Review Waktu Maghrib, Kembalinya Arwah wati

Waktu Maghrib
Waktu Maghrib berhasil menghadirkan kengerian. Tapi jalan ceritanya tak masuk akal bagi yang tidak sekadar mencari cerita seram. Foto: Dikutip dari Tabloid Bintang.

Jelang waktu Maghrib di sebuah tanah lapang di tepi hutan, tiga orang anak sedang bermain. Wati (Bebe Gracia) perempuan belia berambut kepang dua, duduk di atas tanah. Dia tampak gelisah ketika melihat langit mulai gelap. Dia mengajak dua temannya yang sedang main patok lele, pulang bersama.

Tapi Karta (Malfin JJ) dan Drajat (Evan Putra) menolak. Mereka sedang sangat asyik bermain patok lele. Wati tak dapat lagi menunggu. Dia pun pulang, melintas jalan  yang membelah hutan kecil di Kampung Jatijajar, Kecamatan Wonoasri, Jawa Tengah.

Tiba di tengah hutan, sesuatu yang mengerikan –diperlihatkan dari wajah Wati yang ketakutan—mengadang dara belia tersebut. Tiba-tiba ia terjerembab dan ditarik ke semak-semak. Wati histeris, tapi tak menghentikan langkah iblis yang sekuat tenaga menariknya.

Baca juga: Mangkujiwo 2; Kebuasaan Masih Tetap Menang

Di lapangan tepi hutan, dalam waktu bersamaan Drajat memukul patok lele hingga terbang jauh ke dalam hutan. Terjatuh ke pinggir sebuah batu. Karta mengupat, dan Drajat hanya ketawa. Pria kecil itu masuk ke hutan. Dia tidak takut. Ketika melihat patok lele teronggok di pinggir batu, dia coba mendekat. Begitu hendak diambil, patok itu jatuh ke dalam sebuah lubang. Kala Karta memasukkan tangannya ke lubang, tiba-tiba ia menjerit kesakitan. Sesuatu yang berada di dalam lubang telah membuat satu jemarinya putus.

Bagaimana dengan Drajat? Dia yang mendengar teriakan kedua temannya, segera menyusul salah satunya. Tapi ia tak beruntung, demit alas itu menghabisi nyawanya. Karta trauma, dan Wati hilang tanpa jejak.

Itulah pembuka sinema horor Waktu Maghrib, yang saya tonton di bioskop XXI salah satu mall di Jakarta.

Beranjak dari kepercayaan dalam budaya Indonesia bahwa demit/setan/iblis, keluar waktu petang—surup dalam bahasa Jawa, asa leumo dalam bahasa Aceh—menjadi tema film yang penuh dengan adegan kemunculan iblis tanpa diduga. Saya dua kali terkaget-kaget.

30 tahun setelah hilangnya Wati pada waktu Maghrib, tewasnya Drajat dan Karta mengalami trauma dan memilih menetap di sebuah gubuk di tengah hutan, di Jatijajar terdapatlah tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka siswa SMP Negeri Jatijajar. Ayu (Nafiza Fatia Rani) yang merupakan siswa kesayangan Bu Woro (Aulia Sarah), Adi (Ali Fikry), dan Saman (Bima Sena). Dua nama terakhir merupakan siswa paling legendaris karena langganan terlambat, dan jarang membuat PR.

Pada babak kedua film itu, memperlihatkan Saman yang tergopoh-gopoh menuju sekolah. Dia menyertai Adi yang sedang melihat bubunya di sungai. Saman berteriak dan meminta Adi bergegas. Supaya cepat sampai ke sekolah, Saman mengajak Adi melintas jalan yang membelah hutan. Adi menolak, tapi Saman tak peduli. Dia mengatakan tak ada setan, itu semua takhayul.

Tiba di sekolah, pintu kelas sudah ditutup. Kala mereka mendorong pintu, Woro menyongsong, mengusir mereka keluar kelas. Usai jam belajar, mereka dihukum.

Saman merupakan yatim piatu yang tinggal di sebuah rumah reot di Jatijajar. Ia tinggal bersama neneknya yang telah sepuh dan sakit, serta abangnya Saman bernama Samiun. Sehari-hari Samiun keluar masuk hutan mencari madu. Bila sedang ada proyek, dia akan bekerja di proyek sebagai buruh kasar.

Tugas Saman, selain merawat neneknya, juga menitipkan madu hutan ke kedai kelontong Marto—ayahnya Ayu. Tapi tugas itu seringkali tak dikerjakan oleh Saman. Ia sibuk dengan kebiasaannya bermain tanpa pikir panjang. Saman merupakan anak miskin yang tidak bertanggung jawab terhadap tugas, serta sibuk dengan pikirannya sendiri.

Itulah yang membuat Samiun tidak menyukai Saman. Samiun merasa Saman tidak menghargai jerih payahnya. Padahal madu merupakan penopang ekonomi satu-satunya untuk mereka.

Marto juga jengkel kepada Saman. Akibat ulah anak itu, pembeli madu di kedainya seringkali komplain.

Hingga suatu hari di desa tetangga akan digelar wayang. Saman dan Adi sangat ingin menontonnya. Bila Saman sangat termotivasi, Adi justru ragu. Pagi itu jelang pementasan wayang, Saman dan Adi tergopoh-gopoh ke sekolah. Saman tak sempat menitipkan madu ke warung Marto.

Di sekolah dia memohon Woro memberikan dispensasi. Tapi Woro tak peduli. Dia menghukum kedua remaja itu membersihkan toilet sekolah. Dasar Saman, ketika jam sekolah usai, dia lupa membawa serta madu. Dia terlalu fokus pada pementasan wayang.

Ketika waktu maghrib menjelang, dia baru ingat madunya tertinggal di sekolah, tapi sudah kadung terlanjur. Setelah menumpang sebuah pick up yang disopiri oleh orang Batak, mereka bergegas menuju tempat wayang akan dipentaskan. Pun demikian jalan yang mereka lalui harus melintasi hutan.

Perjalanan lancar tanpa kendala, hingga kemudian perbincangan mereka mengulas Woro. Secara spontan Saman mengucapkan bahwa ia ingin Woro mati. Tiba-tiba seseorang muncul di depan mobil. Sopir kaget dan mencoba mengelak.

Ternyata ban mobil kempes. Sopir segera bergegas. Belum sempat mereka melanjutkan perjalanan, seorang mantri lewat, meminta bantuan supaya pick up tersebut berputar haluan, kembali ke Jatijajar. Sang mantri memberitahu bahwa Woro mengalami kecelakaan di rumah dinas guru SMP Jatijajar.

Saman dan Adi kaget. Mereka tak menyangka Woro benar-benar meninggal dunia setelah Saman menginginkannya.

Besoknya, ketika Saman dan warga membaca yasinan samping jenazah Woro yang terbujur kaku di ruang tengah rumah dinas, Saman melihat sesuatu yang aneh. Ketika dia menatap wajah Woro dengan penuh penyesalan, tiba-tiba wajah jenazah itu berubah mengerikan. Saman kaget. Dia mencoba menyapu wajahnya. Tiba-tiba, Woro bangkit dari pembaringan dan mendekati Saman dengan wajah sangat menyeramkan.

Saman berteriak histeris, sembari beringsut ke luar rumah. Sekali lagi, ketika jenazah Woro dimasukkan ke dalam ambulans, tiba-tiba jenazahnya hilang dari keranda. Saman ketakutan.

Saman mengalami berbagai keanehan setelah sebelumnya meremehkan kebaradaan mahkluk halus setiap kali Adi mengutarakan kekhawatirannya ketika mereka melintas di tengah hutan, baik saat berangkat maupun ketika pulang sekolah. Menurut Saman semuanya mitos.

Setelah itu, setiap waktu Maghrib, pintu rumahnya selalu terbuka. Neneknya dapat melihat hantu yang datang. Tapi tidak dengan Saman. Hingga suatu Magrib, iblis benar-benar menampakkan diri pada Saman, dan membuat anak itu kehilangan kesadaran. Sejak saat itu dia tidak lagi masuk sekolah.

Waktu Maghrib
Adegan Bu woro yang diperankan Aulia Sarah dalam salah satu adegan film Waktu Maghrib ( Facebook Aulia Sarah )

Ketika Samiun pulang kerja di kota, dia dibuat sangat marah kala Marto mengomel bahwa tak ada madu yang dititipkan ke warungnya. Sehingga Samiun tak perlu minta uang. Kalimat Marto sangat nyelekit, dan itu menambah amunisi kekesalannya kepada adiknya.

Tiba di gubuk, ia segera memukuli Saman. Ia sangat kesal. Samiun tak lagi peduli tangisan nenek mereka. kali ini tangis nenek sangat keras,seperti mencoba memberitahu pada Samiun bila Saman bukanlah adiknya yang kemarin dia tinggalkan. Tapi samiun sudah kalap. Ia tak lagi peduli.

“Apa yang kau mau sebenarnya, Saman!” tanya Samiun sembari menampar sang adik.

“Aku ingin kamu mati!” jawab Saman.

Mendengar jawaban itu, Samiun bertambah kalap. Tapi tiba-tiba dia mundur dan terjungkal ke tanah sembari memohon ampun. Dia melihat sesosok mengerikan berada di belakang Saman. Sembari menghunus pisau dapur, Saman menyeringai mengerikan. Dia kemudian menikam tubuh Samiun berkali-kali.

Malam itu, seusai membunuh Samiun, Saman meneror kampung. Ia menyambangi rumah Pak Lurah. Dia membunuh seluruh ayam-ayamnya dan menampung darah. Darah itu ditaruh dalam botol-botol madu dan dibawa ke kedai Marto. Di sana dia mengantuk-antuk kepala ke dinding, yang membuat Marto dan Ayu keluar. Ketika menyapa Saman, bocah itu tidak menjawab. Tidak lama kemudian dia melempar botol ke tanah. Darah segar keluar membasahi lantai. Saman lari menjauh.

Arwah Wati Kembali Saat Usai Waktu Maghrib

Pak Lurah memberitahu Marto bahwa guru pengganti akan segera tiba. Marto mengajak Ayu menjemput guru tersebut di simpang desa. Ayu ogah-ogahan menjemput tapi Marto memaksa.

Guru baru bernama Ningsih tiba menumpang mobil paling akhir. Dia mengaku terlambat karena sempat salah alamat. Dengan ramah Ningsih menyalami satu persatu. Hingga kemudian dia menyapa Ayu yang berdiri paling ujung dengan sorot mata tak ramah.

Ningsih guru yang berbeda. Dia sangat toleransi terhadap anak-anak bandel. Kondisi itu membuat Ayu tidak nyaman. Saat itu Ayu juga mulai diteror arwah Woro yang berkali-kali memperlihatkan diri kepada Ayu. Bahkan ballpoint warna-warni pemberian Woro kepada Ayu berkali-kali jatuh di sekolah.

Tiap kali ballpoint jatuh, Ayu ketakutan. Karena seringkali Woro menampakkan diri dengan wajah menyeramkan.

Setelah Saman berhasil ditangkap dan dikurung di dalam gudang, Ningsih datang. Dia mencoba meyakinkan Pak Lurah bahwa dirinya dapat bercakap-cakap dengan Saman. Namun sepeninggal Ningsih, Saman justru ditemukan mati gantung diri.

Usai peristiwa itu Ayu mencoba memberikan jimat kepada Ningsih. Tapi guru itu seketika menampik hingga jimat itu jatuh ke tanah. Dia meminta Ayu jangan percaya takhayul. Cara Ningsih menampik jimat membuat Ayu seperti menemukan satu jawaban.

Demikian juga kala Adi diberikan les tambahan hingga  waktu Maghrib di sekolah. Ketika kumandang azan terdengar Ningsih pamit ke luar kelas. Adi tinggal sendiri di kelas. Usai salat ia mengalami pengalaman traumatis. Sejak itu Adi sering bertingkah aneh.

Hingga suatu malam Adi melarikan diri dari rumah. Adi sempat menculik seorang bocah dan membawanya ke kuburan Saman. Adi membongkar kubur temannya dan membawa mayatnya ke depan kedai Marto. Mayat busuk itu membuat Marto ketakutan luar biasa.

Kemudian ketika Ayu berangkat salat Magrib di musalla, dia bertemu Adi yang sedang menetak seekor anjing. Ayu memanggil Adi dengan perasaan campur aduk. Adi memalingkan wajahnya. Dengan senyum misterius dia balik badan. Kemudian mengejar Ayu sembari mengayunkan sebilah parang.

Ayu berlari sekuat tenaga, ia hampir dijangkau oleh Adi, ketika tiba-tiba Bu Lurah menyelamatkannya ke dalam rumah. Adi tak berhenti. Dia membacok pintu depan. Tiba-tiba Bu Lurah ingat bila pintu belakang belum dikunci. Ketika mereka bergegas ke sana, Adi muncul dan segera menyongsong Ayu. Ayu yang ketakutan berjalan mundur ke arah pintu depan. Dia sudah pasrah, ketika Adi bersiap menghujamkan parang, Hansip (Sadana Agung) tiba dan memukul tengkuk Adi.

Hansip dan Pak Lurah segera menyusul ke rumah, ketika di musalla dia menemukan keanehan. Ketika memukul beduk tanda waktu Maghrib tiba, suara beduk tidak nyaring. dia mlihat ceceran darah jatuh ke lantai, kemudian menemukan seorang bocah berlumur darah di dalam beduk.

Khawatir terjadi apa-apa di rumah, dia segera kembali. Beruntung, andaikan mereka tak pulang, maka Ayu akan menjadi mangsa Adi.

Warga yang panik kemudian menuduh Drajat (Evan Putra) sebagai biang kerok. Dugaan itu semakin kuat karena ayah Adi memergoki Drajat sedang mengintip di rumahnya sebelum Adi hilang. Dia juga meninggalkan sebuah jimat di sana. Beberapa warga lainnya juga mengaku pernah menemukan jimat di rumah mereka.

Drajat dijemput ke gubuknya di tengah hutan. Dia dipukuli. Untung saja Marto dan Pak Lurah tiba cepat waktu. Mereka melerai ketika Drajat sudah babak belur. Meski dituduh sebagai penyebab semua bencana, Drajat menolak. Dia mengatakan bahwa wargalah yang telah mengundang bencana ke desa itu.

Ayu jatuh sakit akibat pengalaman traumatisnya. Dalam sakitnya menjelang pulih, dia mengatakan kepada ayahnya bila Pak Lek—Drajat—bukan pelakunya. Tapi Marto mengaku sudah ikhlas, karena ia yakin bila diknyalah sebagai pelaku. Konon lagi sang adik sejak peristiwa 30 tahun lalu, dianggap sudah gila.

Tiba-tiba Ningsih datang membezuk Ayu. Marto keluar kamar. Ayu ketakutan. Dia sudah tahu bila Ningsih merupakan hantu yang datang ke desa itu untuk merenggut jiwa anak-anak.

Ningsih masuk ke kamar layaknya seorang polisi, menanyakan kabar Ayu, dan menanyakan hubungannya dengan Woro dan Drajat. Dia mengingatkan Ayu supaya tidak ikut campur terlalu jauh.

Kala Ningsih mendekat, Ayu menggenggam jimat dan mendekatkan ke wajah Ningsih. Perempuan itu sejenak terkesiap. Kemudian tertawa kecil. Kala ia mendelik, tiba-tiba arwah Woro muncul. Ningsih menghentikan aksinya. Ketika Marto kembali ke kamar, Ningsih pamit dengan senyum manis.

Tak ada pilihan, Ayu harus bergegas. Satu-satunya orang yang dapat mengusir arwah Wati yang digerakkan oleh Jin Ummu, adalah Drajat. Ayu pun bergegas berlari ke rumah Lurah. Dia membebaskan Drajat dari ikatan. Kemudian meyakinkan Drajat bila azan bukan siksaan tapi obat bagi hati yang lara.

Mereka bergegas. Ayu diminta menyelamatkan Adi yang sedang menuju sungai tempat biasanya ia memasang bubu bersama Saman. Sedangkan Drajat menuju rumah dinas guru yang ditempati Ningsih cum arwah Wati, cum Jin Ummu.

Drajat yang sempat linglung karena Wati mengingatkan tentang masa lalu mereka, kemudian teguh hatinya untuk melawan. Dia berlari ke hutan, menyulut api ke batu tempat jarinya putus 30 tahun lalu. Arwah Wati histeris. Di sungai, Adi yang nyaris berhasil digapai Jin Ummu, gagal dibawa serta karena suara azan Drajat yang membelah hutan, diikuti azan Magrib dari musalla-musalla di sekitar hutan. Ayu dan ayahnya Adi membawa bocah itu pulang.

Film ini ditutup dengan suasana desa Jatijajar pada waktu Magrib. Ketika seorang anak sedang bermain di luar rumah. Ibu si anak memperingatkan anaknya supaya tidak bermain terlalu jauh. Sembari mengiyakan bocah itu tetap melangkah menuju jalan yang berbatas dengan sebuah kebun kosong.

Di sana Jin Ummu berdiri sembari bernyanyi. Dia memanggil bocah itu dengan nyanyian menyeramkan. Bocah itu tiba-tiba terjatuh, film pun tamat.

Waktu Magrib Sangat Menyeramkan

Waktu Maghrib dirilis pertama kali ke bioskop pada 9 Februari 2023. Film yang disutradarai oleh Sidharta Tata tersebut berhasil menampilkan kengerian. Kemunculan Jin Ummu pada beberapa momen tidak begitu menakutkan. Tapi munculnya arwah Woro baik dalam kondisi wajah menyeramkan, maupun saat dia berdiri di pintu gerbang sekolah dengan pakaian lengkap sebagai guru dan wajah dinginnya, membuat bulu kuduk bergidik.

Jump scare dan musik seram padu padan dengan suasana film yang seringkali menampilkan waktu maghrib dan malam. Hanya satu kekurangan film ini? Mengapa Jin Ummu menginginkan semua anak-anak di desa itu mati? Lalu mengapa bisa arwah Wati dan Jin Ummu kembali ke desa dalam rupa seorang guru?

Inilah khasnya film horor Indonesia, setelah berlalunya era Suzanna. Bila dulu kita tahu hal ihwal seseorang menjadi hantu dan motifnya mengapa balas dendam. Film-film horor sekarang semakin jauh dari cerita yang masuk nalar. Itulah satu-satunya kelemahan film Waktu Maghrib. Jalan ceritanya tak masuk akal. Pun demikian, sebagai sebuah film, Waktu Maghrib berhasil mendulang penonton dalam jumlah sangat banyak. 1 juta penonton. Masih terlalu banyak orang yang menggemari tontonan tanpa perlu bertanya lebih jauh. Mungkin inilah yang menyebabkan orang-orang di Indonesia musah sekali terpapar hoax.

Artikel SebelumnyaRUPS Tahun Buku 2022, Bank Aceh Setor Dividen 295 Miliar
Artikel SelanjutnyaNurmaziah Pimpin Penilaian Desa Gammawar di Pirak Timu
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here