Teuku Bujang Selamat, Sang Pencerah untuk Tanah Papua

Seri Pejuang Perintis Kemerdekaan

Teuku Bujang Selamat
Teuku Bujang Selamat. Dok. keluarga.

Teuku Bujang Selamat (Bujang Salim Bin Rhi Mahmud) merupakan orang pertama yang membawa Muhammadiyah ke Tanah Papua. Ia berdakwah di Bumi Cenderawasih, sembari menanti waktu pembuangannya ke Digul.

Dr. Mulyadi Djaya, Dosen Universitas Papua di Manokwari, dalam sebuah artikelnya di Republika.co.id, berjudul: Pertama Sholat Ied dan Hadirnya Muhammadiyah di Papua, menyebutkan Kedatangan Teuku Bujang Salim tersebut merupakan periode pertama berkembangnya ormas Islam Muhammadiyah di Papua.

Dalam artikel tersebut Dr. Mulyadi Djaya menjelaskan Muhammadiyah pertama kali hadir di Papua, ketika Teuku Bujang Selamat tiba di negeri kaya nan elok itu, karena diasingkan oleh penjajah Hindia Belanda. Pemuda Aceh tersebut merupakan lelaki kelahiran Nisam—saat ini Aceh Utara—dan menghabiskan masa mudanya melawan penjajahan Belanda.

Baca juga: MA Jangka, Camat Legendaris Peusangan

Karena masuk dalam daftar orang-orang berbahaya, Teuku Bujang Selamat ditangkap dan dibuang ke Tanah Papua. Dia diasingkan ke Bovel Digul yang saat itu merupakan kawasan paling sepi.

Ketika tiba di Tanah Papua, Teuku Bujang Selamat segera bergaul dengan kaum muda muslim yang telah lebih dulu berada di sana. Ia dan pemuda bergerak melakukan dakwah keislaman di Meurake. Teuku Bujang pula yang pertama kali menggerakkan salat Ied berjamaah di lapangan di Papua.

Jauh sebelum datangnya Teuku Bujang, kurun 1906-1919, pendatang muslim yang berasal dari Jawa, seperti tentara KNIL, pedagang, pegawai pemerintah, dan buruh tani mulai berdatangan ke sana. Baik karena ditugaskan, maupun demi kepentingan bisnis swasta.

Teuku Bujang Selamat banyak melakukan gebrakan di sana. Mendirikan kepanduan, menyelenggarakan pendidikan, klub sepakbola, hingga drumband. Ia juga mendirikan masjid yang kini dikenal dengan nama Nurul Huda. Jalan dakwah Teuku Bujang selama di pengasingan diperhatikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Karena dianggap berbahaya, pada 1935 Sang Pencerah pun dipindahkan ke Boven Digul, yang berjarak 450 kilometer dari Meurauke. Bovel Digul merupakan daerah sangat terisolir.pada tahun 1942—ketika Jepang mendarat di Papua, pejuang dari Serambi Mekkah itu diungsikan ke hutan Bijan, dan dibawa kembali ke Merauke. Tahun 1943 dia dibuang ke Australia. Pria gagah perkasa itu baru kembali ke Tanah Air pada tahun 1950—setelah Indonesia merdeka. Setelah tiba di Jakarta, dia segera berangkat ke Keude Amplah, Nisam, Aceh Utara.

Marzuki Dewantara dalam sebuah artikelnya di Steemit.com–@marzukidewantara, menuliskan Teuku Bujang Salim bin Teuku Rhi Mahmud, lahir di Nisam pada tahun 1891. Saat itu Nisam berstatus sebagai negeri(zelfbestuurder) dan dipimpin oleh ulee balang (hulu balang) yang langsung berada dibawah Karesidenan Aceh (Atjeh en Onderhoorigheden).

Teuku Bujang merupakan keturunan bangsawan yang pada masa itu disekolahkan oleh Belanda.

Pada tahun 1910 ia menempuh pendidikan di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi-Sumatera Barat. Teuku Bujang menempuh pendidikan mulai dari HIS (Hollandsch Inlandsch School), dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan terakhir Teuku Bujang menempuh pendidikan pada sekolah Hollandsche Indische Kweekschool (HIK).

Setelah menyelesaikan pendidikan, Teuku Bujang diangkat menjadi Zelfbestuurder Negeri Nisam dari Tahun 1912-1921 dengan pusat pemerintahannya di Krueng Geukueh.

Selama menjabat sebagai Pimpinan Negeri Nisam, Teuku Bujang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Pada tahun 1921 ia mendirikan Persatuan Muslim Bersatu. Organisasi itu difungsikan olehnya untuk menyusun kekuatan melawan penjajahan.

Ia mendidik anak-anak negeri di Nisam dengan bekal ilmu agama dan ilmu pemerintahan. 10 tahun menimba ilmu di Bukittingi sebagai calon guru, sangat membantu Teuku Bujang membentuk jiwa patriot putera-puteri Nisam.

Aktivitas Teuku Bujang Selamat membuat Belanda gerah. Ia pun ditangkap dan dipenjara di Keudah, Kutaraja. Di sana hatinya tak juga melunak. Dia dipindahkan ke penjara di Meulaboh. Tapi hatinya tetap sekeras karang laut. Bangsawan pemberani itu akhirnya dibuang ke Papua, sebagai bentuk hukuman yang dianggap paling tepat kala itu. Sebelum dia diasingkan, kedudukannya sebagai ulebalang dicabut.

Pengasingan itu sangat mengusik nilai kemanusiaan. Saat itu dia baru beberapa tahun menikah dan telah memiliki seorang anak. Tapi dengan kesatria, dirinya memilih mengorbankan kebahagiaan diri dan keluarga, demi membela cita-cita paling mulia: kemerdekaan bangsa.

Kiprah dakwah Teuku Bujang Selamat di Tanah Papua telah membuka jalan awal bagi perkembangan Muhammadiyah di Bumi Cenderawasih. Ia dengan penuh dedikasi mengabdikan diri untuk agama dan bangsa, yang kelak menjadi Indonesia.

Artikel SebelumnyaSMSI  Tolak Pasal di  Publisher Right yang “Membunuh” Perusahaan Pers Start Up
Artikel SelanjutnyaMuazzinah, M.P.A Dikukuhkan Sebagai Ketua IAPA Aceh 2023-2026
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here