT Medco E&P Malaka ditetapkan sebagai Tergugat I, sementara Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) menjadi Tergugat II.
Selain itu, WALHI juga menggugat Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Aceh, serta Bupati Aceh Timur sebagai turut tergugat karena dinilai lalai menjalankan fungsi pengawasan.
Salah satu titik utama permasalahan adalah prosedur pembersihan sumur Alue Siwah (AS) 8, di mana gas hidrogen sulfida (H2S) dilepaskan langsung ke udara tanpa pengelolaan yang sesuai. Zulfikar menyebut, gas tersebut termasuk kategori limbah B3 sehingga semestinya dikelola dengan dokumen dan prosedur khusus. “Sampah beracun ini dilepas begitu saja ke udara. Itu bentuk kelalaian serius,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga dianggap gagal menjalankan rekomendasi yang pernah dibuat. Pada 2023, Pemerintah Aceh menyarankan agar PT Medco memasang alat pemantau kualitas udara, melakukan simulasi evakuasi, serta memberikan fasilitas bagi korban terdampak. Namun hingga kini, rekomendasi itu tidak terealisasi.