Cina seringkali menjadi public enemy karena narasi politik elit yang selalu mengasosiasikan mereka sebagai juragan tanpa uang kecil. Dalam politik kontemporer, 9 naga merupakan “identitas” yang penuh asumsi sumir, seakan-akan Cina sama dengan bangsa rakus, kaum yang tak mengenal belas kasihan. Banyak sekali narasi keliru yang dibangun untuk menimbulkan kegaduhan di tengah komunitas sosial kita.
Orang Aceh akrab dengan Cina—sekarang lebih ngetop disebut Tionghoa—bukan baru-baru ini. Pertautan Cina dan Aceh sudah terjadi lebih 600 tahun lalu. Utamanya melalui hubungan dagang.
Ya, di Aceh memang Cina identik sebagai sebuah etnis yang bergerak di sektor perdagangan. Mereka berniaga di kota-kota kecamatan hingga provinsi. Dalam literasi Aceh, ada sebuah ‘hiem –tebak-tebakan—dalam bahasa Aceh yang berserempetan dengan rasa kecina-cinaan: ‘cheng c’hua cok aneuk cukeh ma. Ternyata jawaban dari teka-teki itu adalah korek api yang dibuat dari kayu.
Baca juga: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali
Demikian juga sebuah pernyataan budaya yang menegaskan bahwa Cina adalah saudagar. Aceh teungku, Melayu abang, Cina tauke, kaphe tuan.Demikianlah haba maja dalam khazanah Aceh yang disampaikan, menegaskan identitas empat bangsa yang pernah ada di Aceh.
Saya, Cina Geurugok, dan Krueng Mane
Bila ada waktu, setiap akhir pekan saya mengajak istri dan anak-anak pulang kampung di Krueng Mane, Aceh Utara. Tujuannya untuk saweu poma—menjenguk ibu. Krueng Mane dan Geurugok dipisahkan oleh sungai dan dihubungkan oleh jembatan. Saat ini Geurugok sudah menjadi wilayah Kabupaten Bireuen, sedangkan Krueng Mane berada di Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Dulu keduanya berada dalam satu kabupaten.
Saat ini Keude Geurugok telah menjadi kota sate sejak nama Sate Apaleh melambung, sehingga Matangglumpangdua, Peusangan, yang dikenal sebagai kota sate, kian redup pengaruhnya. Bus-bus besar hingga mobil-mobil pribadi lebih memilih singgah di Geurugok ketimbang Matang. Alasannya selain rasa satenya enak, parkirnya juga luas.
Di Geurugok, sejak dulu sudah terkenal satu kuliner yang disebut Mi Kocok Geurugok. Sengaja saya bubuhi huruf kapital di awal nama kuliner tersebut, sebagai bentuk penegasan tentang kekhasannya yang tidak dijumpai di tempat lain. Meskipun dalam beberapa waktu ke belakang mi kocok serupa juga sudah dijual di Matangglumpangdua, dan Kutablang, tapi namanya tetap mi kocok geurugok.
Geurugok ketika saya singgahi bersama anak dan istri, tentu berbeda dengan Keude Geurugok yang saya sambangi setiap kali Lebaran, kala saya masih kanak-kanak. Dulu, seluruh ruko masih berkontruksi kayu. Jalannya juga tidak lebar. Sekarang seluruhnya sudah beton, bilapun ada satu dua masih berdinding papan, dan saya yakini akan dirubuhkan suatu saat nanti.
30 tahun lalu, di samping ruko Sate Apaleh saat ini, berdiri sebuah toko kelontong miliknya seorang pedagang Cina yang bernama A Nyi. Saya tidak tahu nama lengkapnya. Saya sering membeli pistol mainan, preeh, mercon, dan ragam mainan lainnya yang lazim pada zaman itu.
Di samping kedai A Nyi, berdiri sebuah kedai foto yang juga dimiliki oleh orang Cina. Saya jarang ke sana, karena berfoto waktu itu dilakukan pada momen-momen khusus, harganya juga tidak murah untuk kantong anak-anak.
Pemilik usaha foto tersebut memiliki seorang putri bernama Lusi. Gadis berkulit putih tersebut rupawan parasnya. Dengan matanya yang sipit-sipit manja, bila ia senyum hanyutlah para lelaki remaja.
Terakhir kali saya bertemu dengan dara manis tersebut pada tahun 1997. Kami bertemu dalam bus berbadan sedang Bireuen Express kala ia berangkat sekolah di SMA 1 Bireuen.
Ada yang menarik dari interaksi budaya antara Aceh dan Cina. Meskipun telah bergenerasi menetap di Aceh, mereka tidak memberikan nama anak-anaknya dengan nama Aceh seperti Laibah, Syukriah, Ti Limah, Syahkeubandi, Rabumah, Baren, dll. Tidak ada juga nama Doraman, Dorahim, Syukri, Ibeurahim, dll. Dari dulu nama-nama mereka bila bukan nama khas Tiongkok, yang nama “modern” seperti Susi, Susanti, Alex, Linda. Justru orang Aceh yang kemudian ikut-ikutan memberikan nama anak-anaknya seperti nama “nasionalisasi Orde Baru” yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa.
Tahun 1985, ayah pulang ke Aceh setelah bertahun-tahun berdagang kelontong di seputar Glugur Medan, Sumatera Utara. Sementara adiknya berangkat ke Pasar Depok, Jakarta. Di sana ia tetap berniaga kelontong.
Ayah tak mau berlama-lama duduk manis di rumah. setelah tiba di Krueng Mane, dia segera membuka toko besi yang diberi nama Waja Asli, berlokasi di Pasar Inpres Krueng Mane. Bila barang dagangannya mulai berkurang, ayah berangkat ke Medan, Sumatera Utara, untuk berbelanja. Ia berangkat ke Medan menggunakan moto prah—truk bermuatan 12 ton.
Setiap ayah berangkat kami merasa was-was karena ia membawa uang dalam jumlah banyak. Kami takut dia akan dirampok karena Medan dikenal sebagai kota dengan 1001 kejahatan. Mudah sekali menemukan perampok di sana. Bahkan aksi kriminal itu berani dilakukan terang-terangan di tengah kota.
Alhamdulillah, ayah tak pernah dirampok. Tak tahu dia menyimpan uang di mana. Yang pasti setiap ke Medan, dia mengenakan celana berlapis-lapis.
Ayah juga sering membawa saja ke Keudee Krueng Mane. Di sana pula saya mengenal A Nyu yang merupakan pedagang emas. Ia termasuk pedagang ulet dan berani. Meski dikenal luas sebagai pedagang emas, dia tak segan naik ke Sawang, sebuah kawasan udik setelah Indonesia merdeka. A Nyu ke Sawang dengan mengendarai sepeda motor.
Suatu hari dia dirampok. A Nyu dibunuh.Ternyata yang merampoknya merupakan oknum ABRI. Si aparat itu kemudian dipecat, tapi A Nyu telah mati dan tak mungkin lagi kembali.
A Nyu dibunuh di sekitar antara Pante Jaloh dan Lhok Kuyun, Sawang. Cerita misteri pun beredar. Banyak orang mengaku pernah melihat hantu A Nyu di sekitar tempat itu. Bahkan hingga kini orang masih percaya bila arwah A Nyu tetap bergentayangan di sana.
Di Keude Krueng Mane juga ada A Liong. Di kemudian hari dia menikah dengan adik istri adik ayah. Ia menikah setelah masuk Islam. A Liong mengganti nama menjadi Muhammad Nasir. Dia dan istrinya berjualan mi so di lapangan sebelah toko ayah.
Di sela-sela kegiatan dagangnya, ayah juga membawa saya menyeruput kopi kampung—robusta yang telah dicampur dengan beras atau jagung—di Mane Tuha, yang terletak di dekat Stasiun Kereta Api Kroeng Mane. Di sana ada sebuah masjid tua dekat Kuala Mane. Jejeran kedai berkontruksi kayu berdiri rapi menantang zaman. Di tikungan ada sebuah rumah Ule Balang yang bernama Teuku Loethan.
Ayah sering ke sana bila hendak menyeruput kopi. Teman-temannya di situ banyak. Mulai dari yang berperawakan India keling, hingga yang Cina. Seperti Raman Pari, pria berambut keriting, berkulit hitam, sangat mirip dengan lelaki Tamil. Menurut cerita, Raman Pari merupakan algojo pembantaian pengikut PKI di kawasan itu.Mengapa disebut Raman Pari? Entahlah.
Di sana juga ada Ra’an, seorang pria Cina yang pintar bergaul. Dia senantiasa bermain bola dengan anak muda kampung tempatan. Juga ada Muktar Cina yang masih bertalian saudara dengan A Nyi Geurugok.
Cina Aceh Umumnya Berdagang
Cina Aceh umumnya berdagang di kota kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Semua sektor dagang ada orang Cina. Mereka berjualan barang elektronik, onderdil mobil dan sepeda motor, bahan bangunan, toko obat, hingga kedai kopi.
Di Bireuen ada warkop legendaris yang hingga saat ini masih berdiri. Namanya kedai Kopi Tandjung. Pemiliknya orang Cina. Selain kopi, yang khas di warkop tersebut yaitu roti bakar pakai selai. Rasanya nendang banget.
Kedai kopi yang saat ini menjadi identitas orang Aceh, dulunya dibawa dari kebudayaan Tiongkok. Demikian juga mi yang saat ini dikenal dengan mi aceh, juga berasal dari Cina.
Bagaimana dengan limun dan stroop (sirup)? Juga warisan kebudaayaan Cina yang telah menjadi bagian dari Aceh dan Nusantara.
Di Mon Geudong, Kota Lhokseumawe, saya memiliki kenalan yang merupakan pengusaha limun dan stroop yang diwarisi dari orangtuanya. Namanya Ali. Dia belum masuk Islam. Ketika saya tanya mengapa ia tidak memilih menjadi mualaf, dengan santai dia menjawab bila dirinya belum mendapatkan hidayah dari Allah. Kami pun tertawa.
Perihal mi, Ali yang menyukai batu akik menyebutkan sebelum berdagang mi—dia juga berjualan mi selain limun dan stroop—dirinya melakukan riset kecil-kecilan. Dia mempelajari perilaku konsumen. Dari 10 orang Aceh yang masuk kedai, hanya dua yang tidak menyukai mi. Artinya secara umum orang Aceh suka makan mi. Dia pun memulai usaha produksi mi mentah.
Aceh memang unik, sepanjang pengetahuan saya, umumnya orang Cina Aceh bekerja di sektor jasa perdagangan. Tidak ada yang berladang, bersawah, maupun menjadi nelayan. Pun demikian, tentu ada juga Cina Aceh yang jadi tukang becak di Peunayong, Banda Aceh. Mereka hidup miskin.
Cina Medan, dari Buruh Hingga Saudagar
Dilihat dari jenis pekerjaan, Cina di Kota Medan lebih beragam. Mulai dari yang menjadi tauke besar, hingga yang bekerja sebagai buruh.
Di Medan saya melihat ada Cina yang bekerja sebagai petani sawah di Sungai Bilah, Berandan. Ada juga yang bekerja sebagai pemulung. Mereka hidup miskin. Kemiskinan itu bukan karena mereka masuk Islam. Sama seperti Cina Peunayong, Banda Aceh yang miskin bukan beragama Islam. Artinya tidak ada hubungan antara agama dan kekayaan. Tak ada hubungan etnis dengan kekayaan.
Menurut Ah Pek, seorang kenalan saya di Kuala Lumpur, orang-orang Cina yang hidup miskin disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya karena gaya hidup. Kalau ada uang lupa diri. Mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan, manajemen keuangan buruk, dan akhirnya bangkrut.
Di Medan orang-orang Cina juga bergerak di sektor penginapan hingga surat kabar. Koran Analisa merupakan surat kabar legendaris yang dimiliki oleh pengusaha Cina. Di Aceh koran tersebut punya sebutan khusus yaitu Koran Cina Mate. Karena setiap ada etnis Tionghoa yang meninggal dunia di Aceh dan Sumut, selalu iklan dukanya dipasang di Analisa.
Koran Analisa juga pernah menyelamatkan kami di Kota Medan. Ceritanya pada 2003 saya dan teman-teman mengikuti Festival Band se-Sumatera. Dengan uang minim kami berangkat ke Medan, dan ternyata kami bisa mencapai final. Uang yang ada telah habis. Mau pulang ke Aceh dan kembali ke Medan seminggu kemudian, tentu bukan pilihan bijak. Setiap kilometer ada pos keamanan yang dibangun oleh aparat militer.
Di saat-saat genting seperti itu muncullah Bang Dedek—demikian kami menyebut namanya. Dia wartawan Analisa. Dia berasal dari Sigli, Pidie. Setelah dia berbicara dengan manajemen koran, akhirnya Analisa memfasilitasi mulai dari kamar penginapan, biaya latihan, transportasi, makan. Dll. Dengan satu syarat ketika tampil di final kami harus memakai baju Koran Analisa. Siap grak! Kami sepakat.
Sepintas Cina Malaysia
Di Malaysia, saya banyak bersinggungan dengan berbagai bangsa dan kaum: India, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Nepal, Cina dan bebagai kaum dan puak-puak Melayu dari berbagi negeri di Semenanjung Melayu.
Bahkan beberapa orang kulit putih dari Inggris dan Georgia yang di sana disebut Mat Saleh. Setiap datang ke bengkel tempat saya bekerja di Kajang, mereka membawa Porche mewah. Saya bercakap-cakap dengan mereka. Bos saya terheran-heran, mengapa orang Aceh bisa bercakap dengan mereka. Tauke saya ini memang tak jauh jalannya. Tak tahu dia bila orang Aceh bukan saja bisa bercakap luar negeri, tapi pernah jadi imperium besar di abad 17. Masih kapan main dia.
Bulan lalu, sebelum Imlek, Chan dan Wong yang sering memasok orderdil mobil ke tempat saya bekerja, memberi saya jeruk satu kotak. Dilihat dari namanya mereka, saya pastikan mereka berasal dari Cina daratan (Cina Canton). Mereka belum terpengaruh budaya Inggris. Berbeda dengan Cina Hongkong yang sudah memiliki nama keinggris-inggrisan seperti Jason, Alex, Jordan. Orang-orang Hongkong biasanya beragama Kristen.
Orang Cina di Malaysia tak semuanya berdagang, ada juga yang bekerja menjadi ahli parlemen (anggota dewan), operator alat berat, buruh kasar, wartawan, model, operator di studio musik, musisi, bahkan aktifis kemanusiaan. Salah satunya adalah Lilianne Fan. Perempuan Cina tersebut banyak membantu orang Aceh ketika konflik bersenjata antara GAM dan RI. Dia fasih berbahasa Inggris, Melayu dan basa Aceh. Tahun 90-an dia banyak membantu pelarian dari Aceh yang mencari suaka di Malaysia.
Perihal Cina yang bekerja sebagai buruh, saya pernah bertanya pada seorang operator crane berbangsa Cina sekitar Kajang. Namanya Yew, dia mengaku sudah menikah, punya satu anak, empat bulan lalu, dia tinggal sekitar Kota Kemuning, Selangor.
Kepada Yew saya bertanya tentang seorang Cina tua yang masih bekerja. Saya kasihan melihat dia masih harus bekerja di usia tua. Yew menjawab singkat “Dia tak pakai otak.” Artinya si Pak Cik Cina itu bekerja mengandalkan tenaga, bukan ilmu pengetahuan. Sehingga tetap harus bekerja keras hingga usia senja.
Di Australia saya juga menemukan pengalaman serupa. Orang-orang Cina bekerja di semua sektor. Ada yang bekerja bangunan, operator alat berat, pengusaha properti, supervisor.
Di dekat rumah saya tinggal, Clarkson, Perth, Western Australia, ada seorang Cina bernama Wong, kami memanggilnya Uncle, dia sudah tua, kerja sebagai Supervisor di sebuah pabrik. Uncle Wong sangat baik.
Ia bercerita orang Cina di Australi pertama kali menginjak tanah negeri tersebut dibawa oleh Inggris pada abad ke-18 sebagai buruh tambang emas. Namun sampai di sana emas sudah tidak ada, akhirnya mereka menanam sayur di tepi Swan River. Seiring waktu, keturunan mereka banyak yang membuka toko sekitar Kota Fremantle, Perth City, Australia.
Pertautan saya dengan orang-orang Cina Aceh, Cina Medan, Malaysia, dan Australia, memberikan satu pemahaman, bahwa Cina –sekarang lebih dikenal dengan sebutan Tionghoa—sama seperti bangsa lainnya di dunia. Ada yang kaya, ada pula yang miskin. Ada yang baik, ada pula yang perilakunya tidak terpuji.
Sebagai manusia, mereka harus berjuang keras demi mencapai kehidupan yang layak. Banyak yang berhasil, tapi tak sedikit juga yang gagal mencapai impian tertinggi.