Komparatif.ID, Banda Aceh–Penanganan pengungsi seperti Rohingnya yang sering terdampar di Aceh, bukan semata urusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Persoalan refugee merupakan tanggung jawab semua orang yang memiliki rasa kemanusiaan.
Manajer Program Yayasan Geutanyoe Teungku Nasruddin, Senin (20/6/2022) menyebutkan, penanganan refugee merupakan urusan kemanusiaan yang universal. Melintasi batas iman, negara, maupun ideologi politik.
Dalam rangka peringatan World Refugee Day (Peringatan Hari Pengungsi Internasional) setiap 20 Juni, Nasruddin mengajak semua orang merenung sejenak, mengenang betapa sulitnya kehidupan pelarian, konon lagi yang harus melarikan diri ke luar negeri.
“Andaikan tersedia pilihan, tidak ada yang mau menjadi pelarian. Tapi banyak yang tidak punya pilihan,” kata Nasruddin.
World Refugee Day diperingati untuk menunjukkan rasa hormat pada mereka yang berstatus sebagai pengungsi. Mengacu pada tema tahun tahun ini “Whoever, whatever, whenever. Everyone has the right to seek safety” (Siapapun, apa pun, Kapanpun. Setiap orang berhak untuk mencari keselamatan).
“Kami ingin menegaskan bahwa memberikan perlindungan dan pelayanan bagi perwujudan pemenuhan hak-hak refugee adalah tanggung jawab kita bersama. Jika pun tidak secara hukum, kita semua setidaknya memiliki panggilan moral kemanusiaan untuk bersama-sama menunjukkan kepedulian atas upaya pemenuhan terhadap hak-hak pengungsi, entah dari latar bangsa apa dan agama manapun mereka berasal,” sebutnya.
Ia menerangkan, pemenuhan hak-hak pengungsi tidak hanya menjadi tanggung jawab badan-badan khusus PBB yang ditunjuk untuk itu, dan lembaga-lembaga masyarakat sipil (OMS) di tingkat internasional dan Tanah Air yang bekerja pada isu tersebut.
“Juga menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun daerah. Tanggung jawab itu tentunya juga tidak terkecuali bagi masyarakat tuan rumah, seperti halnya di Aceh, yang kerap menerima kehadiran pengungsi di tempat mereka.”
Walaupun belum menjadi bagian dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun Indonesia setidaknya telah meratifikasi Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga menjadi dasar bagi tanggung jawab semua orang dalam pemenuhan hak-hak pengungsi.
Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh rakyat mendorong komitmen yang lebih kuat untuk aksi kemanusiaan bagi pemenuhan hak-hak pengungsi, agar ke depan dapat berjalan melalui regulasi-regulasi yang relevan dalam mengatur hal itu.
Khususnya di Aceh, bagian dari Indonesia yang selama ini kerap menerima kedatangan pengungsi etnis Rohingya yang terdampar ketika melintasi perairan Selat Malaka, ketersediaan regulasi di tingkat Pemerintahan Provinsi Aceh dalam bentuk Qanun Aceh menjadi kebutuhan yang bersifat segera. Hal tersebut demi maksimalnya penanganan pengungsi.
“Pada kesempatan Hari Pengungsi Sedunia hari ini, kami dari Yayasan Geutanyoe juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setingginya kepada berbagai pihak yang selama ini telah ikut andil untuk peduli, dan juga terlibat langsung dalam aksi-aksi kemanusiaan,” imbuhnya.