Rwanda Masa Kini, Negeri Penuh Harapan

Rwanda
Alexis percaya bila Rwanda menjanjikan masa depan yang gemilang. negaranya merupakan tanah harapan. Foto: Emmanuel Munzero/International Alert.

Rwanda pernah menjadi neraka bagi jutaan rakyatnya ketika terjadinya genosida 1994. Sebanyak 800.000 penduduk yang terdiri dari suku Tutsi dan Hutu—moderat—dibantai oleh ekstrimis Hutu dalam jangka 100 hati. Tapi kini negara beribukota di Kigali adalah entitas yang berbeda. Meski belum kaya raya,  tapi telah menjadi negeri penuh harapan.

Dalam tiga kwartal tahun 2022, Produk Domestik Bruto (PDB) Rwanda tumbuh 8,4%. Persentase tersebut menurun bila dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 11 %. Tantangan pertumbuhan tersebut menjadi ujian pada 2023. Menurut laporan 20th edition of the Rwanda Economic Update yang dirilis 21 Februari 2023, kenaikan harga pangan dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjadi hambatan serius.

Pertumbuhan ekonomi Rwanda ditopang oleh sektor jasa, terutama bidang pariwisata. Sektor ini membuka banyak lapangan kerja untuk penduduk negara tersebut.

Memperbaiki Demokrasi di Rwanda

Setelah genosida Rwanda 1994, negara tersebut berbenah. Presiden Paul Kagame pada Peringatan 25 Tahun Genosida, Minggu (7/4/2019) mengatakan apa yang terjadi di sini, tidak akan terjadi lagi. Demikian komitmennya saat upacara lilin di Stadion Nasional Kigali. Staidon tersebut merupakan tempat suku Tutsi mencari perlindungan di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Baca: Ethiopia, dari Miskin Menjadi Negara Kaya di Afrika

Pernyataan Presiden Kagame bukan pernyataan kosong. Sejak usai rekonsiliasi, negara republik tersebut benar-benar berbenah. Termasuk memberikan ruang besar terhadap partisipasi perempuan. Pemilihan parlemen pada bulan September 2018 melihat perempuan mengisi 61% kursi, Front Patriotik Rwanda mempertahankan mayoritas mutlak, dan dua partai oposisi, Partai Hijau Demokratik Rwanda dan Partai Sosial, Imberakuri, masing-masing memenangkan dua kursi. Mayoritasnya perempuan di parlemen merupakan yang pertama di dunia.

Ekonomi Terus Bertumbuh dari Pariwisata

Sebagai upaya penanganan kenaikan harga pangan dunia yang berdampak pada Rwanda, pemerintah melakukan mitigasi dampak infasi selama setahun terakhir. Pemerintah melakukan berbagai langkah, demi menekan inflasi perkotaan yang naik menjadi 21,7 persen pada November 2022.

Inflasi yang terjadi akibat perang Ukraina-Rusia, menimbulkan dampak buruk bagi negara tersebut. Hal ini ditambah dengan hasil panen yang buruk di dalam negeri. Menyebabkan naiknya harga energi, transportasi, dan pangan.

Mitigasi yang dilakukan pemerintah berupa pemberian peningkatan subsidi pada bahan bakar, pupuk, benih, dan angkutan umum. Peningkatan belanja perlindungan sosial, peningkatan gaji guru, serta program pemberian makan di sekolah.

Wolrd Bank memperkirakan meskipun ekonomi Rwanda diproyeksikan melambat pada 2023-2025, tapi sektor pariwisata terus bertumbuh. Pemerintah memberikan perhatian khusus demi memaksimalkan pendapatan.

Pariwisata adalah sumber utama pendapatan devisa Rwanda dan cenderung menghasilkan proporsi pekerjaan sektor formal yang lebih tinggi daripada sektor lainnya. Di dalam sektor pariwisata, pariwisata berbasis alam, yang menyumbang 80 persen pengunjung rekreasi dan bisnis di Rwanda, tidak hanya membantu melindungi keanekaragaman hayati dan memajukan upaya Rwanda untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, tetapi juga memainkan peran penting dalam penciptaan lapangan kerja: untuk setiap $1 juta (sekitar Rwf 1.050 juta) yang disuntikkan oleh kegiatan wisata berbasis alam ke dalam perekonomian, diperkirakan dapat menciptakan 1.328 pekerjaan baru tambahan. Trekking gorilla merupakan primadona wisata di sana.

Bercita-cita Menjadi Negara Maju

Pemerintah dan rakyat Rwanda, memiliki mimpi besar yang telah disusun dalam National Strategic Transformation 1 yang disusun untuk tujuh tahun. Mereka menargetkan akan menjadi negara berpenghasilan menegah pada tahun 2035, dan kemudian menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2050.

NST1 memiliki dua misi yang harus dicapai. Pertama, pembangunan ekonomi lima tahun dan Strategi Pengurangan Kemiskinan (EDPRS) (2008–12) dan EDPRS-2 (2013–18). Target tersebut dapat dicapai. Rwanda mengalami kinerja ekonomi dan sosial yang kuat. Pertumbuhan rata-rata 7,2% per tahun selama satu dekade hingga 2019, sementara produk domestik bruto (PDB) per kapita tumbuh sebesar 5%.

Menurut data World Bank, Rwanda adalah salah satu dari dua negara di Afrika Sub-Sahara yang mencapai semua Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) kesehatan: Kematian balita menurun tajam antara tahun 2000 dan 2020 dan rasio kematian ibu juga turun, begitu pula tingkat kesuburan total (dari peningkatan akses ke kontrasepsi modern). Fokus yang kuat pada kebijakan dan inisiatif lokal telah berkontribusi pada peningkatan yang signifikan dalam akses ke layanan dan indikator pembangunan manusia.

Perekonomian menunjukkan kekuatannya meskipun lingkungan ekonomi yang menantang pada tahun 2022. Setelah pemulihan yang kuat pada tahun 2021 dari kontraksi yang dipicu oleh COVID-19 pada tahun sebelumnya, perekonomian menghadapi berbagai tantangan pada tahun 2022—luka pandemi, angin sakal dari perang di Ukraina, iklim -terkait guncangan, dan meningkatnya tekanan inflasi. Terlepas dari tantangan ini, PDB riil tumbuh sebesar 8,2% pada tahun 2022.

Tantangan Pembangunan

Utang publik meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Ketergantungan negara yang besar pada investasi publik yang besar (sebesar 13% dari PDB pada tahun 2019) telah menyebabkan defisit fiskal yang dibiayai melalui pinjaman luar negeri.

Akibatnya, rasio utang terhadap PDB naik menjadi 56,7% pada 2019 (dari 19,4% pada 2010) dan diperkirakan mencapai 71% PDB pada 2020, menyusul peningkatan kebutuhan pinjaman akibat pandemi. Pembiayaan eksternal melalui hibah dan pinjaman lunak dan non-lunak, telah memainkan peran kunci dalam pembiayaan investasi publik.

Ke depan, sektor swasta tampaknya akan memainkan peran yang lebih besar dalam membantu memastikan pertumbuhan ekonomi. Tabungan domestik yang rendah, kekurangan keterampilan, dan biaya energi yang tinggi adalah beberapa kendala utama investasi swasta.

Dinamika yang lebih kuat di sektor swasta akan membantu mempertahankan tingkat investasi yang tinggi dan mempercepat pertumbuhan. Mempromosikan tabungan domestik dipandang penting, seiring dengan pertumbuhan yang inklusif.

Pertumbuhan inklusif tetap menjadi tantangan utama, karena momentum pengentasan kemiskinan telah melemah dalam beberapa tahun terakhir. Dalam hal garis kemiskinan internasional sebesar $2,15 (PPP 2017), tingkat kemiskinan menurun dari 75,2% menjadi 53,5% selama tahun 2000 hingga 2013 dan menjadi hampir stagnan. Pada 2016, itu adalah 52%. Perlambatan pengentasan kemiskinan ini disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang tertekan di pedesaan, antara lain karena lambatnya transisi pedesaan ke perkotaan.

Mengatasi tantangan di atas akan membutuhkan upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas infrastruktur (air dan listrik), dan layanan dasar yang penting (pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial), dan memberikan dukungan yang efektif untuk kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja sektor swasta. Indeks Modal Manusia (HCI) Bank Dunia mencetak Rwanda pada 0,38, sedikit lebih tinggi dari rata-rata negara berpenghasilan rendah tetapi lebih rendah dari rata-rata Afrika Sub-Sahara.

Tanah Harapan

Menurut Worlddata.info, yang dikutip Komparatif.ID, Minggu (30/4/2023), Kinerja ekonomi esensial suatu negara tercermin dari produk domestik bruto, total semua barang dan jasa yang dijual. Produk domestik bruto dunia pada tahun 2021 adalah sekitar 12.183 USD per kapita. PDB di Rwanda, sebaliknya, mencapai USD 822 per kapita, atau 11,07 miliar USD untuk seluruh negara. Rwanda adalah salah satu ekonomi yang lebih kecil dan saat ini berada di peringkat 146. Jika dihitung per penduduk, dengan mempertimbangkan paritas daya beli, maka Rwanda menempati peringkat 171 dalam daftar negara terkaya.

Inflasi di Rwanda pada tahun 2021 sekitar -0,39%. Di dalam UE, rata-rata pada tahun yang sama adalah 2,55 persen. Di Amerika Serikat, baru-baru ini 4,70%.

Di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah di sana juga berhasil melakukan penanganan dengan sangat baik.

Langkah lainnya yang ditempuh Presiden Kagame—pahlawan militer yang berhasil menghentikan genosida—adalah memperbaiki sumber daya manusia. Angka melek huruf yang pada tahun 1991 hanya 58%, naik menjadi 73 pada 2018.

Data yang dilansir BPS negara tersebut, peningkatan tersebut diakibatkan oleh meningkatnya jumlah anak yang mendapat pendidikan. Dari tahun 2002 hingga tahun 2012, anak-anak di Rwanda yang tidak pernah merasakan bangku sekolah jumlahnya menurun dari 32% hingga menjadi 19%.

Pemerintah juga membuat sejumlah kebijakan yang merupakan terobosan dalam pembangunan, supaya rakyat dan pemerintah merasa dekat. Seperti kebijakan Imidigudu, yaitu pembangunan rumah tinggal untuk warga desa dan masyarakat yang terusir akibat perang dan genosida.

Kebijakan Girinka, yaitu program kebijakan 1 keluarga 1 sapi, maksudnya masyarakat yang terdaftar pada program ini mereka akan diberi seekor sapi gratis dari pemerintah.

Kebijakan yang lain yaitu kebijakan Umuganda, yaitu kerja bakti pada hari Sabtu terakhir setiap bulan di kota Kigali.

Selain itu, eperti dilansir nnc.com,sereka juga melakukan Car Free Day setiap 2 minggu sekali, supaya warga bisa refreshing tanpa terkena polusi. Pemerintah juga menyebar dokter untuk melakukan check up gratis, dan masih banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Hasil dari program dan kebijakan tersebut di antaranya yaitu angka harapan hidup di Rwanda naik, dari yang sebelumnya 28 tahun di tahun 1994 pada saat pecahnya genosida di Rwanda, naik menjadi 69 tahun pada tahun 2020.

Kemudian, pendapatan nasional Rwanda menjadi yang tercepat perkembangannya, bahkan sekarang Rwanda disebut menjadi negara di Afrika dengan kemudahan bisnis paling tinggi.

Dalam hal kemudahan bisnis ini, bahkan Rwanda mampu melampaui negara-negara maju, seperti Belanda dan Jepang.

“Saya melihat negara ini memiliki masa depan yang bagus,” sebut Alexis, seorang mantan napi yang kini membangun usaha perkebunan nenas di negara itu. Ia bergabung dalam kelompok tani bersama mantan narapidana, mantan pelaku konflik, penyintas genosida, dan kaum muda.

Artikel SebelumnyaJenderal Dudung Raih Gelar Doktor dengan Nilai Cumlaude di Trisakti
Artikel SelanjutnyaKawasan Menuju Brastagi Disapu Banjir Bandang
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here