Temuan KKR Aceh Tidak Tahu Akan Dibawa Kemana lagi

Temuan KKR Aceh Tidak Tahu Akan Dibawa Kemana. Staf Ahli Deputi V KSP Mugiyanto (kiri), Ketua KKR Aceh Masthur Yahya (kanan). Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.
Staf Ahli Deputi V KSP Mugiyanto (kiri), Ketua KKR Aceh Masthur Yahya (kanan). Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya mengatakan laporan temuan pelanggaran HAM tidak tahu akan dibawa kemana lagi. Hal tersebut ia sampaikan pada diskusi publik laporan temuan KKR Aceh di Balai Pelatihan Kesehatan, Banda Aceh, Kamis (21/12/2023).

“Jangankan orang luar, kami saja yang di KKR tidak tahu laporan ini akan dibawa kemana lagi,” ujar Masthur seraya mengangkat buku Peulara Damée.

Masthur menambahkan, laporan KKR sudah disampaikan kepada Menkopolhukam, PPHAM, PKPHAM, dan ke Staf Kepresidenan.

Terkait hal tersebut, Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Mugiyanto mengatakan, ambiguitas tindak lanjut laporan terjadi karena hingga saat ini, belum ada nomenklatur yang khusus mengatur penyelesaian laporan temuan.

Mugiyanto menjelaskan saat ini Pemerintah berfokus pada penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Hal ini ditempuh untuk mencari keadilan melalui perspektif korban, meski pelakunya belum terungkap.

“Jadi jangan sampai korban telantar hanya karena pelakunya belum terungkap, karena itu Presiden mendesak untuk pemenuhan hak korban secara non-yudisial lebih dahulu,” ungkapnya.

Meski begitu, Mugiyanto menekankan penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara yudisial akan juga terus didorong. Salah satunya melalui laporan temuan KKR Aceh yang nantinya juga akan disampaikan kepada Presiden Jokowi.

Baca juga: KKR Aceh Laporkan 4.675 Pernyataan Pelanggaran HAM di Aceh

Pemerintah juga akan menyiapkan nomenklatur-nomenklatur agar laporan temuan KKR Aceh tidak hanya menjadi angin lalu dan terabaikan begitu saja.

Sementara itu, mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Otto Syamsudin Ishak turut mempertanyakan kemana muara laporan temuan KKR Aceh ini berakhir. Menurutnya, ketidakpastian perangkat hukum untuk mendukung hak reparasi korban justru akan menimbulkan sentimen negatif untuk pemulihan.

Akademisi Universitas Syiah Kuala itu juga menyinggung penyusunan laporan temuan pelanggaran HAM yang abai memasukan anatomi konflik, sehingga latar belakang pelanggaran HAM belum tergambar semua.

“Anatomi konflik penting untuk melihat gambaran bagaimana pelanggaran HAM terjadi, misalnya kasus di Bener Meriah (peristiwa Timang Gajah) terjadi karena berbagai kemungkinan alasan, termasuk sentimen ras, namun hal tersebut tidak masuk dalam laporan ini,” ungkap Otto.

Artikel SebelumnyaTari Singkil; Lenggok Putri Kipas Maranao
Artikel SelanjutnyaKKR Aceh Akan Diadopsi Secara Nasional

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here