Komparatif.ID, Banda Aceh–Sekolah dibakar merupakan pemandangan sehari-hari di Aceh sepanjang tahun 1992 hingga 2003. Bahkan beberapa sekolah justru dibakar oleh alumnusnya sendiri yang memilih ikut gerilyawan yang melawan pemerintah.
Menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama rentang masa 1992 hingga 2003, jumlah sekolah dibakar di Serambi Mekkah 1.158 unit, terdiri dari SD, SMP, dan SMA/sederajat.
Kepala Dinas Pendidikan NAD Drs. Anas M. Adam, Senin (14/6/2004) mengatakan 611 unit di antaranya sekolah dibakar oleh pelaku konflik pada masa Darurat Militer.
Baca juga: Susu untuk Republik, Tuba Dalam Cawan Daoed Beureueh
Sebagai contoh, dari informasi yang disitat dari Tempo, sepanjang Kamis dan Jumat, 13 hingga 14 Juni 2003, sejumlah pria bersenjata dan memakai penutup wajah (sebo) membakar 4 unit sekolah di Lhokseumawe.
Sekolah-sekolah yang dibakar tersebut yaitu SMK Negeri 2, SMK Negeri 4, SMU Negeri 3, dan SMP Negeri 7. Menurut Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe Ilyas Wahab, kerugian terbesar diderita SMK Negeri 2.
Ilyas merinci, fasilitas pendukung bantuan Pemerintah Austria yang terbakar nilainya mencapai Rp 12 miliar, dan bangunannya ditaksir Rp 3 miliar. Total kerugian atas pembakaran 4 unit sekolah tersebut Rp16 miliar.
Dari sejumlah data yang dihimpun Komparatif.id, efek dari pembakaran sekolah yang semakin marak sepanjang tahun 2000 hingga 2003, banyak sekali putera-puteri Aceh yang harus diliburkan paksa oleh pihak sekolah, bahkan hingga berbulan-bulan.
Ditambah dengan aksi pengungsian yang semakin marak, mogok massal, dan lain sebagainya, membuat penyelenggaraan pendidikan menjadi amburadul.
“Saat itu seringkali harus libur sekolah karena mogok massal, kontak senjata, dan lain sebagainya. SD Negeri Matang Cot Paseh, Peusangan, Bireuen, yang merupakan sekolah dasar tempat saya menuntut ilmu, juga dibakar hingga seluruhnya rata dengan tanah. Kala peristiwa itu saya sudah SMP. Pihak sekolah, dengan sumber daya terbatas, harus menyelenggarakan pendidikan dengan menumpang pada balai pengajian yang ada di dekat sekolah,” sebut Mutia, warga Bireuen yang kini bermukim di Banda Aceh., Rabu (11/1/2023).
Mutia mengenang, para pelaku pembakaran memberikan izin buku-buku bacaan dikeluarkan dari gedung sekolah. Warga berbondong-bondong membantu guru menyelamatkan ratusan eksamplar buku bacaan ke rumah seorang guru.
“Para pelaku mulai membakar sekolah tersebut sekitar pukul 17.00 WIB. Ketika azan Magrib berkumandang, kobaran api sedang membesar, mampu menerangi sekitarnya yang telah diliput gelap,” kenang Mutia.
Di SD Inpres Teupin Mane—Kini SDN 16 Juli, Bireuen—para pelaku pembakar sekolah menjalankan aksinya tengah malam. Gedung pertama yang dibakar yaitu ruang kepala sekolah. Meskipun tidak berhasil membumihanguskan seluruhnya, tapi banyak dokumen penting dan buku bacaan yang hangus terbakar.
SMP Negeri Juli yang beralamat di Kilometer, jalan Bireuen-Takengon, juga sempat dibakar oleh sejumlah orang. Satu Pustaka dan ruang laboratorium hangus dilalap sijago merah. Ribuan buku bacaan dari berbagai disiplin ilmu menjadi debu hitam pekat, sekelam nasib putera-puteri Aceh yang semakin tak leluasa menimba ilmu.
Sekolah Dibakar, Guru Dibunuh
Bukan hanya sekolah dibakar oleh gerilyawan, Dinas Pendidikan Aceh juga menyebutkan guru juga menjadi sasaran gerakan bersenjata dalam konflik politik di Serambi Mekkah.
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Banda Aceh, Minggu (2/5/2004), Kadisdik NAD Anas M. Adam menyebutkan peristiwa kekerasan yang menimpa guru bukan lagi hal yang aneh. Selama pelaksanaan Darurat Militer, 22 guru telah dibunuh oleh gerilyawan.
Paling terkini, terjadi pada Kamis dan Jumat pekan ini di daerah Pidie. Rosmawati (47), guru SMU I Kembang Tanjong. Korban yang disebutkan aparat keamanan tewas ditembak anggota GAM ini, tewas bersama ibu kandungnya, Hj Nurhayati (74).
Sedangkan korban lainnya adalah Teuku Fakhrurazi (53), guru SMP I Kecamatan Trienggadeng.
Meski begitu, menurut Adam, jumlah ini turun dari angka kekerasan terhadap guru pada tahun-tahun sebelumnya. Dikatakannya, Sejak konflik bersenjata kembali memanas pada tahun 1999, tercatat tidak kurang dari 170 guru menjadi korban kekerasan anggota GAM, 50 di antaranya meninggal. Lebih lanjut dikatakannya, selain tewas, guru yang menjadi korban kekerasan itu ada yang mengalami cacat ringan, cacat seumur hidup, atau diculik.
Di Aceh Utara, seorang guru Bahasa Indonesia diculik dan dibunuh karena ia dianggap mengajarkan bahasa penjajah kepada murid-muridnya. Pria muda itu diculik dari kediaman orangtuanya, dan tidak kembali lagi hingga akhirnya ditemukan telah menjadi mayat.
Sumber: Liputan6, detik, Tempo.co, data Koalisi NGO HAM, bank data Komparatif.id