Komparatif.ID, Banda Aceh— Tindakan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, membongkar billboard raksasa milik PT Multigrando di kawasan Simpang Lima pada Minggu dini hari, (7/9/2025) menuai polemik.
Pihak perusahaan periklanan asal Medan itu menyatakan keberatan dan berencana menempuh jalur hukum karena menganggap pembongkaran yang dilakukan Wali Kota Banda Aceh itu menyalahi aturan yang berlaku.
Direktur Utama PT Multigrando, Simson Tambunan, menyebut perusahaannya telah memenuhi semua kewajiban pajak dan perjanjian resmi yang berlaku hingga Mei 2026. Menurutnya, langkah pembongkaran justru merugikan perusahaan, baik secara materi maupun nonmateri.
“Kami hanya berharap hak kami sebagai penyewa, yang masih berlaku sampai Mei 2026, bisa dihormati,” ujar Simson kepada wartawan di Banda Aceh, Minggu, (7/9/2025).
Ia menjelaskan polemik ini bermula dari surat Pemko Banda Aceh yang menyebut papan reklame tidak memiliki izin. Namun klaim tersebut dibantah dengan alasan bahwa seluruh prosedur perizinan sudah dilengkapi sejak awal pembangunan.
Pengusaha Medan itu menegaskan PT Multigrando tetap mendukung program penataan kota, tetapi menginginkan transparansi serta win-win solutions.
“Kalau memang master plan itu harus dilaksanakan, tolong dijelaskan secara tertulis,” tambahnya.
Baca juga: Wali Kota Banda Aceh Bongkar Baliho Ilegal Tanpa Izin
Simon mengatakan sejak 2005 perusahaannya konsisten membayar pajak daerah dan sewa titik reklame sesuai peraturan yang berlaku. Untuk titik di Simpang Lima, kontribusi mereka terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dilaporkan mencapai Rp252 juta per tahun.

Karena tidak ada kejelasan dari Pemko, Simson membuka opsi membawa persoalan ini ke pengadilan. “Kami sudah coba komunikasikan secara persuasif, namun tidak ada kepastian. Maka langkah berikutnya, mungkin kami akan tempuh jalur hukum ke pengadilan,” katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Pemko Banda Aceh, Tommy Mukhtar, menjelaskan tindakan pembongkaran dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku. Ia merinci sejumlah alasan, di antaranya mengacu pada Surat Perjanjian Kerja (SPK) tahun 2006 yang menyebut pihak penyewa wajib membongkar papan reklame apabila tidak sesuai lagi dengan perencanaan kota atau master plan.
Selain itu, Tommy menegaskan bahwa pemilik reklame hanya memiliki rekomendasi yang harus diperbarui setiap tahun, tetapi hal tersebut tidak dilakukan.
Tommy juga menyebut peraturan nasional melarang pemasangan billboard melintang jalan sesuai Pasal 18 ayat 3 Permen PU Nomor 20/PRT/M/2010. Lebih lanjut, ia menegaskan pembayaran sewa titik reklame bukan berarti izin pendirian billboard.
Menurut Pemko, izin reklame PT Multigrando telah berakhir sejak April 2025 dan tidak diperpanjang karena sedang dilakukan penataan kembali keberadaan reklame di Banda Aceh. Pemko juga menyinggung adanya tunggakan pajak reklame sebesar Rp87 juta sejak Mei hingga September 2025.
Sebelum penertiban, Tomy menjelaskan Pemko Banda Aceh sudah beberapa kali menyurati pemilik agar melakukan pembongkaran mandiri, bahkan menawarkan lokasi pengganti yang sesuai hasil pendataan.
Namun kata Tomy surat-surat tersebut karena tidak diindahkan, tim gabungan Satpol PP bersama TNI/Polri lalu turun langsung bersama Wali Kota Banda Aceh untuk menertibkan reklame raksasa mmilik pengusaha Medan itu.
Pembongkaran itu dipimpin langsung Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal. Proses berlangsung hingga dini hari dengan mengerahkan dua unit crane dan perangkat pemotong besi.
Billboard raksasa yang berdiri selama lebih dari lima tahun itu akhirnya dipotong secara bertahap untuk menjaga keamanan serta mencegah kerusakan fasilitas sekitar.
Sebelum penertiban, pihak perusahaan sempat memasang spanduk bertuliskan penolakan pembongkaran dengan klaim memiliki izin berlaku hingga Juni 2026. Namun spanduk itu sudah tidak terlihat saat tim melakukan pemotongan.
> pajak reklame sebesar Rp87 juta sejak Mei hingga September 2025
bukannya pajak dibayar per tahun?. curiga, ini memang akal2an, dan ada dugaan seperti issue/rumor “pemain baru” beberapa bulan yang lalu.