Pulanglah, Nikmati Makmeugang Bersama Ibu & Ayah

makmeugang
Warga memadati pasar untuk berbelanja kebutuhan perayaan Meugang Akbar Ramadan 1439 Hijriah di Pasar Inpres Lhokseumawe, Aceh, 16 Mei 2018. Hari Meugang dirayakan tiga kali dalam setahun, yaitu pada Ramadan, Hari Raya Idulfitri dan Iduladha. ANTARA/Rahmad.

Makmeugang merupakan hadiah bagi orang Aceh yang diciptakan oleh Sultan Iskandar Muda. Di dalam tradisi Aceh, makmeugang memiliki arti sangat besar.

Makmeugang merupakan tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga. Pada hari makmeugang yang digelar satu hari sebelum puasa Ramadan, dan satu hari sebelum Lebaran, para ibu sibuk di dapur dari Subuh hingga sore. Mereka memasak berbagai makanan yang berbahan baku daging.

Para ayah satu minggu sebelum makmeugang tiba, akan bekerja keras mencari uang, demi membawa pulang daging lembu atau kerbau kepada keluarga. Bagi lelaki Aceh yang telah menikah, bila tidak mampu membeli daging makmeugang, maka kelelakiannya turun grade.

Baca: Hal Unik di Aceh Selama Ramadan

Bila para ayah bekerja keras mencari uang supaya dapat membeli daging, maka kaum ibu mempersiapkan berbagai kebutuhan. Seperti membuat u neulheu (kelapa gongseng yang dihaluskan), dan segala bumbu lainnya yang kaya rempah.

Makmeugang dan Kisah Pilu

Di masa lalu, makmeugang selalu menyisakan kisah-kisah penuh cucuran air mata. Pada era 70-an, dikisahkan seorang lelaki berusia 40 tahun, mati dikeroyok oleh warga di sebuah kampung, karena tertangkap mencuri.

Lelaki tersebut bersimbah darah di depan sebuah rumah warga, terkena pukulan kayu pengganjal pintu, tatkala mencoba melarikan diri dari kejaran warga yang marah.

Lelaki itu memang seringkali mencuri. Ia spesialis pembobol rumah warga. Tapi alasan ia mencuri malam itu membuat warga menyesal seumur hidup. Pria beranak empat itu kebingungan mencari uang untuk kebutuhan makmeugang puasa.

Ia lelaki miskin. Berpendidikan rendah. Keluarganya secara turun temurun mewariskan kemiskinan. Anak-anak si lelaki juga tidak ada yang bersekolah. Ia dan istrinya tinggal di sebuah rumah buruk di kampung udik.

Dua hari sebelum Ramadan, si pria tidak kunjung mendapatkan uang. Sedangkan anak-anaknya sudah mulai bertanya apakah makmeugang kali ini mereka bisa makan daging lembu?

Dia telah berusaha mencari pinjaman ke sana kemari. Tapi siapa yang percaya kepada pria miskin yang kerap mencuri di rumah warga. Ia pulang ke rumah dengan tangan hampa.

Satu malam jelang makmeugang, dia memutuskan keluar rumah pada dinihari. Tatkala istri dan anak-anaknya tidur pulas dengan perut keroncongan, ia menerobos malam. Target telah ditentukan.

Akan tetapi untung tak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Ia dipergoki pemilik rumah saat sedang membuka lemari. Si pemilik berteriak minta tolong. Lelaki itu panik.

Ia lari melalui jendela belakang. Tapi kali ini dia tidak beruntung. Banyak lelaki yang tidak tidur malam itu. Dia pun diuber massa.

Mungkin maksud warga hendak memberinya pelajaran. Tapi ia dipukul dengan kayu sebesar lengan orang dewasa. Ia ambruk. Kepalanya mengeluarkan darah. Pria itu meninggal tatkala dilarikan ke puskesmas.

Kisah lainnya, seorang janda beranak lima, pontang-panting bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang berpunya. Setiap rupiah yang ia kumpulkan, disimpan untuk untuk anak-anaknya.

Ia janda ditinggal mati oleh suaminya yang penyayang. Sebelum suaminya meninggal, ia tidak pernah bekerja di luar rumah.

Saat mereka sedang menyusun rencana membangun rumah kecil yang lebih baik dari gubuk yang mereka huni, suaminya dipanggil pulang ke haribaan Ilahi.

Hari-hari setelah itu ia lalui dengan kerja keras. Karena suaminya tidak meninggalkan harta selain tanah tempat tapak rumah, si ibu pun harus menjadi tenaga upahan.

Tinggal di desa yang rata-rata warganya petani, sungguh tidak menguntungkan dirinya. Terlalu tinggi persaingan untuk mendapatkan pekerjaan.Dengan demikian, ia harus pandai-pandai mengelola keuangan.

Tapi uang apa yang mau dikelola? Pemasukannya sangat kecil. Membiaya anak lima orang yang masih kecil, bukan perkara mudah.

Beban paling berat baginya tatkala jelang makmeugang dan Lebaran. Ia harus dapat membeli daging dan baju baru. Cita-citanya terlalu besar untuk itu, seringkali ia gagal.

Tiap makmeugang tiba, ia memaksa anak-anaknya supaya tidak bermain-main ke rumah teman. Mereka diwajibkan tinggal di rumah. Makan apa yang ada. Yang ada biasanya hanya ikan pindang dan nasi dengan sayur rebus.

Ibu tersebut meninggal dunia pada usia 45 tahun. Ia tidak sempat memberikan “hal istimewa” kepada putra-putrinya. Anak-anaknya tumbuh sebagai yatim-piatu di usia yang belum matang.

Suatu hari anaknya yang tertua pernah berkisah bila hal yang paling ia rindukan yaitu mendapatkan kesempatan menikmati makmeugang bersama ibu. Itulah kesempatan yang tidak pernah ia miliki.

Setiap makmeugang tiba, ia selalu bercucuran air mata. Mengenang kisah hidupnya bersama ibu setelah ayahnya meninggal.

“Aku iri kepada teman-teman yang lain. Tuhan terlalu cepat memanggil pulang ayah dan ibuku. Aku tidak terlalu bersedih kala ayah pergi ke alam barzah. Kala itu aku belum benar-benar paham apa artinya kehilangan. Tapi tatkala ibu meninggal, aku hancur sehancur-hancurnya. Aku merantau setelah ibu pergi. Meninggalkan adik-adik yang belum sepenuhnya mandiri.

Aku sayang kepada adik-adikku. Setiap uang yang kudapatkan di rantau, kukirimkan kepada mereka. kubelikan baju baru, kusuruh beli daging makmeugang. Dan mereka kusuruh sekolah. Kukorbankan masa mudaku, demi satu mimpi. Dari sana, ibu setidaknya bangga kepadaku. Bahwa aku telah mampu menjadi pengganti ayah. Itulah mengapa aku terlambat menikah.” katanya dengan mata basah.

Pulanglah Selagi Sempat

Sahabat, bagi siapa saja yang masih memiliki orangtua, bila ada momen penting seperti makmeugang, pulanglah. Terlalu banyak orang yang tidak lagi punya kesempatan untuk bertemu ayah dan ibu. Rasa-rasanya, sebanyak apa pun uang, tidak akan lagi berharga, andaikan di masa ayah dan ibu masih hidup, kita tidak memprioritaskan mereka.

Semua orang sibuk. Kesibukan tidak pernah berhenti sampai kita sakit dan mati. Selagi ada waktu dan kesempatan, pulanglah. Percayalah, tatkala kamu pulang, ibu yang sudah renta, akan berbinar wajahnya. Bila anak-anaknya pulang, pasti ibu akan dengan sangat gembira memasak di dapur.

Demikian juga ayah, bila anaknya pulang di hari makmeugang, ia akan sangat bangga membeli daging terbaik. Bila ada yang bertanya mengapa ia beli daging dalam jumlah lebih banyak dari biasanya, pasti dia akan jawab “Anak-anakku pulang. Kamu kan tahu mereka suka sekali makan rendang hasil olahan istriku. Kalau anak-anakku pulang, mana mungkin cukup sekilo daging.”

Tatkala ayah menjawab pertanyaan temannya, wajahnya berbinar. Apalagi bila kamu turut membekalinya uang tatkala ia menuju tempat penjualan daging.

Bagi yang jauh dan belum sempat pulang, telepon mereka. Kabari keadaannmu. Bila ada, kirimkan mereka uang secukupnya. Kabari juga mereka bila Lebaran ini kamu akan pulang ke rumah, tempat kamu dilahirkan dan dibesarkan.

Artikel SebelumnyaContoh 3 Whatsapp yang Tidak Dibalas Dosen
Artikel SelanjutnyaPIKABAS Salurkan Bantuan Paket Sembako
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here