Komparatif.ID, Banda Aceh—Soal Qanun LKS (Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah) yang masuk dalam wacana revisi, menuai polemik di tataran agamawan, politisi, birokrat, akademisi, dan kalangan awam.
Polemik tersebut telah membelah publik di Aceh dalam tiga kutub. Mendukung revisi, tidak mendukung revisi, dan masa bodoh mau revisi atau tidak revisi, karena hidup mereka tak pernah berubah meski berbagai aturan dibuat oleh pemerintah dan DPR.
Politisi Partai SIRA (Soliditas Independen Rakyat Aceh) Syukri,S.H.,M.H, Selasa (6/6/2023) mengatakan polemik tersebut lahir di tengah publik karena wacana revisi Qanun LKS ditanggapi secara parsial oleh berbagai kalangan.
Hampir semuanya berdasarkan asumsi masing-masing. Pihak yang mendukung revisi berdiskusi sesama pendukung, yang tidak mendukung berdiskusi dengan sesama tidak mendukung. Akhirnya lahirlah berbagai macam pernyataan yang justru semakin membuat orang awam bingung.
Baca: Ketua ICMI Aceh: Kita Masih Parsial Melihat Bank Konvensional
Bendahara Umum Partai SIRA tersebut mengatakan ada dua Langkah yang dapat ditempuh supaya polemik tersebut segera bermuara. Pertama, melakukan tabayyun kepada Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki. Mengapa Pj Gubernur mengusulkan rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah.
“Ini penting dilakukan, supaya meminimalisir dugaan-dugaan yang tidak perlu, bahkan semakin kesini justru bertambah menghakimi. Seolah-olah ada dorongan dari luar Aceh supaya menimbulkan kisruh di dalam daerah. Saya kira penting melakukan tabayyun kepada Pj Gubernur Aceh,” kata Syukri.
Kedua, ia menyarankan semua stakeholder di Aceh perlu duduk bersama dalam sebuah musyawarah, yang menghadirkan pemerintah, cendekiawan, pebisnis, politisi, bahkan warga Aceh dari kalangan non muslim, dan lainnya. Musyawarah ini untuk mendalami persoalan yang terjadi setelah pemberlakukan Qanun LKS.
Musyawarah itu perlu mengetengahkan kajian ekonomi. Selama pemberlakuan Qanun LKS, seperti apa perkembangan ekonomi Aceh. Para pebisnis mengalami hambatan apa saja dalam berniaga baik di tingkat lokal, nasional, hingga internasional.
Kalangan non muslim yang menjadi warga Aceh juga harus dimintai pendapatnya. Kendala apa saja yang mereka hadapi selama pemberlakuan qanun tersebut.
“Kita jangan tenggelam pada boleh atau tidak boleh revisi Qanun LKS. Hal yang justru harus diketengahkan, mengapa harus direvisi? Mengapa ide itu muncul? Penyebabnya apa? Itu yang harus menjadi bahan diskusi. Oleh karena itu perlu duduk bersama antar stakeholder. Bahas persoalan itu sampai tuntas,” imbaunya.
Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari penduduk Nusantara dan dunia. Aceh dan wilayah lainnya saling terkait. Bisnis dan politik menghendaki adanya interaksi penting yang tidak boleh disekat oleh hal-hal yang melahirkan ganjalan.
Apalagi bicara tentang Islam, bahwa Aceh bukan satu-satunya wilayah Islam di dunia ini. Di Indonesia terdapat 237,6 juta umat Islam. Syukri meyakini semuanya tidak mau makan riba. Mereka ingin juga masuk surga.
Ia mengimbau, sebelum itu [pertemuan lintas sektor] dilakukan [secara adil], sebaiknya semua pihak menahan diri untuk tidak menyampaikan pernyataan-pernyataan yang melahirkan pembelahan di tengah-tengah masyarakat. Karena membuat gaduh cost-nya tidak mahal, tapi biaya memulihkannya yang tidak murah.
“Mari kita jaga dan rawat Aceh dengan membangun semangat saling percaya. Karena itu modal utama pembangunan. Bila ada masalah bahas secara bersama-sama dalam satu forum. Hindarilah hal-hal yang membuat kita gaduh sehingga melupakan tujuan utama pembangunan yaitu melahirkan masyarakat yang sejahtera,” imbuhnya.