Tanoh Gayo di Aceh Tengah dan Bener Meriah, serta Kota Sabang, merupakan dua destinasi wajib kunjungi ketika pelesiran ke Aceh. Mengapa? Gayo dengan udara dinginnya menawarkan berbagai keindahan khas dataran tinggi. Sedangkan Sabang menyajikan keindahan tepi pantai dan bawah laut yang aduhai.
Seorang teman bernama Mbak Sri—demikian saya memanggilnya—perempuan berdarah Batak, ingin napak tilas ke Aceh. Ia telah lama meninggalkan Serambi Mekkah. Ketika kecil, Sri menetap di Kota Lhokseumawe yang saat itu masih ibukota Kabupaten Aceh Utara.
Sekitar tahun 1980-an Sri tinggal di Lhokseumawe, bersekolah sembari menghabiskan hari-harinya, ikut sang ayah yang ditugaskan di kota tersebut. Lhokseumawe kala itu masih sangat maju, dikelilingi berbagai objek vital nasional seperti Exxon Mobile, PT KKA, PT PIM, PT AAF, dan lain sebagainya. Maklum saja, kala itu gas alam masih sangat banyak di ladang PT Arun.
Sri pernah juga berkunjung ke Kota Takengon ibukotanya Aceh Tengah. Keindahan Tanoh Gayo sampai sekarang masih sangat membekas di ingatan Sri. Ia rindu dan ingin menjenguk Aceh. Namun ada yang ia khawatirkan, apakah pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, akan memaksa dirinya berjilbab?
“Non, apakah aku harus pakai jilbab sesampainya di sana?” tanya Mbak Sri padaku.
Saya kaget mendengar pertanyaan itu. Sejurus kemudian tersenyum. Sri bukan orang pertama yang bertanya soal itu. Maklum saja, orang-orang di luar Aceh, mengukur Serambi Mekkah dari isi pemberitaan media massa.
Media massa rajin memotret razia pakaian wanita di Aceh. Visualisasi perempuan yang ditegur oleh polisi syariat (wilayatul hisbah) merupakan hal yang paling banyak diberitakan. Sehingga membuat orang di luar Aceh menyimpulkan bila pemerintah dan penduduk di Serambi Mekkah tidak punya pekerjaan selain mengurus jilbab dan kerudung perempuan.
“Mbak gak perlu berkerudung atau berjilbab, kan wisatawan,” kata saya. “Bila nanti diperlukan untuk berkunjung ke tempat-tempat religi, boleh gunakan jilbab saya.”
Saya mencontohkan, untuk masuk ke area Masjid Raya Baiturahman, setiap pengunjung diwajibkan memakai pakaian yang sopan. Untuk perempuan diwajibkan memakai kerudung/jilbab/selendang, serta memakai baju lengan panjang. Kalau celana dan rok, tidak dipersoalkan, selama masih dianggap sopan. Tapi kunjungan yang kami rencanakan, sepertinya tidak sempat ke Masjid Raya.
Akhirnya, pada minggu akhir Agustus 2022, kami pun berangkat ke Aceh. Setelah tiba di Aceh, daerah pertama yang kami kunjungi yaitu Dataran Tinggi Gayo. Mbak Sri punya kenangan khusus di sana. Dulu, saat masih kecil dia mengatakan Kota Takengon sangat dingin. Bahkan minyak goreng pun membeku di kota itu. Padahal tidak ditaruh di dalam freezer.
Ada bangunan losmen di tengah kota yang diingatnya, sebuah bangunan Belanda, dari ketinggian lokasinya, bisa memandang kota Takengon yang indah. Sayang losmen itu sudah tak terawat. Sebagai gantinya, saya mengajak Mbak Sri ke Bur Telege, dari sanapun bisa menikmati kota Takengon dan Danau Lut Tawar.
Saya juga mengajaknya untuk menikmati kuliner khas Gayo, tak lupa juga mengunjungi salah satu kafe Galeri Kopi Indonesia yang di tengah kota. Sebetulnya ingin menunjukan kafe di tengah ladang kopi, tapi lagi-lagi waktu yang terbatas, akhirnya kami harus memilih, lebih baik mengitari danau Lut Tawar dan stop sebentar di beberapa spot indah, dan kembali untuk jamuan makan siang dan praktek membuat sambal cecah Angur, masakan khas Gayo. Biasa kan, ibu-ibu yang hobi memasak pasti suka mendapatkan resep masakan baru yang unik.
Layaknya turis, kami berkeliling, menikmati pemandangan Lut Tawar yang hari itu sedikit dihiasi mendung menggayut.
Ada sedikit keseruan ketika berada di dermaga di kecamatan Bintang, dermaga Pantai Menye, Lut Tawar. Kami berjumpa dengan rombongan turis dari Jakarta, yang ternyata pensiunan ibu-ibu guru dari SMP Negeri 15 Tebet, Jakarta Selatan.
Penasaran saya bertanya, mengapa Aceh jadi pilihan destinasi wisata mereka? Rupanya ada salah satu guru yang berasal dari Aceh Tengah dan mengajak mereka untuk menikmati pemandangan Aceh.
Maka mulai menabunglah mereka semua, mempersiapkan untuk bisa jalan-jalan keliling Aceh–termasuk ke Tanoh Gayo. Dengan antusias bercerita, mereka sudah ke Banda Aceh, keliling pantainya, makan mi kepiting, mengunjungi Museum Tsunami, lalu mereka juga sudah ke Nol Km di Sabang, dan menikmati rujak khas Aceh di sana.
Saat saya mengatakan akan ke Sabang, mereka dengan antusias merekomendasikan warung rujak paling enak di Pulau Weh.
Di antara guru-guru itu ada yang tidak berkerudung. Mereka terlihat santai dan benar-benar dapat menikmati keindahan Tanoh Gayo. Tidak ada yang memandang perempuan tanpa jilbab dengan mata sinis. Tidak ada. Semua biasa saja.
Info saya benar ternyata, Aceh tak seperti yang diberitakan oleh media massa. Tak ada kewajiban bagi pendatang untuk berkerudung atau berjilbab di tempat umum, bagi mereka yang tak berkerudung bebas saja menikmati berkeliling Aceh.
Untuk pensiunan guru yang kami temui di Pantai Meunye, Tanoh Gayo, saya angkat salut. Well noted, bu guru. Jempol dua lah untuk mereka. Salut dengan semangat dan kekompakannya. Perlu tekad yang betul-betul bulat untuk mewujudkan jalan-jalan berkelompok seperti mereka, dan di usia yang tak lagi muda. Patut ditiru, dalam hati saya.
Setelah berkeliling Kota Takengon selesai kami lakukan dengan riang gembira, kamipun bergerak menuju Kota Sabang, yang berada di ujung Barat Indonesia. Berkat adanya tol yang telah selesai sebagian, perjalanan bisa lebih cepat.
Tak perlu khawatir jalan tengah malam di Aceh, karena dijamin aman dan ramai. Bahkan di beberapa perlintasan kota, masih banyak orang berjualan keripik pisang, buah-buahan. Bahkan kue ade khas Mereudu, Pidie Jaya, tokonya buka sampai jam 2 pagi. Kami sengaja jalan malam, agar sampai subuh di Banda Aceh, beristirahat sejenak, dan melanjutkan perjalanan ke Sabang dengan kapal ferry dari pelabuhan penyeberangan Ulee Lheu. Waktu tempuh hanya 45 menit dari pelabuhan ini ke Pulau Weh.
Tak ada norma berpakaian wajib syariah yang kaku. Saya juga melihat turis asing di Sabang dengan santai snorkling dan diving; berkaos dan bercelana pendek, jalan santai di pantai Iboh.
Sabang kota yang asyik, kota di paling ujung Indonesia bagian barat Indonesia, masih terjaga kebersihan pantai dan lautnya. Sasaran pertama kami adalah titik Nol KM. Siang dilanjut ke Pantai Iboh.
Siang itu, di Pantai Iboh, kami menyantap ikan hasil tangkapan anak nelayan setempat. Cakalang segar dengan sisik berkiLauan, nikmat tiada tara. Kemudian kami berkunjung ke Pulau Rubiah, tempat bersejarah yang pernah menjadi dermaga keberangkatan jamaah haji ke Tanah Suci, yang memiliki laut nan indah.
Ketika mengelilingi Pulau Rubiah, kami diajak melihat kecantikan bawah laut. Dari perairan dangkal, di atas perahu kami bisa menikmati ikan-ikan dengan berbagai corak warna, berenang dan terumbu karang batik dan terumbu karang otak, tempat tinggal berbagai ikan di sana.
Sore hari setelah dari Pantai Iboh dan keliling Pulau Rubiah, kami masih sempat menikmati sore minum kopi di kafe yang sekaligus Museum Kota Sabang. Di sana kami menikmati sore dengan nyanyian yang diiring gitar. Beberapa tembang daerah dan lagu jadul mengalir indah di indra dengar.
Menjelang Magrib, kami kembali ke hotel, kebiasaan di Aceh, di manapun, Magrib semua toko tutup sebentar, nanti buka kembali selepas Isya. Tadinya ingin juga menikmati live music di kafe ini, tapi pilihannya kami ingin menikmati kuliner yang lain. Saya sempat dengar staf kafe berlatih, wow, musik fussion. Keren.
Harusnya minimal 3 hari di Sabang, baru dapat menikmatinya dengan sempurna. Bisa menjelajah lebih jauh lagi. Banyak spot yang belum di-eksplore. Well, semoga ada next time.
Intinya saya mau mengajak, “Yuk wisata ke Aceh. Wisata dapat dipilih sesuai dengan selera. Mau wisata kuliner, wisata religi, wisata alam indah pantai dan gunung, semua komplet di Aceh yang indah lagoina.