Singkil, Tsunami, dan 2 Gempa Mahadahsyat

Singkil, Tsunami, dan 2 Gempa Mahadahsyat Sungai Lae Sukhaya di Gelombang, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam. Foto: Dok. Penulis.
Sungai Lae Sukhaya di Gelombang, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam. Foto: Dok. Penulis.

Waktu Tsunami daulu, Gek, Singki ko indak kane, ai lawik tahampeh sampai ka Pelabuhan CPO Pulo Sarok kini ko sajo,” (Waktu Tsunami dulu, Gek, Singkil ini tidak kena, air lautnya terhempas sampai ke Pelabuhan CPO saja) ujar Ihsan, kawanku di Singkil. 

Ia mulai bercerita saat kami duduk menyeruput kopi di salah satu warung kopi tepi jalan jalur dua kota Singkil Rabu siang, (25/12/2024). Ia memanggilku Ogek (Singkil: abang) meski usianya 3 tahun lebih senior dariku. Ceritanya sebagai manusia tempatan tentu lebih kaya rasa tentang kejadian dua gempa dan tsunami di negeri ujung sempadan Aceh bernama Singkil ini.

Ughang sadonyo lari ka dakek Pelabuhan kini tu, abih kalua lauk nila dibaok ai gelombang lawik dari kolam, angku ambo melarang, jangan munak ka lawik kalau gampo, beko datang galokho, (orang semuanya lari ke dekat pelabuhan sekarang itu, keluar semua ikan nila dari kolam dihempas gelombang laut, kakek saya melarang saya ke sana, jangan kamu ke laut nanti datang tsunami),”

Larangan Angku (kakek) ini benar, gelombang tsunami memang tak “bertamu” ke kota Singkil pagi itu, melainkan ke wilayah Aceh lainnya namun seandainya ia datang, sebagian manusia Singkil yang tinggal di pesisir akan selamat karena ada ingatan komunal tentang galokho (Melayu Singkil: tsunami) yang diwariskan dari generasi sebelumnya ketika tsunami menerjang Singkil Lama pada tahun 1861. 

Tragedi ini dicatat dalam biografi tokoh Padang Riwajat Hidoep dan Perasaan Saja (1965), ia menulis “Belum lama saya di Pariaman, kembali dari Singkil, pecah kabar bahwa pasar Singkil tenggelam, terbenam.”

Abang tau indak, galokho itu apo waktu tu?” (Abang tau tidak apa galokho itu waktu itu?) tanyaku kepada Ihsan.

Indak, ayah ambo sajo indak tau, angku ambo yang tau itu,” (Tidak, ayah saya saja tidak tahu, hanya kakek yang tahu istilah itu). 

Keterangan ini menunjukkan bahwasanya ingatan komunal manusia Singkil di pesisir tentang galokho pada tahun 2004 itu sudah mulai memudar, hanya tersisa pada generasi ketiga dari bawah yang mengingatnya. Pun demikian, ingatan komunal yang “beku”  ini hanya perlu trigger saja oleh peristiwa pagi minggu 26 Desember, maka langsung seketika semua narasi dari generasi masa lampau itu bak air lancar mengalir tersampaikan pada detik itu juga.

Sebenarnya ingatan tentang galokho ini tak semata ada pada orang Singkil di pesisir yang berbahasa “Jame” (di Singkil disebut ughang Singkil/melayu Singkil), orang Singkil yang tinggal di tepian sungai dekat dengan kota Singkil seperti Kuta Simboling, Teluk Ambun, Rantau Gedang, Teluk Rumbia dan Takal Pasir juga memiliki ingatan yang serupa, mereka menyebutnya gelokha, artinya gelombang air laut yang sangat besar. 

Ingatan ini tampak dalam interaksi mereka sesama nelayan ketika hendak melaut misalnya “Hati-hati da, berngin dai trengkoh sokha gelokha dekhas,” (hati-hati ya, malam tadi gelombang sedang menggelegar). 

Uniknya, etnik Singkil yang letak kampungnya agak ke hulu ingatan ini hampir tidak ada, kawan saya di Kampung Pemuka (Kec. Singkil) dan Tanah Bara (Kec. Gunung Meriah) tak mendengarkan diksi tersebut sebelum tsunami. 

Nampaknya, ingatan komunal tentang tsunami yang menghantam Singkil Lama 163 tahun silam itu diwariskan pada masyarakat Singkil yang tinggal di sekitaran Singkil Lama saja baik yang beretnik Jame (Melayu Singkil) dengan nama galokho maupun etnik Singkil dengan nama gelokha.  

Orang-orang beretnik Singkil di sekitaran Kampung Pemuka tidak mendapatkan ingatan tersebut, bisa saja dikarenakan jarak Pemuka lama di mulut sungai Lae Sukhaya dan Lae Cinendang dengan Singkil Lama  saat tragedi dulu lumayan jauh, sehingga kabar dan ingatan itu tak terlalu melekat, apatah lagi masyarakat etnik Singkil yang tinggal lebih jauh dari tepi pantai seperti Gunung Meriah-Subulussalam sekarang.

Baca jugaGempabumi, Nek Umi, & Tsunami

Di luar Singkil, ingatan ini juga terekam dalam kultur manusia di Simeulue dengan nama “smong” dan di Nias Selatan tepatnya pulau Tello dengan nama galoro

Jika dilihat dari geografisnya, letak Simeulue-Singkil-Nias merupakan segitiga emas perdagangan bandar yang sibuk di masa lalu. Tentu selain bertukarnya komoditi rempah dan cuan, kabar-kabar tragedi juga ikut bertukar lalu menjadi duka bersama yang menghasilkan ingatan dan kesadaran bersama juga !

Singkil dan Gempa Nias 28 Maret 2005

Singki ko yang parah bana waktu gampo Nias gek, tanah turun, jalan balubang, kalua ai dari tanah, (Singkil ini yang parah kali saat gempa Nias, tanah turun, jalan berlubang, keluar air dari tanah),” ujarnya menyambung cerita padaku. 

Kami panik, kami takuik galokho, ndak tau kamano lari malam tu, sadonyo kami menjauh dari lawik, naik ka masjid an-nur yang tinggi, (Kami panik, kami takut tsunami, tak tahu harus lari keaman malam itu, semua kami menjauh dari laut, kami naik ke masjid An-Nur yang tinggi),” tambahnya sambil memandang hampa ke arahku. Ucapannya ini jelas menyiratkan kenangannya pada gempa Nias yang dahsyat itu. 

Sebagai manusia yang sudah bermastautin lebih setengah dekade di Singkil, aku bisa meraba kalutnya kejadian yang ia ceritakan itu. Singkil adalah kota kecil dalam pelukan tanah rawa gambut dan aliran sungai raksasa di mulut samudera Hindia yang dalam.

Di arah barat terkepung dengan rawa Leuser, ke utara hutan gambut yang telah berubah menjadi kebun, ke timur ada laguna danau anak laut yang juga berada di tepi deburan ombak. Dataran tinggi terdekat yang ideal untuk berlindung dari kota Singkil adalah kecamatan Gunung Meriah yang jaraknya 45 Km dari Singkil. 

Sepanjang 25 Km dari 45 km tersebut jalannya sejajar dengan garis pantai dan hanya ada satu jalan penghubung saja pada masa 2005 tersebut. Jika gelombang betul ‘’bertamu’’ sungguh susah sekali mencari tempat berlindung bagi manusia dari ancaman gelombang di malam hari harus melewati 25 Km. 

Alhasil, sebagian orang-orang Singkil saat itu menjadikan masjid An-Nur (masjid Agung Nurul Makmur) yang tinggi sebagai salah satu tempat berlindung. 

Masjid sebagai rumah Allah tentu menjadikan mental manusia lebih tenang saat menghadapi keadaan genting, fitrah manusia sebagai hamba lemah memerlukan rahmat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa dan masjid adalah salah satu wasilahnya. 

Kisah  lemahnya manusia sebagai hamba ketika dilanda keadaan serupa juga ku dengarkan terjadi di Bakongan Aceh Selatan. Ketika gempa Nias terjadi pada 28 Maret 2005, penduduk Bakongan yang sudah dibaluti trauma dengan gempa 26 Desember 2004 selain berlari menyelamatkan diri ke hulu juga sebagian spontan berlari ke masjid Baitul Halim Bakongan, beberapa keluarga juga sebagian berlindung ke rumah Alm. Nek Abu (Abu Adnan Bakongan wafat tahun 2011), bersama ulama  kekasih Allah tentu lebih baik daripada berada sendirian.

Gempa Nias: Efek Domino Bagi Singkil

Efek gempa Nias terasa jelas bagi kota Singkil hari ini, selain tanah di Singkil turun 0.5 sampai dengan 1.5 meter di kampung Pasar, Ujung maupun Kilangan, ada satu efek yang jarang terdedahkan yaitu tenggelamnya daratan singkil menjadi laut di kampung Pulo Sarok. 

Daulu ado komplek perumahan socfin di tapi pasi, rami di situ, ambo membantu ayah manjamu lauk di sinin. Kini ala jadi lawik sadonyo, tangki CPO sajo yang tatingga, (dulu ada komplek perumahan socfindo di dekat pantai, ramai orang tinggal disitu, saya ingat membantu ayah menjemur ikan kering di sana. Sekarang semua jadi laut, hanya tangki CPO saja tersisa),” tambah bang Ihsan padaku.

Kulihat gelas kopinya sudah habis setengah namun ia terus bercerita “Singki ko daulu aman bana da gek, nakdo taraso bana kek kami konflik Aceh. Yang ambo ingek cuma referendum sajo, ughang bakumpu ka masjid Baiturrahim Pasa, tugu simpang ampek pasa itu padek bana. Abih tu nakdo lagi, aman, (Singkil ini dulu aman kali, gak ada terasa sama kami konflik Aceh, yang saya ingat tentang konflik hanya kejadian referendum saja, ramai orang berkumpul ke masjid Baiturrahim kampung Pasar, saking padatnya manusia dari tugu simpang empat pasar ke masjid tak bisa dilewati. Setelah itu, tidak ada lagi kejadian, aman),” 

Cerita Ihsan itu adalah cerita umum yang ku dengar di Singkil tentang konflik Aceh. Singkil sebagai wilayah sempadan Aceh dibentengi gunung, rawa, dan sungai memang tidak terlalu hangat eskalasi konfliknya. 

Dalam lingkup terbatas, kontak tembak memang terjadi di daerah Pulo Banyak dan Sultan Daulat (kini kota Subulussalam), namun sebagian besar wilayah Singkil lainnya aman. Tak ada pengungsian massif karena kontak tembak antara TNI dan GAM kala itu.

Pengungsian baru terasa di Singkil setelah gempa Nias, kota Singkil memang turun tanahnya karena gempa namun masih bisa ditempati. Keadaan berbeda terjadi pada sejumlah kampung-kampung orang beretnik Singkil di tepi sungai seperti Teluk Ambun dan Takal Pasir. Pondasi rumah mereka turun dilumat lumpur, air sungai masuk lebih jauh dan dalam ke kampung dari sebelumnya. 

Mereka pun sepakat untuk hijrah dari tepi sungai meninggalkan kampung yang sudah dihuni ratusan tahun berganti generasi  untuk mencari tanah dan kehidupan baru yang saat itu dibantu oleh salah satunya NGO CARITAS asal Swiss, mereka mendirikan kantornya di Pulo Sarok, sekitar 350 meter sebelum Kuburan Belanda . 

Salah satu hasilnya hari ini dua kampung tersebut bersama kampung Siti Ambia menjadi kampung baru. Dari arah tiga kampung ini pula Pemerintah Aceh Singkil tahun 2006 membangun jalan darurat tsunami yang menghubungkan kota Singkil dengan daratan Gunung Meriah memangkas jarak tempuh hanya 28 Km saja. 

Selain infrastruktur jalan baru, gempa Nias juga memberikan warna identitas baru bagi orang beretnik Singkil yang semula hidup bercorak tepi sungai kini perlahan menjadi masyarakat urban.

Kampung-kampung lama di luar kota Singkil (kecuali Teluk rumbia dan Rantau Gedang)  satu persatu perlahan pindah ke lokasi baru seperti Kuta Simboling, Teluk Ambun, Takal Pasir, Pemuka dan Pea Bumbung menemukan lokasi dan hidup baru. 

Pun demikian, ada sisi identitas yang masih dipertahankan seperti susunan Mukim. Kampung Takal Pasir lama dulu terletak di tepi sungai berhampiran dengan kampung Teluk Rumbia dan Rantau tergabung dalam satu mukim bernama mukim Rantau Gedang. Kini Takal Pasir Baru sudah jauh pindah 9-10 Km jauhnya dari tempat asal. 

Tetapi bersama dua kampung tadi masih tetap bergabung dalam mukim yang sama. Aku melihat ini sebagai wujud mereka menjaga silaturahmi dan tradisi meski sudah tak bersama lagi.

Penutup 

Singkil ini indah sekali, dulu pantai depan alun-alun kantor bupati itu seperti pantai Pasie Raja Aceh Selatan.

Sebelum dua gempa terjadi, Singkil masih sangat indah. deburan ombaknya ditemani bak aron seperti di pantai gampong Ujong Batee di Pasie Raja (arah timur Tapaktuan) Aceh Selatan. 

Perumahan Socfin yang ramai, kampung Pulo Sarok, Pasar, Ujung dan Kilangan saling terhubung. Di tambah sungai Singkil yang ramai dengan biduk masyarakat. 

Seorang warga Aceh Selatan yang merantau ke Singkil awal 1990-an bercerita ketika ia ingin pulang dari Singkil ke Aceh Selatan  melalui  sungai via Singkil-Handel-Gelombang. Suasana sepanjang perjalanan dipenuhi dengan kampung yang ramai sekali. 

Kini di penghujung tahun 2024, dua gempa sudah berlalu sejauh dua dekade, Singkil yang maju adalah sebuah harapan. Singkil adalah pintu gerbang Aceh di pantai selatan; makmurnya tanah perbatasan adalah harapan kita semua. 

Aku berpamitan kepada Ihsan, gelas kopi kami sudah kosong, namun harapan kami selalu penuh. Selamat memperingati Tsunami Aceh 26 Desember 2004 dan juga gempa Nias 28 Maret 2005. Semoga semua arwah korban dua musibah ini dilapangkan kuburnya sebagai kebun surga oleh Allah SWT. Amiin

 

*Moenawar Lhok, orang Pase, bermukim di Singkil.

Artikel SebelumnyaGempabumi, Nek Umi, & Tsunami
Artikel SelanjutnyaRemaja Asal Pidie Dijual Rp87 Juta, Dirudapaksa Pria dari 5 Bangsa
Moenawar Lhok
Seorang sarjana kependidikan. Sekarang bermukim di Singkil.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here