Revisi UUPA Bukan Kegagalan Implementasi

Revisi UUPA Bukan Kegagalan Implementasi
Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Bidang Reformasi Hukum, Dr. Fitra Arsil. Foto: hukumonline.

Komparatif.ID, Banda Aceh– Staf Ahli Menko Kumham Imipas Bidang Reformasi Hukum, Dr. Fitra Arsil, SH., MH., menegaskan revisi UUPA bukan kegagalan implementasi, tapi ruang untuk menyempurnakan kesepakatan damai pasca-konflik Aceh.

“Saya ingin memulai dengan sebuah pengakuan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh bukan sekedar sebuah produk legislasi biasa. Ia adalah sebuah karya besar legislasi yang lahir dengan semangat rekonsiliasi dan upaya membangun perdamaian abadi,” ujar Fitra pada diskusi publik “Advokasi Revisi UUPA Antara Peluang dan Tantangan” pada Selasa (8/7/25).

Fitra mengonfirmasi bahwa draf revisi dari DPR Aceh telah diterima oleh Kemenko Polhukam pada 27 Mei 2025 dan sedang dipelajari. Ia menyebut proses ini sebagai perawatan terhadap amanah perdamaian dan konsensus luas yang sudah kuat di masyarakat agar tetap terus relevan, tidak tergerus dengan waktu.

Baca juga: Anwar Ramli: Revisi UUPA Harusnya Ubah 193 Pasal

Menariknya, Fitra juga memaparkan mengenai minimnya upaya uji materiil (judicial review) terhadap UUPA di Mahkamah Konstitusi (MK), yang hanya terjadi delapan kali. 

Menurutnya, hal ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara. Di satu sisi, bisa berarti absennya judicial feedback loop untuk menajamkan norma.

Namun di sisi lain, mengutip riset para ahli hukum tata negara seperti Tom Ginsburg, undang-undang yang lahir dari konsensus politik yang kuat, seperti perjanjian damai, cenderung memiliki legitimasi sosial yang tinggi sehingga jarang digugat.

Selain itu Fitra menuturkan hanya Aceh yang memiliki hak konsultatif formal dalam merevisi undang-undangnya sendiri. Kewajiban berkonsultasi dengan DPR Aceh dalam setiap langkah revisi menjadi penanda bahwa kekhususan Aceh harus tetap dijaga, terutama agar proses revisi tidak keluar dari semangat perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.

“UUPA harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPRA, dan ini merupakan kekhususan Aceh yang tidak dimiliki oleh daerah lain. DPR Aceh punya hak konsultatif formal dalam revisi undang-undangnya sendiri,” jelasnya.

Artikel SebelumnyaNasir Djamil: Disusun Terburu-buru, UUPA Belum Sempurna
Artikel SelanjutnyaBendungan Karet Krueng Peusangan Diserbu Wisatawan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here