Keberadaan tambang emas di Aceh bukanlah hal baru. Logam mulia itu telah menjadi komoditas utama niaga antar negara selain sarang burung, rempah-rempah, dan barang tambang lainnya.
Tambang emas yang akan dibuka oleh PT Bumi Mentari Energi di kawasan Beutong Ateuh, ditolak oleh warga dan masyarakat adat yang ada di sana. Pada Kamis (25/5/2023) Camat Beutong Ateuh Banggalang, Rustam Efendi,M.A, menandatangani surat bertulis tangan, yang isinya menolak kehadiran perusahaan tambang apa pun jenisnya di bumi Beutong.
Keluarga allahyarham Teungku Bantaqiah yang bermukim di Beutong Ateuh, merupakan pemimpin agama sekaligus tokoh adat paling berpengaruh di sana. Mereka berdiri tegak menolak tambang. Bagi mereka, apa yang telah disediakan oleh rimba Beutong telah lebih dari cukup untuk hidup dan membangun peradaban.
Putra Teungku Bantaqiah, Teungku Malikul Aziz, jauh-jauh hari telah memberikan peringatan, bahwa Bumi Beutong jangan ditambang. Rezeki yang diberikan Allah melalui lebatnya rimba, telah lebih dari cukup. Mereka tak perlu lebih. Bahkan, kehadiran tambang ditakutkan akan menghadirkan mimpi buruk di kemudian hari.
Baca: Lingkar Setan Tambang Emas Ilegal di Serambi Mekkah
PT Bumi Mentari Energi adalah korporat kedua yang diminta hengkang. Dulu, warga di sana juga melakukan demontrasi besar-besaran melawan ekploitasi bumi Beutong oleh PT Emas Mineral Murni (PT EMM). Gelombang besar demontrasi di Banda Aceh, yang disebut-sebut telah ikut ditunggangi oleh mafia tambang emas ilegal dan aktor politik jelang Pemilu 2019, berhasil mengusir PT EMM dari Beutong Ateuh.
Warga Beutong Ateuh Banggalang tetap pada prinsip awal. Sekaya apa pun isi kandungan bumi di sana, Beutong Ateuh tak boleh ditambang. Biarlah emas tetap mengendap, karena mereka telah lebih dari cukup hidup harmoni bersama rimba yang selalu memberikan lebih.
Tambang Emas di Aceh Pada Masa Silam
Tambang emas di Aceh bukanlah hal baru. Meski sekarang banyak sekali bertebaran tambang emas ilegal yang secara ekonomi lebih besar mengalir ke luar Serambi Mekkah, di masa silam tambang emas itu diusahakan langsung oleh kesultanan. Setidaknya menurut sejumlah catatan, tambang emas di Aceh pernah dilakukan di wilayah kekuasaan Kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam.
Emas urai merupakan salah satu komoditas sejumlah kerajaan di Aceh. emas itu ditambang di sepanjang aliran sungai pada waktu itu.
Keahlian menambang emas didapatkan oleh Aceh setelah belajar dari lancarnya perdagangan dari Timur ke Barat. Dari Barat ada bangsa Persia, Yunani (Gersik/Greek), dan Surya (Arab). Dari Timur ada bangsa Tionghoa dan Pegu, yang memegang peranan penting dalam perdagangan emas urai dan sarang burung.
Baca: Warga Beutong Ateuh Tolak Tambang Emas
Para sarjana Yunani (Romawi) dan Parsia banyak yang ahli dalam ilmu pertambangan emas. Merekalah yang mengajar anak-anak negeri menginang emas dari sungai yang mengandung emas.
H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) yang diterbitkan oleh Pustaka Iskandar Muda, Medan, menulis bahwa Peureulak merupakan negeri [di Aceh saat ini] yang sungai/alurnya memiliki emas dan ditambang oleh orang Parsia.
Lokasi tempat pertambangan emas di masa itu, dikenal dengan Alue Meuh (Alur Mas), yang letaknya tidak jauh dari bekas istana Raja Peureulak. Daerah tersebut sekarang ini dikenal dengan Paya Meuligoe. Di sekitar istana Raja Peureulak juga ditemukan banyak telaga minyak tanah.
Akan tetapi sangat sedikit catatan tentang Kerajaan Peureulak. Secara samar-samar sudah diketahui dalam Abad XI. Namun baru terang benderang dalam tahun 1292 setelah Marcopolo datang ke sana.
Tambang emas di Aceh juga dicatat dalam sejarah pernah ada di Pase, setelah didirikannya Kerajaan Pasai. Tambang emas dibangun di hulu Sungai Pasai, di atas Kampung Perak. Tambang emas tersebut dikerjakan oleh sarjana dari Persia.
Dalam sebuah legenda disebutkan bahwa pada suatu hari Meurah Silu memasang lukah di Sungai Peusangan. Lukah itu dihanyutkan oleh banjir besar. Setelah diambil dan kemudian isinya direbus, terdapatlah emas. Tempat Meurah Silu memasang lukah yaitu di Krueng Meuh, yang saat ini berlokasi di atas Awee Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Bireuen.
Bukti otentik tentang tambang emas di Pasai dapat dilihat dari mata uang yang digunakan oleh Kerajaan. Sultan Malikussaleh merupakan raja satu-satunya yang mulai membuat alat tukar dari emas, yang disebut derham emas (Pasaiche gouden munten) yang dikeluarkan oleh Sultan Zainal Abidin Bahian Syah, dan Ratu Buhayah. Saat itu raja-raja di tempat lain mengeluarkan uang dari kulit dan timah.
Sesudah Sultan Malikusaaleh, barulah sultan-sultan lain di Aceh terus menerus membuat alat pertukaran dari emas, yang disebut derham emas (Atjehsche gouden munten). Pembuatan alat tukar tersebut berlangsung hingga ujung kekuasaan Sultanah Syafiatuddin Syah (1641-1675).
Pada masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah, tambang emas dibangun di Geumpang (Pidie). Di dalam Sungai Geumpang yang berjarak kira-kira 100 kilometer dari Sigli berhasil ditemukan emas urai.
Emas urai tersebut merupakan salah satu komoditas perniagaan Aceh yang sangat maju kala itu. Bahkan karena saking besarnya, VOC menjadi tukang seludup emas urai. Mereka kemudian meminta memonopoli perdagangan emas urai. Tapi ditolak oleh Sultanah. Aceh Darussalam tetap hanya bersedia berniaga emas dengan mitra lamanya yaitu Inggris, India, Parsia, Arab, dan Tionghoa.
Di masa Sultan Djamalul Alam (1711-1733) dibuka tambang emas di Aceh yaitu di hulu Sungai Meulaboh, tepatnya di Tutut. Semua hasilnya dibawa ke Bandar Aceh untuk selanjutnya diniagakan.
Pada masa Sultan Djohar Alam Syah (1802-1830) pusat perniagaan emas tidak lagi di Bandar Aceh, tapi berpindah ke bandar di Pulau Penang. Penang menjadi pusat niaga emas hingga Aceh diserbut oleh Belanda pada 1873.
Selama peperangan dengan Belanda, penambangan emas dihentikan. Seluruh rakyat mengambil peran dalam perang fisabilillah. Rakyat sibuk bergerilya dari rimba ke rimba. Pemerintah Belanda tidak berani mengambil alih tambang, karena rimba dikuasai oleh pasukan muslimin.
Pada tahun 1938 Masehi, belanda mulai menambang emas di Aceh. Mereka memulainya di Meulaboh. Emas di Tutut ditambang oleh Maatschappy Masmarsman hingga Jepang masuk. Pada tahun 1945, ketika revolusi Republik Indonesia menggelora, perusahaan tambang itu berhenti.
Sumber utama saduran: Tarich Atjeh dan Nusantara.