Politik Mie Kureng; Hikayat Uleu ke Hikayat Musang

mie kureng
Ilustrasi. Disitat dari Freepik.com

Politik mie kureng bertumbuh subur karena partai politik tidak mau menyajikan peserta pemilu yang ideal. Akhirnya, ketimbang buta lebih baik juleng.

Lam geureupoh manok ji peulheuh musang, lam gara pisang jipeulheuh tupee

Wate kampanye that teuga jipeeh canang, meunyo jadeh meunang rakyat seujahtera.

Oh kajeut teupileh keu pak dewan, meubu saboh pingan han jipeutaba

Begitulah kira-kira sebuah ungkapan hadi maja dan celoteh seorang kawan di media sosial.

Dalam syair (syahi panyang) seudati juga kita sering mendengar syair kira-kira begini.

Paleh mie kureng jitunggeng dapue, paleh mie ulue jilisi bara.

Sebuah majas personifikasi dan penggambaran karakter manusia melalui bintang sering muncul melalui cerita-cerita rakyat (haba jameun), baik yang tersebar secara informal turun-temurun, maupun yang dibuat secara sengaja lewat hadih maja, pantun, hikayat, maupun berbagai media lain.

Berbagai satwa karismatik seperti uleu, musang, rimung, gajah, peulandok, cage, mie-ong, anjing dan babi, sering menjadi bentuk populer antropomorfisasi di Aceh.

Antropomorfis–penggambaran karakter manusia melalui binatang– paling banyak diproduksi dalam hikayat di Aceh,  seperti hikayat Kisason Hiyawan (kisah dunia binatang), Hikayat Gajah Tujoh Ulee, Hikayat Peulandouk Pancee, dan lain-lain.

Baca: Mië Agam Sabotase Partai Aceh?

Konsep mie kureng dapat dilihat dari berbagai sudut pandang oleh pemilih terutama pemilih pemula. Ada anggapan bahwa konsep ini sebagai strategi pragmatis untuk menghindari kondisi yang lebih buruk.

Misalnya, jika ada dua calon gubernur atau bupati yang sama-sama korupsi, maka pemilih mungkin akan memilih calon yang korupsinya lebih sedikit atau lebih tersembunyi. Contohnya ada dua mie kureng dalam karung yang sama-sama loreng, yang satu brat kureng, yang satu lagi agak kureung bacut, maka akan dipilih yang mie yang kureung bacut kureng jih.

Banyak juga yang menganggap konsep ini sebagai bentuk kompromi politik terhadap keragaman pandangan politik. Misalnya, jika ada dua calon gubernur atau bupati yang sama-sama memiliki visi pembangunan yang berbeda, maka pemilih mungkin akan memilih calon yang visinya lebih dekat dengan kepentingan umum atau kelompoknya.

Tidak sedikit pula yang mengkritik konsep ini sebagai bentuk pesimisme, apatisme, atau bahkan pengkhianatan terhadap prinsip dan nilai-nilai demokrasi.

Misalnya, jika ada dua calon gubernur yang sama-sama tidak kompeten, tidak jujur, atau otoriter atau bertipe driven (peusak h’op droe), maka pemilih mungkin akan merasa tidak ada pilihan yang layak dan memutuskan untuk golput atau tidak menggunakan hak suaranya pada hari pencoblosan.

Bagaimanapun juga, konsep “mie kureng” tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan kualitas dan integritas calon yang akan dipilih.

Pemilih harus tetap kritis dan selektif dalam menilai latar belakang, visi, misi, program, dan rekam jejak calon yang akan di-rus’yok dengan labang pada kertas suara nantinya.

Kita semua mengerti bahwa konsep “mie kureng” mungkin berasal dari rasa kekecewaan, atau mosi tidak percaya terhadap calon-calon pemimpin yang ada. Kita juga menghargai bahwa konsep ini mungkin merupakan cara untuk menghindari hasil yang lebih buruk atau lebih jahat bagi bangsa dan negara.

Namun, saya juga merasa bahwa konsep “mie kureng” memiliki beberapa kelemahan dan bahaya. Pertama, konsep ini dapat menurunkan standar dan kriteria dalam menilai calon-calon pemimpin di Aceh sebuah negeri yang menerapkan syari’at Islam.

Pemilih mungkin akan puas dengan calon yang tidak berkualitas tanpa mempertimbangkan visi, misi, program, dan rekam jejaknya secara menyeluruh.

Kedua, konsep ini dapat menimbulkan sikap pasif, apatis, atau fatalistik terhadap politik. Pemilih mungkin akan merasa putoh asa terhadap perubahan dari pemimpin yang dipilih.

Ketiga, konsep ini dapat mengabaikan hakikat demokrasi sebagai sistem yang memberikan kebebasan, kesempatan, dan tanggung jawab kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri.

Pemilih mungkin akan lupa bahwa mereka memiliki hak untuk menuntut dan mengawasi kinerja pemimpin yang dipilih, serta untuk mengganti mereka jika tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.

Atau hanya sekedar hikayat uleu atau hikayat musang tanpa ada perubahan berarti, anak-anak tetap ke negeri seberang mengadu nasibnya yang tidak menentu di Nanggroe, dan yang tinggal dalam nanggroe sibuk dengan isu yang tidak penting “sikit-sikit viral’ karena hana but laen.

Artikel SebelumnyaKominfo Rancang 6 Strategi Jitu Redam Penyebaran Judi Online
Artikel SelanjutnyaKominfo Ancam Takedown 21 Jasa Pembayaran Terlibat Judi Online
Zulfadli Kawom
Seniman, aktivis kebudayaan, Mekanik di Malaysia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here