Komparatif.ID,Bireuen—Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikianlah kata pepatah Melayu yang paling tepat untuk menukilkan kisah hidup Erna Dewi L (43) warga Gampong Geulanggang Gampong, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen.
Perempuan kelahiran Bireuen itu dua kali meugatip bak “bale giri”—menikah secara tidak resmi, dan dua kali pula gagal membina rumah tangga. Lelaki yang menikahinya, pergi setelah menemukan tambatan hati yang baru.
Dari dua kali pernikahannya, Erna Dewi memiliki lima orang anak. Tiga laki-laki, dua perempuan. Si sulung lahir tahun 1998. Sedangkan yang bungsu lahir tahun 2022. Semua putera-puterinya hanya tamat SD. Tidak ada pendidikan lebih tinggi dari itu.
Informasi lainnya yang diterima Komparatif.ID, Senin (10/10/2022) hidup Erna Dewi dan anak-anaknya Senin-Kamis. Mereka pun berpindah-pindah. Terakhir bermukim di Geulanggang Gampong.
Erna Dewi mengontrak rumah sederhana dengan harga Rp4 juta per tahun. Uang sebesar itu merupakan masalah bagi Erna. Karena tidak mudah mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Baca juga: Tawa Haikal & Haru Nuriah Saat Terima Kursi Roda Hadiah Dr. Safrizal
Beruntung ia memiliki satu unit mesin cuci. Dengan mesin itulah dia mencari nafkah, memberikan makan dan minum anak-anaknya serta memenuhi kebutuhan lainnya.
Ia tahu bahwa sekadar berbekal mesin cuci rumahan, dan tempat usahanya tidak dibuka secara profesional, tentu tidak akan mampu menggaet pelanggan. Ia pun mengubah strategi. Jasa cuci pakaian yang ia beri nama Dek Raja Laundy, menyediakan layanan antar jemput.
Hidup dengan lima anak, dan ayah-ayah mereka semua masih hidup, tapi tidak mau bertanggung jawab, tentu membuat hatinya perih. Ia merasa sakit, mengapa ada manusia sekejam itu di muka bumi? Mengapa ada pria yang benar-benar tidak peduli terhadap darah daging sendiri.
Ia memendam kecewa pada pria-pria yang pernah menikahinya. Sebagai perempuan ia telah banyak mengalah. Dinikahi secara bawah tangan; ia terima dengan lapang dada. Hidup dengan kondisi ekonomi tak pasti, ia ikhlas menjalaninya. Tapi ditinggalkan begitu saja, dengan anak-anak yang tidak dipenuhi kebutuhan materinya, sungguh ia tak habis pikir. Mengapa ada lelaki yang seperti itu di atas tanah Serambi Mekkah ini?
Pun demikian, sebagai ibu dan perempuan, ia menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan. Anak-anaknya ia rawat semampunya. Diberikannya makan dan minum. Serta diupayakan rumah tempat mereka berteduh dari dinginnya malam, dan panasnya sengatan matahari.
“Saya tidak boleh larut dalam duka. Tidak boleh tenggelam dalam rasa kecewa. Ada anak-anak yang harus saya besarkan,” katanya lirih.
Ia pun tak peduli meskipun setiap hari berlelah-lelah menjemput pakaian kotor, mencucinya, menjemur, kemudian menyeterika, dan mengantar kembali. Ia tidak risaukan tentang dirinya sendiri, karena ia anggap semuanya bagian dari perjalanan hidup yang harus dijalani.
Doa yang paling sering ia panjatkan adalah “Ya Allah, jangan sakitkan raga hamba. Karena hamba butuh tenaga besar untuk menafkahi keluarga.”
Tapi ada satu hal yang membuatnya sulit berkonsentrasi dalam mencari uang. Anaknya yang keempat bernama Raja Najwanur (11)mengidap penyakit celebral palsy. penyakit yang menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh. Raja Najwanur menderita celebral palsy tingkat paling parah; lumpuh.
Setiap saat sepanjang hidupnya Raja Najwanur habiskan di atas tikar yang digelar di ruang tengah. Menemani sang bunda yang tak berhenti mencuci baju milik konsumen. Bayangkan betapa lelahnya Erna, ia harus mengurus bocah disabilitas tersebut, sembari merawat anaknya paling kecil, yang belum berusia satu tahun.
Erna tidak bermimpi akan mendapatkan keajaiban. Misal tiba-tiba mendapatkan sekarung uang yang jatuh dari langit. Ia juga tak pernah berkhayal akan mendapatkan sekilo emas saat menggali tanah di depan kontrakan.
Ia hanya berharap, bila ada dermawan, kiranya dapat membelikan puteranya sebuah kursi roda celebral palsy. Karena bila harapan itu maujud, betapa ia akan sangat berbahagia.