Soleman B Ponto: Alihkan 4 Pulau Milik Aceh, Mendagri Lampau Kewenangan

Soleman B Ponto empat pulau singkil
Soleman B. Ponto. Kabais periode 2011-2013. Foto: Ist.

Komparatif.ID, Jakarta– Sikap Mendagri yang memberikan empat pulau milik Aceh kepada Sumatra Utara di perbatasan Singkil-Tapanuli Tengah, berpotensi mengancam perdamaian. Karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 telah mengunci wilayah administratif Aceh.

Pendapat tersebut ditulis secara gamblang oleh Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM,CPARB, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) periode 2011-2013, Jumat (13/6/2025), dalam artikelnya berjudul Keputusan Mendagri Soal Empat Pulau: Ancaman Senyap terhadap Perdamaian Aceh, yang tayang di blog personal milik sang perwira purnawirawan tersebut.

Soleman B Ponto menjelaskan, dipindahkan kepemilikan empat pulau; Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, untuk Sumatra Utara, melanggar dua hal yang paling utama untuk saat ini; Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani oleh Perwakilan GAM dan Perwakilan Pemerintah RI, pada 15 Agustus 2005.

Baca: Empat Pulau Sengketa Dalam Catatan Anak Singkil

MoU Helsinki dalam butir 1.1.2 dengan tegas menyatakan: Wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah yang selama ini dikenal sebagai Provinsi Aceh, termasuk wilayah administrasi kabupaten/kota yang ada.

Kemudian, Kemendagri juga mengangkangi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 4 UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan: “Wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas darat, laut, dan udara, serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”

Dalam analisis Soleman B Ponto, baik MoU Helsinki maupun UU Nomor 11 Tahun 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA, mempertegas bahwa wilayah dimaksud adalah wilayah administratif Aceh pada saat undang-undang mulai berlaku.

“Artinya, setiap perubahan wilayah Aceh harus melalui mekanisme hukum yang sah dan melibatkan Pemerintah Aceh serta DPRA. Pemindahan sepihak oleh Mendagri adalah tindakan non konstitusional dan ultra vires (melampaui kewenangan),” tulis Soleman B Ponto.

Dalam catatan Soleman B Ponto, keputusan Mendagri yang mengalihkan kepemilikan empat pulau milik Aceh kepada Sumatra Utara, bukan sekadar pelanggaran hukum. Tapi juga berpotensi menciptakan kegaduhan politik dan ketegangan sosial.

Tindakan mendagri [yang lancang] menggerus kepercayaan masyarakat Aceh, terhadap komitmen Pemerintah Pusat, membuka ruang politisasi isu kewilayahan, yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu, demi membangkitkan narasi separatisme.

“Tindakan Mendagri mengguncang legitimasi MoU Helsinki, yang selama ini menjadi landasan kepercayaan antara Jakarta dan Banda Aceh. Pemerintah Pusat seharusnya belajar dari sejarah konflik Aceh, bahwa ketidakadilan administratif dapat menjadi percikan awal ketegangan yang lebih besar,” kata Soleman B Ponto.

Soleman mendesak Mendagri membatalkan Keputusan Mendagri Nomor SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025. Secara hukum Kepmen tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan perjanjian yang diakui secara nasional dan internasional. Dalam asas hukum: lex superior derogat legi inferiori – aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Kemudian, pacta sunt servanda – perjanjian harus dihormati.

“Pembiaran atas keputusan ini sama saja dengan mengoyak kain perdamaian yang telah dijahit dengan susah payah,” kata Soleman B Ponto.

Keputusan Pejabat Pusat Sering Rugikan Aceh

Intelektual GAM Munawar Liza Zainal, sehari sebelumnya juga menulis sebuah artikel pendek. Alumnus Pesantren Terpadu Gontor yang lama kuliah di Al-Azhar University, mengatakan kebijakan Pusat terhadap Aceh seringkali ditentukan di atas meja. Keputusan-keputusan [sepihak] itu sudah seringkali merugikan Aceh.

“Sejak dulu seperti itu. Orang Aceh sudah sangat paham tentang perilaku itu,” sebut Maunawar Liza.

Supaya Pusat tidak dengan mudah mengotak-atik Aceh, termasuk perihal wilayah, para juru runding GAM di Finlandia bersepakat dengan delegasi RI, mengunci undang-undang apa pun yang dibuat oleh DPR RI, harus berkonsultasi dan atas persetujuan DPR Aceh.

Demikian juga, kebijakan pemerintah terkait Aceh, dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

Hal tersebut diatur di dalam  MoU Point 1.1.2:

d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

Point MoU ini, kemudian diturunkan ke dalam undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.  Undang-undang No. 11 tahun 2006: Pasal 8: (3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Kemudian diikat lagi melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh.

“Nah, keputusan Menteri Dalam Negeri terkait 4 pulau di Aceh yang dimasukkan ke Sumatera Utara, tidak mempedomani Perpres ini. Sebelum keluar Kepmen, mestinya kementerian Dalam Negeri menjalani tata cara yang ditetapkan oleh Presiden. Kepmen ini, melanggar MoU Helsinki sebagai akad perdamaian antara RI dan Aceh, undang-undang RI No. 11 tahun 2006, dan Peraturan Presiden No. 75 tahun 2008,” imbuhnya.

Artikel SebelumnyaEmpat Pulau Sengketa Dalam Catatan Anak Singkil
Artikel SelanjutnyaSekretariat Humas DPR Aceh Hangus Terbakar
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here