Perokok & Rasa Malu

rasa malu
Muazzinah Yacob. Foto: Doc pribadi

Jika mentalmu tidak sekuat baja jangan pernah “sadarkan” perokok. Mereka selalu punya alibi untuk berkata “kenapa pemerintah ga tutup pabriknya?, banyak yang ga merokok tetap miskin dan sakit-sakitan!, banyak yang ga merokok ga sayang istri dan anak juga!, dan sebagainya”. Sayangnya mereka ga pernah berdalih bahwa “biarkan kami merokok karena susah berhenti tapi tetap menghargai dan punya rasa malu kepada orang lain”.

Maka dengan pembelaan ini wajib kita ajukan pertanyaan “masih punya rasa malu kah?” Mereka membela diri untuk memperkaya industri rokok tanpa sayang terhadap diri sendiri, keluarga dan lingkungan.

Menghargai orang lain dan punya rasa malu sebenarnya sangat penting untuk menunjukkan ciri sebagai warga yang peradabannya tinggi, salah satunya menghargai orang lain di ruang publik tentunya. Maka munculnya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai wujud untuk membagi ruang kepada masyarakat yang sama-sama punya hak. Perokok merasa punya hak untuk merokok di mana saja, non-perokok punya hak untuk ruang sehat dan bersih. Namun perokok selalu merasa sebagai warga superior yang jumlahnya ramai dan meningkatkan pendapatan negara sehingga mengatakan bahwa non-perokok tidak usah hadir ke ruang publik. KTR padahal mendidik warga untuk lebih menghargai diri sendiri dan orang lain, padahal yang paling penting adalah menekan perokok pemula. Perlu kita ketahui jumlah perokok pemula di Indonesia juara dua dengan jumlah perokok anak terbanyak di dunia (cnnindonesia,2023).

Rasa Malu kepada Keluarga

Sering kita jumpai, kadang seorang ayah lebih mampu membeli rokok daripada membeli bahan pokok kebutuhan keluarga. Menurut survei BPS, rata-rata pengeluaran per kapita orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke selama sebulan adalah sebesar Rp 1.225.685. Data pengeluaran tersebut berasal dari Susenas 2020. Yang menarik, pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau lainnya lebih besar daripada belanja untuk makanan pokok, dalam hal ini beras. BPS mencatat, pengeluaran rokok dan tembakau sebesar 5,99 persen dari seluruh pengeluaran bulanan. Sementara untuk belanja beras yakni sebesar 5,45 persen (kompas, 2021).

Hal demikian jelas menunjukkan bahwa rasa malu kepada keluarga tidak berapa penting karena keluarga tetap menerimanya dengan kondisi apapun. Padahal secara tidak langsung “mengambil” hak tumbuh kembang anak dan keluarga. Selain itu, terdapat juga ayah yang menyuruh anak membeli rokok. Padahal secara tidak langsung memberikan edukasi kepada anak. Alam bawah sadarnya akan merekam atau mengetahui tentang tempat membeli rokok, harga rokok dan jenis rokok. Maka bisa dipastikan suatu saat si anak juga akan mengetahui rasa rokok karena meniru orang tuanya.

Tulisan ini bisa jadi bias karena seolah ditujukan ke kaum adam. Karena memang perokok kaum adam lebih banyak. Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2021 ditemukan bahwa perokok laki-laki di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Begitu juga di Aceh terdapat sekitar 1 juta lebih atau 20% dari total 5,2 juta jiwa penduduk Aceh adalah perokok berat, dan rata-rata adalah lelaki.

Baca juga: Muazzinah Yakob Dilantik Sebagai Ketua Prodi IAN UIN Ar-Raniry

Rasa Malu terhadap Lingkungan

Jika perokok di Aceh sekitar 1 juta lebih maka jumlah sampah puntung rokok juga 1 juta lebih. Data dari The Ocean Conservancy yang setiap tahun mensponsori International Coastal Cleanup (ICC), kegiatan bersih-bersih badan air di seluruh dunia. Sampah terbanyak yang dikumpulkan saat ICC setiap tahun adalah puntung rokok. Dalam 25 tahun terakhir, relawan ICC mengumpulkan sekitar 53 juta puntung rokok (viva.co.id, 2019)

Sering juga kita jumpai perokok kerap membuang puntung rokok sembarangan. Mereka memiliki mazhab asbak rokok seluas lantai/tanah mereka berpijak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kebiasaan membuang puntung rokok sembarangan dilakukan oleh jutaan orang. Setidaknya dua pertiga puntung rokok ditemukan berserakan di trotoar atau selokan, dan akhirnya berujung di lautan. Padahal, limbah puntung rokok tergolong limbah berbahaya dan beracun, setara dengan limbah pabrik dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup manusia.

Selain itu perokok juga tidak memiliki perasaan untuk meringankan pekerjaan orang lain, misal ketika berada di warung kopi, perokok membuang puntung rokok sembarangan, maka pengelola warkop akan bertambah pekerjaan untuk membersihkannya atas buruknya prilaku membuang sampah sembarangan.

Akhir kalam. Semoga puasa menjadi momentum bagi perokok untuk lebih menghargai dan punya rasa malu terhadap hak orang lain. Pada dasarnya perokok adalah korban industri rokok. Industri rokok menjadi kaya atas tidak sadarnya perubahan perilaku perokok.

Muazzinah, MPA
Direktur Aceh Institute/ Kaprodi IAN-FISIP UIN Ar Raniry

Artikel Sebelumnya1 Tahun yang Indah Bersama Komparatif.ID
Artikel SelanjutnyaTerima Bonus dari KONI Bireuen, Diana Hasnah Beli Motor
Muazzinah Yacob
Direktur The Aceh Institute (AI) | Kaprodi Ilmu Administrasi Negara (IAN) FISIP UIN Ar-Raniry | Ketua Indonesian Association for Public Administration (IAPA) Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here