PSPU Jangka & Sisa-Sisa Kejayaan yang Tak Mau Padam

PSPU Jangka & Sisa-Sisa Kejayaan yang Tak Mau Padam
Pemain PSPU Jangka dan Aceh Legend berfoto bersama sebelum laga persahabatan di Stadion H. Dimurthala pada Minggu (4/5/2025) sore. Foto: Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Seandainya saya bukan orang yang percaya bahwa sepakbola tak pernah mengenal usia, mungkin saya akan tertawa ketika tahu sekelompok pemain “tua-tua keladi” dari Jangka bisa mengobrak-abrik lini pertahanan Aceh Legend di Stadion H. Dimurthala pada Minggu (4/5/2025) sore lalu. 

Tapi lapangan hijau, tak pernah berbohong. Di sana tak ada masa lalu yang ditinggalkan, hanya cerita yang terus berulang—dan PSPU Jangka menuliskan satu babak penting lainnya di Banda Aceh.

Mereka datang dari pesisir Selat Malaka dengan wajah-wajah yang tak asing bagi pecinta bola lokal. Efendi Ibrahim, sang maestro tengah yang sudah lama tidak kita dengar kabarnya, tiba-tiba kembali jadi pusat sorotan. 

Ia tak sendiri. Ada Zulfiandi Cole, Ibnu Asyir, M. Nasir, Zikri Akbar, dan sekumpulan nama yang dulu kita kenal lewat jersey Persiraja, Persita, hingga timnas usia muda. Mereka datang bukan untuk sekadar reuni, tapi membuktikan bahwa gairah sepakbola di dada belum pernah benar-benar padam.

Sejak peluit dibunyikan, PSPU Jangka seperti tak ingin memberi ruang bernapas pada para legenda dari Aceh. Bola mereka kuasai seolah dunia masih berputar dalam irama tiki-taka ala pesisir utara. 

Statistik menunjukkan 73 persen penguasaan bola milik mereka, tapi mata tak butuh angka untuk tahu siapa yang lebih dominan hari itu. 

Hanya butuh lima belas menit untuk Ibnu Asyir—si pengusaha madu dari Jangka yang ternyata masih menyimpan manisnya tendangan jarak jauh—membuka keunggulan lewat gol cantik dari luar kotak penalti. 

Tak lama berselang, giliran Nanda Lubis yang menyambar peluang dan menggandakan kedudukan. PSPU seperti sedang menari, dan setiap operan mereka menjadi melodi yang menghibur beberapa kolega di tribun.

Tapi sepakbola, seperti hidup, tak pernah berjalan dalam satu garis lurus. Aceh Legend masih punya nyali, dan Abdul Musawir menjadi pengingat akan masa-masa indahnya dulu dengan golnya yang memperkecil ketinggalan sebelum jeda. 

Baca juga: Galacticos FC Tantang PSPU Jangka di Laga Pembuka 8 Besar

Skor 2-1 tak sekadar angka—ia menjadi jembatan emosi menuju babak kedua yang jauh lebih liar.

Jika ada yang meragukan apakah pertandingan persahabatan bisa tetap menyajikan tensi, maka duel lini tengah di babak kedua menjadi jawabannya. Di satu sisi, PSPU mengandalkan kombinasi Efendi Ibrahim, Zulfiandi Cole, dan M. Nasir. Di sisi lain, Aceh Legend mengadu Wahyu AW, Mukhlis Nakata, Ade Dzulfadli, dan Husaini Ibrahim. 

Bagi saya, itu bukan sekadar barisan pemain—itu adalah parade sejarah yang hidup kembali dalam 45 menit.

Zikri Akbar di kiri dan Ibnu Asyir di kanan terus menekan, seakan kaki mereka belum lelah menempuh ribuan menit pertandingan di masa lalu. Tapi bukan hanya serangan yang membuat PSPU istimewa. 

Kokohnya Irwan Ilyas, Agus Setiawan, dan Cek Bustami di jantung pertahanan menjadi fondasi dari semua kemegahan itu. Mereka bukan hanya menghentikan laju Zikra, Musawir, atau Faisal Jalil—mereka membungkam keraguan bahwa usia bisa menjadi penghalang bagi ketangguhan.

Pertengahan babak kedua, giliran Zulfiandi Cole mencatatkan namanya di papan skor. Tendangan kerasnya mengoyak jala Aceh Legend seperti ingin menegaskan bahwa ia belum selesai di lapangan ini. 

Tapi Mukhlis Nakata, legenda hidup Persiraja, membalas dengan gol yang mengingatkan semua orang mengapa ia dulu dielu-elukan di stadion yang sama. Skor menjadi 3-2 dan untuk sesaat, waktu terasa mundur ke era kejayaan masing-masing.

Namun, seperti kisah klasik yang selalu disudahi oleh sang protagonis, PSPU kembali unjuk taring dua menit sebelum waktu habis. M. Nasir Jangka, yang pernah merumput bersama Persikabo Bogor, menjadi penentu akhir dengan gol penutup yang membawa keunggulan 4-2 tak berubah hingga peluit panjang berbunyi. 

Di bangku cadangan, pelatih Nasir Pawang mungkin tersenyum lebar, seperti seseorang yang tahu bahwa apa yang ia bangun dari dulu belum sia-sia.

PSPU Jangka bukan klub profesional dengan dengan sejarah mentereng. Mereka bukan tim media darling yang diberitakan saban pekan. Tapi mereka punya sesuatu yang sulit dicari hari ini: jiwa. 

Klub ini tidak pernah kehabisan cerita, tidak pernah lelah melahirkan nama-nama baru, dan yang lebih penting—mereka tak pernah berhenti percaya bahwa sepakbola bukan soal menang kalah semata, melainkan tentang semangat untuk terus hidup di dalamnya, bahkan setelah rambut memutih dan langkah tak lagi secepat dulu.

Di sore yang cerah di Lampineung itu, saya menyaksikan lebih dari sekadar pertandingan persahabatan. Saya melihat sekelompok legenda yang menolak dilupakan, sekelompok pemain yang masih menari di atas lapangan, dan sekelompok orang yang percaya bahwa cinta kepada sepakbola tidak mengenal waktu.

Artikel SebelumnyaBerapa Panjang Mr P Orang Aceh?
Artikel SelanjutnyaAndi HS: Golkar Aceh Siap Akomodir Semua Kader di Musda
Rahmad Bugak
Peminat isu olahraga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here