Pengakuan Presiden Langkah Baru Penegakan HAM di Indonesia

Taufik Abdullah menyebutkan pengakuan Presiden terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat patut diapresiasi. Foto: HO for Komparatif.id.
Taufik Abdullah menyebutkan pengakuan Presiden terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat patut diapresiasi. Foto: HO for Komparatif.id.

Komparatif.ID, Lhokseumawe—Pengakuan Presiden Indonesia Ir. Joko Widodo yang mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat di berbagai wilayah di NKRI, merupakan langkah baru penegakan HAM di negara ini. Keputusan Presiden patut diberikan apresiasi dan mendapatkan simpati.

Demikian disampaikan oleh Dosen Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Taufik Abdullah, M.A, Jumat (13/1/2023) menyikapi terbitnya pengakuan Presiden terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat, setelah Presiden menerima laporan kerja Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara, Rabu (11/1/2023).

Taufik Abdullah yang merupakan Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry) BEM IAIN Ar-Raniry) periode 1998-2000 mengatakan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia bukan sesuatu yang musykil terjadi. Dari Sabang hingga Merauke, tersebar berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, rebel, dan kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik berdarah.

Baca juga: Pagi Berdarah di Jambo Keupok Aceh Selatan

Di Aceh sendiri, sepanjang penumpasan gerakan perlawanan DI/TII Aceh hingga penumpasan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terlalu banyak peristiwa yang membuat rakyat Aceh tidak percaya bahwa Indonesia dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan terhadap masyarakat. Pemerintah terlalu ego mengakui bahwa kekerasan-kekerasan yang mencerabut HAM rakyat pernah dilakukan.

“Tiba-tiba muncul pengakuan Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa telah terjadi 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ini suatu kemajuan sikap Pemerintah Pusat. Ini sesuatu yang baru,” sebut Taufik Abdullah, yang pernah aktif di berbagai buffer aksi massa ketika konflik bersenjata melanda Aceh.

Baca juga: Ribuan Sekolah Dibakar di Aceh Pada Masa Konflik

Kepada Komparatif.id, bekas pengurus Front Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh (Farmidia) tersebut apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo terkait pelanggaran HAM di Indonesia, harus dibarengi langkah elemen lainnya memperkuat posisi demi terwujudnya cita-cita yang selama ini sudah diperjuangkan yaitu lahirnya keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Menurut Taufik Abdullah, sepanjang sejarah Indonesia berdiri, salah satu hal yang paling sulit dilakukan oleh negara yaitu mengakui bahwa telah melakukan kekerasan yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Di Aceh, terlalu banyak situs-situ kekerasan yang menyebabkan kematian, kehilangan tempat tinggal, pemerkosaan, dan kekerasan lainnya terhadap masyarakat sipil, yang hingga kini belum jelas bentuk penyelesaiannya. Bahkan ada yang dipaksa untuk dilupakan.

Setelah reformasi bergelora, mahasiswa Aceh turun ke jalan-jalan, datang ke kampung-kampung, dalam upaya mendorong negara hadir memberikan keadilan kepada rakyat. Termasuk ikut mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM.

Pemerintah juga membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh yang diketuai oleh Baharuddin Lopa, yang berhasil mengungkap berbagai kasus kekerasan di Aceh yang dilakukan selama pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998. DOM dalam istilah negara disebut Operasi Jaring Merah I-IX yang dilaksanakan Mei 89 sampai 7 Agustus 1998.

Pengakuan Presiden Habibie di Masjid Raya Baiturahman

Taufik Abdullah mengatakan Presiden Bj Habibie pernah juga meminta maaf kepada rakyat Aceh yang telah lama menjadi bulan-bulanan aparat negara atas nama menjaga stabilitas keamanan.Presiden Habibie juga mencabut status DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998. Habibie kala itu memerintahkan Panglima ABRI Jenderal Wiranto berkunjung ke Lhokseumawe dan mencabut DOM.

Pada 26 Maret 1999 Presiden Bj Habibie berkunjung ke Aceh. setelah salat Jumat di Masjid Raya Baiturahman, ia meminta maaf atas dosa-dosa yang pernah dilakukan negara sepanjang pelaksanaan DOM di Aceh. ia juga menyampaikan sejumlah janji.

Sayangnya, permintaan maaf Presiden tidak menurunkan ego aparat militer. Ketika mahasiswa meminta waktu bertemu dan berdialog dengan BJ Habibie, pihak aparat tidak memberikan ruang. Protes mahasiswa ditangani dengan kekerasan. Akibatnya pada hari tersebut terjadilah peristiwa berdarah yang disebut Tragedi Pante Pirak.

Peran Mahasiswa Dalam Menuntut Pertanggungjawaban Negara

Taufik Abdullah yang akhirnya harus menyelamatkan diri ke Malaysia karena ikut dicari untuk ditangkap, mengatakan sepanjang riwayat perjuangan rakyat Aceh menuntut keadilan, mahasiswa selalu dengan setia hadir mendampingi, bahkan seringkali tampil di depan menyuarakan seruan penegakan keadilan.

Dimulai dari gerakan 98 kemudian semakin membesar di tahun 2000, apa yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa, merupakan ikhtiar anak bangsa mengajak negara untuk bertanggung jawab, sekaligus tidak mengulang lagi kekerasan terhadap rakyat sipil.Tapi gerakan-gerakan protes justru disambut dengan kekerasan baru.

“Mahasiswa meminta negara tidak mengulang kekejaman di masa DOM. Melakukan dialog inklusif dengan pendekatan persuasif. Namun seruan-seruan itu disambut dengan kekerasan baru,” kata Taufik mengenang masa perjuangan mahasiswa.

Banyak mahasiswa dari berbagai buffer aksi dan BEM yang dibunuh, diculik hingga kini tak jelas di mana rimbanya, diintimidasi, dan dikejar seperti penjahat perang. Anak-anak bangsa itu berada di posisi dilematis, diburu negara, dicurigai oleh gerilyawan.

GAM menuding sebagian mahasiswa sebagai cuak (mata-mata), aparat negara menuduh mahasiswa sebagai separatis GAM. Di sisi lain rakyat berharap mahasiswa tetap mengadvokasi penderitaan mereka.

Dua Rektor yaitu Rektor Unsyiah Profesor Dayan Dawood ditembak, dan Rektor IAIN Ar-Raniry Prof. Safwan Idris juga ditembak hingga meninggal dunia. Sampai sekarang belum terungkap siapa dalang di balik pembantaian terhadap dua intelektual Aceh tersebut.

Harus Menjadi Pelajaran

Lahirnya pengakuan Presiden Joko Widodo terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat, harus menjadi pintu gerbang bagi kerja-kerja pemenuhan hak asasi manusia Indonesia yang pernah dicerabut paksa.

Aceh sangat beruntung dengan wujudnya perdamaian di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Dengan perjanjian damai itu membuak ruang demokrasi selebar-lebarnya kepada siapa saja untuk mencapai tujuan keadilan yang dulu sangat sulit diperjuangkan.

Ia juga mengatakan masa lalu haruslah dapat dijadikan cermin, supaya setiap manusia dapat melakukan refleksi tentang masa yang telah lampau.

“Mudah-mudahan para stakeholder dapat memanfaatkan pengakuan Presiden sebagai langkah baru penegakan HAM sekaligus pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban,” imbuh pria hitam manis yang ketika kuliah seringkali terlibat mengurus pengungsi di berbagai wilayah di Aceh.

Artikel SebelumnyaPemerintah Aceh Lepas Keberangkatan Jamaah Umrah ke Arab Saudi
Artikel SelanjutnyaPengakuan 12 Pelanggaran HAM Berat Berpotensi Pepesan Kosong
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here