Pertanyaan-Pertanyaan Ilusi di Tengah Bencana

Paradoks Ganja dan Jalan Terbuka Energi Terbarukan Pertanyaan-Pertanyaan Ilusi di Tengah Bencana
Afrizal Akmal (Akmal Senja), Inisiator Konservasi Hutan Wakaf. Foto: HO for Komparatif.ID.

Di tengah bencana alam—ketika tanah berguncang, air mengamuk, angin menampar rumah-rumah seperti kertas basah—manusia sering merasa perlu mengajukan pertanyaan yang, pada akhirnya, lebih menyerupai gema dari keputusasaan ketimbang pencarian makna.

Mengapa begini? Mengapa begitu? Seolah alam, yang tak pernah bersekolah dalam logika manusia, wajib memberi penjelasan. Seolah ia duduk di sebuah meja panjang, menunggu sidang untuk dimintai pertanggungjawaban.

Padahal, pertanyaan itu lebih mirip ilusi: upaya kecil kita untuk memberi batas pada sesuatu yang tak pernah mengenal batas.

Di kampung-kampung yang baru saja disapu banjir, orang-orang memandang ke puing, ke aliran lumpur yang masih berbau batang pisang dan solar, dan di sana, di antara reruntuhan, muncul gagasan bahwa segala peristiwa adalah pesan.

Bagi sebagian orang, bencana adalah teguran. Bagi yang lain, tanda perubahan. Sementara sebagian lain masih mencari-cari siapa yang harus disalahkan—pemerintah, tetangga, atau diri sendiri.

Dan ketika itu tak memuaskan, mereka beralih ke pertanyaan yang tampak lebih filosofis: Mengapa ini terjadi? Mengapa kepada kita?

Tapi apa yang sebenarnya kita cari ketika bencana datang? Penjelasan atau penghiburan?

Baca juga: Kerugian Banjir di Bireuen Capai Rp1 Triliun, Akses Jalan Masih Lumpuh

Kadang, pertanyaan-pertanyaan ilusi itu lahir bukan dari kebutuhan untuk memahami alam, melainkan untuk menata ulang perasaan kita—agar kehancuran yang telanjang itu terlihat sedikit lebih dapat diprediksi. Agar derita bisa disulap menjadi narasi rapi dengan sebab dan akibat, seperti cerita pendek dalam majalah kebudayaan. Kita tahu, tentu, dunia tak bekerja seperti itu. Tapi manusia tetap membutuhkan cerita untuk mengeraskan pijakan ketika tanah di bawah kaki sudah lebih dulu ambruk.

Bencana alam, bagi manusia modern, adalah paradoks. Di satu sisi, kita membayangkan diri sebagai makhluk rasional yang memiliki data satelit, grafik cuaca, dan perhitungan seismik. Di sisi lain, ketika sungai meluap atau tanah longsor merenggut seseorang yang kita cintai, kita kembali menjadi anak kecil yang bertanya kepada pohon tua di halaman: Kenapa?

Pertanyaan itu meluncur bukan untuk dijawab. Ia hanya ingin ditemani.

Mungkin benar bahwa bahasa, pada akhirnya, adalah cara manusia menenangkan dirinya. Kita menamai luka agar ia tak lagi menakutkan. Kita menamai angin—puting beliung, siklon—agar ia terasa lebih jinak. Namun menamai tak selalu berarti memahami. Di hadapan bencana, bahasa sering hanya perban tipis yang kita lilitkan di atas sesuatu yang jauh lebih dalam dan tak tersentuh.

Mungkin itulah sebabnya pertanyaan “mengapa begini, mengapa begitu” menjadi ilusi. Ia memberi kesan bahwa ada pusat kendali, ada alasan tersembunyi, ada sesuatu yang dapat dinegosiasikan. Padahal bencana bukan musuh yang bisa diajak berdiskusi. Ia tak punya maksud, sebagaimana hujan tak punya dendam dan tanah tak punya rencana rahasia.

Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang tak seluruhnya sia-sia.

Ilusi—betapapun rentannya—kadang menjadi jembatan kecil agar manusia dapat melanjutkan langkah. Dalam ilusi itu, kita menemukan ruang untuk berkumpul, untuk saling meminjamkan kekuatan. Kita meraba jawaban yang tak pernah final, namun dalam prosesnya kita membentuk solidaritas, humor pahit, atau sekadar kehangatan kecil yang membuat satu hari lagi terasa mungkin.

Mungkin, pada akhirnya, yang penting bukan mencari jawaban dari alam yang bisu. Yang penting adalah bagaimana manusia, di antara puing, mampu menyusun ulang dirinya. Bertanya, meski sia-sia, adalah bagian dari itu. Sebuah ritual kecil agar dunia, yang mendadak liar, kembali terasa dapat kita tempati.

Bencana memang tak butuh alasan. Tapi manusia butuh cara untuk tetap berdiri. Dan dalam usaha itulah pertanyaan-pertanyaan ilusi itu menemukan tempatnya—sebagai nyala kecil di tengah kegelapan yang besar.

Artikel SebelumnyaPolri Kirim 2,5 Ton Logistik & Ransum Untuk Korban Banjir Aceh
Artikel SelanjutnyaCamat Pimpin Distribusi Logistik ke Gampong Terisolir di Kecamatan Juli

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here