Komparatif.ID, Bireuen— Safriadi (31) menciptakan sejarah baru untuk Bireuen. Pada Pekan Olah Raga Aceh (PORA) XIV Pidie 2022, ia mempersembahkan satu keping medali emas kepada tanah kelahirannya. Pria kelahiran 1992 tersebut mengaku bangga, tapi tak jemawa.
Pertama kali bertemu di Warkop Grand Kupi, di depan Meunasah Kulah Bate, Kota Bireuen, Kamis malam (6/4/2023) Safriadi bicara dengan lancar perihal dunia olahraga binaraga yang telah membawanya tiga kali ikut PORA serta PON Papua.
Ia pertama kali menjadi atlet PORA 2014 mewakili Aceh Utara. Ia saat itu berhasil menggondol emas di PORA XII Aceh Timur. Pada PORA XIII tahun 2018 di Jantho (Aceh Besar) ia lagi-lagi meraih emas untuk Aceh Utara.
Baca: Gara-gara Ong Bak, Yukai Persembahkan 2 Emas untuk Bireuen
Saat itu di Bireuen belum ada pengcab Persatuan Binaraga dan Fitnes Indonesia (PBFI). Sehingga Safriadi anteng saja membela Bumi Pase.
Setelah PORA XIII, di Bireuen dibentuk Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI). Safriadi,S. Kep., Ns pun dipanggil untuk membela panji Bireuen. Setelah binaraga berdikari sebagai pengcab khusus, Safriadi langsung berada di bawah tanggung jawab Ketua PBFI Bireuen, Sulaiman.
Sejak mengikuti PORA Aceh Timur hingga saat ini, suami Novilianda, A. Md., Keb, tersebut kerasan di kelas 55 kilogram. Ada niat naik kelas, hanya saja saat PORA 2022 kompatriotnya juga pindah ke kelas 60 kilogram. Dengan alasan pertemanan, Safriadi memilih mengalah.
Pria berbadan tegap yang bekerja di RS Malahayati sebagai staf administrasi, saat ini sedang fokus mempersiapkan diri bertanding di Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024.
“Saya sedang ikut pelatda di Banda Aceh,” sebut pria yang lahir pada 24 April 1992 di Paloh Seulimeng, Kecamatan Jeumpa, cahaya mata pasangan almarhum A. Gani Mahmud-Rohana.
Pilihan Hati Safriadi
Dunia binaraga merupakan pilihan hati Safriadi. Sejak 2013 ia intens berlatih. Menjadi binaraga maka telah memilih memasuki “semesta” yang penuh peraturan. Proses pembentukan tubuh yang melibatkan hipertropi otot intensif, harus dilalui dengan melakukan latihan beban dan diet, memakan makanan berprotein tinggi secara rutin dan intensif.
Setiap hari ia harus mengonsumsi 30 butir telur. Setiap waktu makan ia konsumsi 10 putih telur. Minum susu rendah lemak.
Ujian semakin berat enam bulan jelang pertandingan. Safriadi wajib mengonsumsi makanan mahal tapi tak memiliki rasa. Daging merah, dada ayam, beras merah, yang semuanya bebas gula, bebas garam, dan bebas lemak. Enam bulan itu makanan yang dapat mengikat air lebih banyak, tidak boleh lagi dinikmati.
Itu belum cukup. Binaragawan juga masih harus menjemur diri di bawah sinar matahari supaya mendapatkan warna kulit eksotis. Pada hari H, konsumsi air harus benar-benar dihindari.
“Pengurangan konsumsi air dilakukan bertahap. Pada hari H tidak boleh minum sampai kontes selesai. Bayangkan, tanpa air bagaimana oksigen di dalam otak? Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya masih bisa menggeluti dunia binaraga dengan penuh kecintaan. Ini pilihan hati saya,” sebut pria ramah tersebut.
Olahraga Mahal
Demi mencapai tubuh ideal melalui serangkaian latihan berat dan diet ketat, pengagum Ronald “Ronnie” Dean Coleman–binaragawan Amerika Serikat pemenang Mr. Olympia selama 8 tahun berturut-turut– harus banyak berkorban.
Setiap Sabtu dan Minggu ia bolak-balik ke Lhokseumawe untuk latihan. Di Bireuen belum ada pusat kebugaran yang memiliki peralatan latihan yang mencukupi kebutuhan binaraga.
Konsumsi makanan juga membutuhkan biaya besar. Daging dada ayam, daging merah, beras merah, dan menu diet lainnya hanya dapat dibeli dengan uang yang tidak sedikit.
Apalagi enam bulan jelang pertandingan. Pasokan makanan dietnya tidak boleh terputus, latihan tidak boleh terjeda. Dengan demikian aliran dana juga tidak boleh tersendat.
“Seringkali saya terpaksa harus meminjam tabungan istri. Terkadang juga harus meminta bantuan pinjaman kepada kenalan supaya program diet dan latihan tidak berhenti. Kalau sempat rusak program itu, sia-sialah semuanya,” terang anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Bireuen itu.
Ia menyebutkan, berbeda dengan olahraga lain yang membutuhkan dana besar jelang pertandingan. Kalau binaraga dana sangat besar enam bulan sebelumnya. “Ini yang sering tidak dipahami oleh banyak orang.”
Makanya ketika mendapatkan bonus dari KONI BireuenRp20 juta, Safriadi langsung membawa istrinya ke toko emas. Membeli perhiasan, menggantikan yang pernah ia ambil untuk biaya latihan.
Ada hal menarik sekaligus melankolis. Bila sudah masuk latihan intensif, setiap pulang ke rumah, anak semata wayangnya tidak mau dekat-dekat. Sang anak tidak mengenali ayahnya.
“Sedih pasti ya. Tapi mau bagaimana lagi? Dukungan keluarga sangat besar pengaruhnya untuk menjadi binaragawan. Istri saya selalu memberi dukungan penuh. Dukungannya membuat saya dapat berkonsentrasi penuh.”
Target Naik Podium PON XXI
Pada PON Aceh-Sumut XXI Safriadi maju ke gelanggang dengan target emas. Pilihan paling minimal naik podium.
Dengan target yang demikian, Safriadi harus berlatih lebih keras. Persaingan di level nasional tentu lebih berat. Para binaragawan top Indonesia pasti masuk gelanggang, demi emas dan tentunya bonus yang kelak diterima.
Penggemar binaragawan nasional Adya Novali tersebut harus memasang target tinggi, selain sebagai motivasi supaya tetap berada di tingkat percaya diri tertinggi, juga sudah sangat ingin punya rumah sendiri.
“Selama ini saya masih ngontrak tempat tinggal. Siapa tahu dengan capaian tertinggi di PON saya dapat membeli rumah,” katanya sembari tersenyum.
Saat ditanya sampai kapan ia akan menjadi bagian dari binaraga Bireuen? Ia tak berharap pindah ke tempat lain. Baginya Bireuen adalah segalanya. Ada rasa bangga berlebih ketika mampu mengharumkan nama daerah kelahiran.
Apalagi binaraga merupakan olahraga tanpa batasan usia. Hanya ada pengaturan kelas pertandingan yang jumlahnya 13. “Selama Bireuen masih mempercayai saya, selama itu pula saya akan memberikan terbaik,” katanya.
Ketua PBFI Bireuen, Sulaiman, S.P, kepada Komparatif.ID menyebutkan dirinya bangga kepada atlet Safriadi. Pria tersebut mengagumi ketekunan ayah 1 anak itu dalam berlatih dan bertanding.
Hanya saja mengurus olahraga binaraga tidak mudah. Meskipun atletnya tidak banyak, bahkan kali ini hanya 1 orang, tapi anggaran yang dibutuhkan sangat besar.
Makanya Sulaiman seringkali harus berjuang lebih keras supaya kebutuhan atletnya terpenuhi.
“Kalau dalam rapat saya sering dikritik karena meminta dana lumayan besar padahal hanya mengurus 1 orang. Pengkritik belum paham betapa banyaknya uang yang dibutuhkan untuk membentuk 1 atlet binaraga. Bayangkan bila kami punya atlet lebih dari 1,” kata Sulaiman sembari terkekeh.