
KNAC, asosiasi pengendara otomotif Belanda pada masa kolonial memiliki anggota hampir di seluruh wilayah jajahan, salah satunya di Langsa. Anggotanya itu merupakan pemilik pabrik karet, ia mungkin saja jadi pemilik mobil pertama di Aceh.
***
Royal Dutch Automobile Club atau De Koninklijke Nederlandsche Automobiel Club (KNAC) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1897, awalnya sebagai asosiasi pengendara sepeda, yang kemudian berkembang menjadi asosiasi otomotif.
Meskipun dikenal sebagai klub otomotif, KNAC juga melayani berbagai kegiatan terkait mobilitas, seperti wisata, olahraga, dan kegiatan sosial, serta memiliki dua clubhouse, satu di London dan satu lagi di Epsom, Surrey.
Royal Dutch Automobile Club menerbitkan daftar anggotanya. Anggota Conam (grup penghimpun sejarah otomotif Belanda), Frans Kense, lalu meminjam dan memindai daftar anggota publik tersebut dari tahun 1927 dari mantan ketuanya, Ariejan Bos.
Meskipun daftar tersebut dipindai dengan OCR (menggunakan pengenalan karakter optik, sehingga terdapat beberapa kesalahan ketik), menyusun 4.427 nama dan alamat ke dalam satu berkas merupakan tugas yang sangat melelahkan.
Nama-nama yang muncul dalam daftar tersebut antara lain Anton Philips dari keluarga pendiri perusahaan raksasa elektronik Philips, baron tekstil Egbert ten Cate, hingga Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, tokoh yang kelak menjadi gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda.
Menjadi anggota KNAC pada masa itu bukan hal murah, biaya keanggotaan saja mencapai 25 gulden per tahun. Wajar jika daftar anggotanya didominasi tokoh berpengaruh. Kebanyakan anggotanya tersebar di kota-kota di Belanda, uniknya salah satunya terdapat di Aceh, yaitu Langsa.
Nomor anggota 6518 tercatat atas nama Engelkamp B.C.J. Atjeh, pemilik rubberfabriek Bochit Tinggi. Data ini menyebutkan dengan jelas salah satu anggota KNAC tinggal di Langsa, sebuah kota yang pada masa itu berkembang karena perkebunan karet.
Engelkamp adalah pemilik, B.C.J Atjeh (N.O.I) adalah nama Inisial kota, bisa jadi (N.O.I) Nederland Onderneming Indie (perusahaan Belanda di India Timur, nama Indonesia masa Belanda adalah alamatnya) Langsa O.Z adalah alamat pemiliknya, rubberfabriek adalah pabrik karet di Langsa Zelfbesturende adalah daerah swapraja (pembagian daerah administratif pemerintahan masa Penjajahan Belanda)
Sepertinya Langsa adalah alamat pemiliknya, karena perusahaan perkebunan karet Belanda masa itu berada di Langsa, saat ini berada di Gampong Pondok Pabrik, Kebun Lama, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa dan Aceh Tamiang, tepatnya di Kampung Alur Jambu, sekarang, Mukim Alur Jambu, Kecamatan Bandar Pusaka.
Di Langsa terdapat Het Kantoorgebouw Der Atjehsche Handel-Maatschappij Te Langsar. Gedung ini dibangun oleh penjajah Belanda pada tahun 1920 dan difungsikan sebagai kantor pusat untuk industri dan perkebunan Belanda beberapa sumber menyebutkan Pembangunan dimulai tahun 1019-an.
Saat ini bangunan tua dan bersejarah ini telah alih fungsi menjadi bangunan Museum Langsa dikenal juga sebagai gedung Balee Juang di era perjuangan kemerdekaan RI. Sebelum dimanfaatkan sebagai bangunan Museum, gedung ini juga pernah digunakan sebagai kantor BAPPEDA Aceh Timur.
Baca juga: Pembangunan Jalan Geurutee di Masa Kolonial Belanda
Langsa pada Masa Kolonial
Keberadaan mobil sebagai sesuatu yang mewah kala itu tidak terlepas dari posisi Aceh yang sangat penting bagi bangsa Barat karena berada di pintu gerbang Selat Malaka. Faktor Inilah yang membuat Belanda khawatir Aceh akan jatuhnya ke bangsa Barat lain. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Belanda menginvasi Aceh secara masif.
Pemberlakuan UU Agraria 1870 dengan prinsip-prinsip liberalisme menjadi landasan bagi Belanda untuk membuka Aceh sebagai wilayah investasi swasta. Dalam perjalanannya, Gubernur Militer dan Sipil Aceh, Johannes Benedictus van Heutsz mengubah strategi Belanda dengan menerapkan kebijakan Politik Pasifikasi sejak akhir abad ke-19.
Mawardi Umar dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh menulis, “Politik Pasifikasi merupakan upaya Belanda menaklukkan Aceh dengan pembangunan infrastruktur ekonomi pasca perang. Selain melanjutkan operasi militer juga dilakukan perbaikan prasarana ekonomi untuk menarik simpati rakyat Aceh agar menghentikan perlawanan.”
Seiring dibukanya Aceh sebagai wilayah investasi, infrastruktur seperti kereta api, pelabuhan, dan jalan raya pun dibangun. Masuknya modal swasta menjadi awal ekspansi perkebunan di Aceh, salah satunya karet. Konsesi perkebunan karet paling banyak di Aceh Timur.
Tercatat hingga tahun 1912 jumlah konsesi perkebunan karet mencapai 18. Angka tersebut terus meningkat bahkan pada 1921 jumlahnya mencapai 31 konsesi yang dimiliki 21 perusahaan. (Buku Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kompeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas: Aceh Timur 1840–1942).
Selain karet, produksi lada dan pinang turut meningkatkan laju perekonomian Aceh. Pada 1903, jumlah lada yang diekspor kurang dari 1.000 ton, tahun berikutnya naik menjadi 2.216 ton. Angkanya cenderung naik dan stabil hingga dekade 1920.
Pantai Timur Aceh memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan dan transportasi laut yang menghubungkan antara Aceh dengan negara-negara Asia dan Eropa. Kehadiran Kolonial Belanda di wilayah ini membawa pengaruh yang signifikan dalam pembangunan infrastruktur dan perubahan budaya di daerah tersebut.
Selama masa pendudukan tersebut, Belanda membangun dan meninggalkan banyak jejak sejarah, termasuk bangunan-bangunan peninggalan yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh.
Bangunan-bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh menjadi bukti fisik dari interaksi antara Belanda dan masyarakat Aceh pada masa itu. Selain itu, bangunan-bangunan peninggalan ini juga memberikan bukti tentang perubahan budaya yang terjadi di Aceh selama periode Kolonial.