Pendidikan tinggi kini kian tak terjamah anak bangsa dari kalangan akar rumput. Perguruan Tinggi terbaik milik negara, kini semakin tak mungkin dijamah oleh generasi yang cespleng pikiran, tapi terjungkal secara ekonomi.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibebankan oleh perguruan tinggi negeri, telah memakan korban. Gelombang protes mahasiswa mulai digerakkan. Meski tidak sangat massif, tapi mahasiswa mulai speak up atas kondisi liberalisasi dunia pendidikan di Indonesia.
Saya membaca satu-persatu berita tentang penolakan kenaikan UKT di beberapa perguruan tinggi negeri yang telah bersstatus PTNBH, maupun lembaga pendidikan tinggi yang sedang mempersiapkan diri menuju ke “pasar bebas”.
Malam itu gerimis turun tipis, membuat Suasana menyeruput kopi di Warkop Alakadar,di kawasan Geulanggang, Bireuen, bertambah syahdu.
Read: Anton Stolwijk, The Story of the Arrival & Expulsion of the Dutch in Aceh
Tatkala saya sedang menyeruput kopi saring robusta, sembari scroll media sosial, telepon pintar saya berdering. Saya melirik ke layar, rupanya keponakan yang tinggal di sebuah desa pinggiran, menghubungi saya.
Saya kaget kala mendengar apa yang ia utarakan. Ia menyampaikan keinginannya melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Dia bercita-cita menjadi sarjana, supaya lebih berguna kepada keluarga, nusa, dan bangsa.
Tapi dia dihadapkan pada persoalan klasik. Orangtuanya tidak memiliki uang yang cukup, supaya sang keponakan dapat mengenyam pendidikan tinggi di kampus yang ia idamkan.
Di akhir pembicaraan kami, saya pun memberikan beberapa saran kepadanya sesuai kemampuan saya. Terlepas apa yang dibutuhkannya, saya juga meyakinkannya untuk tetap tabah dan semangat menghadapi masalah seberat apapun.
Sebuah keniscayaan bahwa fakta sosial masyarakat, khususnya generasi di pedesaan sering mengalami masalah demikian. Mereka yang awalnya memiliki niat baik mengenyam pendidikan untuk mengubah nasib keluarganya, tetapi gagal karena faktor ekonomi keluarga.
Saya pernah mengalaminya. Sebagai mantan mahasiswa yang lahir dari anak tukang bangunan, saya mengerti bagaimana rasanya hidup pas-pasan alias hidup miskin di tanah rantau. Saya dulu terpaksa menjadi kuli bangunan sambil kuliah karena ekonomi keluarga yang tidak mendukung.
Baca: Kisah Perempuan yang Dipaksa Nikah Dini di Serambi Mekkah
Karena faktor ekonomi yang kurang baik, maka pelajar dari pinggiran desa yang memiliki cita-cita dengan potensi intelektual yang mereka miliki menjadi tertunda bahkan putus harapan untuk mengakses pendidikan.
Akhirnya pilihan mereka adalah merantau menjadi buruh pabrik. Atau mereka memilih bekerja di ladang atau menjadi nelayan untuk sekadar membantu orang tua mereka. Lalu di mana peran negara? Apakah pelajar miskin tidak boleh mengeyam pendidikan setinggi-tingginya? Apakah mereka minta dilahirkan dalam kondisi demikian?
Masyarakat di masa depan akan semakin sulit mengakses dunia pendidikan tinggi karena biaya pendidikan perguruan tinggi semakin tak terjangkau.
Frasa kuliah adalah barang mewah, orang miskin dilarang kuliah”, sepertinya semakin benar saja akhir-akhir ini. Bila tahun-tahun sebelumnya melalui Kartu Indonesia Pintar, siapa saja dapat mengakses pendidikan tinggi di manapun, kini sepertinya telah kembali ke masa kelam, kala beasiswa merupakan barang langka di Republik ini.
Dunia pendidikan kita hari ini tengah dihebohkan dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terbilang sangat tinggi dan sangat dikeluhkan masyarakat.
Era kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berbiaya murah sudah berakhir sejak pemerintah mengubah status PTN menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Padahal, sebagian besar PTN tersebut merupakan kampus favorit, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Kampus yang dulunya menjadi impian anak bangsa merajut masa depan dari berbagai kalangan, makin tak tergapai seiring melambungnya uang kuliah. Lolos ujian masuk PTN tidak saja menjadi kabar gembira bagi orangtua, tetapi menjadi kabar lara ketika melihat tagihan uang kuliah yang tak sesuai harapan.
Nasib keponakan saya sama persis seperti yang di alami oleh Siti Aisyah Alumni SMAN 1 Pendalian IV Kabupaten Rokan Hulu Riau, dia diterima menjadi mahasiswa jurusan Agrotekhnologi Fakultas Pertanian Universitas Riau melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi.
Langkah Siti Aisyah ternyata terhenti dan memilih mundur setelah mendapatkan pembayaran UKT di kategori 5 yakni 4,8 juta per semester. Padahal Siti dikenal sebagai mahasiswa berprestasi dan sangat mengingkan melanjutkan studi.
Kalau sudah demikian, pendidikan tinggi hanya dinikmati pihak tertentu yang punya harta, tahta, dan kuasa.
Padahal Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 jelas bertutur bahwa pendidikan adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara atas rakyatnya. Seharusnya negara hadir untuk memastikan semua warga bisa terdidik sesuai amanat Pancasila dan konstitusi. Menyediakan pendidikan dasar gratis dan pendidikan tinggi terjangkau merupakan kewajiban pemerintah.
Negara bisa saja mendesain biaya pendidikan yang terjangkau agar bisa diakses oleh masyarakat kelas bawah dan menengah, layaknya biaya pelayanan kesehatan saat ini yang semakin inklusif.
Namun kenyataannya, di tingkat pendidikan tinggi, biaya kuliah semakin meningkat, sementara pemerintah cenderung melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan, membebankannya kepada masyarakat.
Hal ini berbanding terbalik jika melihat majunya ekonomi dan teknologi di negara-negara Eropa yang terdampak karena kualitas pendidikan tinggi yang bagus, gratis, dan sangat mudah dijangkau. Swedia, Jerman, Finlandia, Ceko, Norwegia, dan Islandia adalah beberapa contoh negara Eropa yang memberikan pendidikan gratis untuk tingkat sarjana.
Bahkan, beberapa waktu lalu salah satu pejabat Kemendikbud menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier dan tidak wajib
Pakar pendidikan, Indra Charismiadji, mengatakan biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal dan sulit diakses oleh masyarakat merupakan imbas dari bentuk neoliberalisme pendidikan yang diserahkan melalui mekanisme pasar.
Maka setiap tahun, hanya sekitar 60 persen yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dari sekitar 3,7 juta jumlah lulusan SMA/SMK di Indonesia. Faktor ekonomi menjadi kendala utama. Sebagian besar dari mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berasal dari keluarga tidak mampu. Kenaikan biaya kuliah tidak sebanding dengan kenaikan gaji orang pada umumnya.
Maka kembalikanlah otonomi PTN seperti sebelumnya. Perubahan status PTN menjadi PTN BH tidak menjamin otonomi PTN kalau tidak disertai dengan kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk memberikan otonomi kepada perguruan tinggi.
Akhir kata saya sepakat dengan pesan ibu saya bahwa kuliah bukan semata-mata mencari gelar kesarjanaan tertinggi, kehormatan sosial, ataupun meningkatkan penghasilan di dunia kerja. Lebih dari itu pendidikan adalah investasi jangka panjang di bidang ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagai bekal hidup agar bermanfaat bagi sesama manusia beserta lingkunganya.