Takluknya Ken Arok si Raja Jawa 

Raja Jawa
Ken Arok. Ilustrasi dikutip dari koransulindo.com

Bahlil Lahadalia, dalam pidato sesuai dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Golkar mengatakan jangan coba-coba melawan Raja Jawa.

Dia tidak menyebutkan secara detail siapa Raja Jawa dimaksud. Tapi ia ingin menegaskan bahwa dirinya “dibacking” Raja Jawa.

Dalam pidato perdananya pada Munas ke-11 Golkar di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024) Bahlil mengingatkan kader Golkar supaya tidak bermain-main dengan Raja Jawa.

Baca: Kronik Sultan Aceh, dari Pengkhianatan ke Pengkianatan

“Soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu,” ucap Bahlil kala itu.

Narasi Raja Jawa seketika menggema seusai pidato Bahlil. Banyak yang bertanya siapa yang dimaksud Bahlil? Adakah itu someone? Ah sudahlah.

Jawa merupakan kunci. Demikian kata Aidit dalam sebuah cuplikan film Gerakan 30-S/PKI. Aidit yang merupakan anak Sumatra Timur, menaruh perhatian besar kepada Jawa. Karena setengah kekuatan politik Indonesia merupakan Jawa. Demikian juga dari struktur ekonomi, Jawa pegang kendali.

Jawa dalam konteks ini, bukan suku, tapi lebih kepada terminologi politik yang mencakup ekonomi.

Perihal Raja Jawa yang diutarakan oleh Bahlil, saya teringat Ken Arok, suami kedua Ken Dedes.

Penulis Serat Pararaton yang anonim menempatkan Ken Arok sebagai tokoh istimewa. Ia dituliskan dilahirkan dari hubungan badan antara Brahma dan Ken Ndok. Ken Ndok sendiri merupakan istri Gajah Para.

Dalam riwayat Serat Pararaton disebutkan bila Ken Arok muda gemar berjudi, merampok, berzina, memerkosa, dan lain-lain. Dia penuh dengan kisah amoral.

Berkat perantara Lohgawe–seorang brahmana dari India, Arok diterima mengabdi di Tumapel yang saat itu dipimpin oleh seorang akuwu (camat) bernama Tunggul Ametung.

Ken Arok seorang yang ambisius. Dia tidak menjadikan perjalanan hidupnya sebagai pelajaran. Ia hanya melihat segala sesuatu yang dirinya raih merupakan perintah untuk mendapatkan lebih.

Ia diberi kerja sebagai tukang kebun di Taman Boboji. Di sana pula untuk pertama kali ia melihat Ken Dedes. Perempuan cantik itu tersingkap pakaiannya. Sehingga sebagian selangkangannya terlihat oleh Ken Arok.

Ia menceritakan peristiwa itu kepada Lohgawe. Brahmana tersebut mengatakan bila Ken Dedes merupakan perempuan istimewa. Calon ibu dari raja-raja Jawa kemudian.

Birahinya muncul. Ia ingin memiliki Ken Dedes seutuhnya. Birahinya bertambah kala disebutkan keustimewaan sebagai calon ibu raja-raja Jawa di masa depan.

Ia membunuh Tunggul Ametung yang sedang tidur menggunakan keris Mpu Gandring. Keris itu sakti mandraguna. Pembunuhan itu disaksikan oleh Ken Dedes istri Akuwu Tumapel Itu. Tapi dia diam saja karena pernikahannya dengan Tunggul Ametung merupakan paksaan.

Di kemudian hari dia memberontak kepada Kadiri. Ken Arok mendirikan negara merdeka dengan nama Kerajaan Tumapel. Dia menobatkan diri dengan gelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.

Ia jatuh dari kekuasaan hanya karena “kesalahan kecil”. Saat dia mengangkat putranya sebagai raja baru di Tumapel, timbul tanda tanya dari Anusapati, mengapa bukan dia yang akan dinobatkan sebagai raja. Bukankah dia putra pertama? Mengapa justru Mahisa Wong Ateleng yang ditunjuk?

Dari sana dia mencari tahu, dan akhirnya Ken Dedes buka mulut. Bila ayahnya Anusapati adalah Tunggul Ametung, yang dibunuh Ken Arok kala sedang tidur. Saat itu Anusapati masih dalam kandungan Ken Dedes.

Darah dibalas darah. Khianat dibalas khianat. Raja Jawa itu akhirnya mati di singgasana, ditusuk menggunakan keris Empu Gandring oleh orang suruhan Anusapati.

Ken Arok mati bukan karena jahat secara fisik kepada Anusapati. Rahasianya terbongkar karena nafsu kekuasaannya yang tak kenal batas. Dia lupa bahwa Anusapati pasti akan bertanya mengapa dia diabaikan? Padahal dia “putra pertama”.

Kembali ke Bahlil. Narasinya tentang Raja Jawa memang menarik. Mengandung pesan mendalam, mengembalikan kita ke era kala pepatah “diam itu emas” mendapatkan tempat teratas.

Tapi, tak ada raja yang tak turun takhta. Tak ada kuasa yang tidak runtuh. Bahkan teramat banyak yang harus jatuh dengan cara yang sangat tragis.

Masih ingat Raja Firaun? Raja Namrud? Atau raja-raja lalim dari semenanjung.

Saya yakin Bahlil hanya bercanda. Bukankah di negara Rèpublik tidak ada lagi raja, konon lagi yang digjaya. Guyon Bahlil memang berani.

Artikel SebelumnyaProfil Armia Fahmi, Putra Aceh yang Pecah Bintang 2 Polri
Artikel SelanjutnyaProfil Ir. Razuardi, Pendamping H. Mukhlis di Pilkada Bireuen 2024
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here