23 Tahun Berlalu, Pelanggaran HAM Berat Bumi Flora Masih Menggantung

23 Tahun Berlalu, Pelanggaran HAM Berat Bumi Flora Masih Menggantung
Seorang warga bersepeda melewati tank-tank TNI yang sedang patroli di Bireuen pada 14 Agustus 2003. Foto: AFP.

Komparatif.ID, Idi— Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjelaskan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di kawasan perkebunan kelapa sawit PT Bumi Flora, Kabupaten Aceh Timur, masih terus berjalan. 

Wakil Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyampaikan hal itu saat menerima kunjungan kerja Komisi XIII DPR RI di Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Kamis (10/4/2025). 

Ia mengatakan kasus Bumi Flora menjadi satu-satunya peristiwa di Aceh yang masih dalam proses penyelidikan, sementara empat kasus lainnya sudah rampung dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung.

“Masih ada satu penyelidikan lagi yang masih dilakukan untuk kasus yang terjadi di Aceh, kasus Bumi Flora,” kata Atnike mengutip Antara.

Atnike menyebutkan Komnas HAM menyelidiki lima kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh yang terjadi pada masa konflik. Kelima kasus tersebut meliputi peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara, Rumoh Geudong-Pos Sattis di Pidie, Jambo Keupok di Aceh Selatan, Timang Gajah di Bener Meriah, dan Bumi Flora di Aceh Timur. 

Dari penyelidikan tersebut, tiga peristiwa yakni Simpang KKA, Rumoh Geudong, dan Jambo Keupok telah diakui oleh pemerintah sebagai pelanggaran HAM berat. Sementara itu, peristiwa Timang Gajah telah selesai diselidiki dan berkasnya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.

Baca jugaPemerintah Akui 12 Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Peristiwa di Bumi Flora terjadi pada Agustus 2001 dan diduga kuat sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam kejadian tersebut, sebanyak 31 warga sipil dilaporkan tewas akibat penembakan di kawasan perkebunan, sementara tujuh orang lainnya mengalami luka-luka dan satu orang dinyatakan hilang. 

Hingga kini, Komnas HAM masih terus mendalami bukti dan kesaksian untuk mengungkap fakta-fakta di balik tragedi tersebut.

Atnike mengungkapkan tiga kasus pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, direncanakan diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial. 

Upaya tersebut difokuskan pada pemulihan hak-hak korban atau keluarganya. Namun demikian, proses penyelesaian secara non-yudisial ini mengalami hambatan setelah terjadinya pergantian pemerintahan, yang membuat prosesnya terhenti.

Ia menambahkan dari sekitar lima ribu nama korban pelanggaran HAM berat yang telah diajukan untuk menerima hak pemulihan, hanya sebagian kecil yang benar-benar mendapatkan hak tersebut. 

Atnike berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti hak-hak para korban, termasuk korban dari Aceh, dan menjadikannya sebagai agenda prioritas dalam proses pemulihan keadilan. Ia juga mengimbau agar Komisi XIII DPR RI dapat memberikan dukungan terhadap upaya tersebut, mengingat masih banyak korban yang belum merasakan keadilan.

“Kami harap hal tersebut dapat ditindaklanjuti karena sebagian besar korban pelanggaran HAM berat belum mendapatkan pemulihan,” pungkas Atnike

Artikel SebelumnyaMualem: Potensi Ekraf Aceh Besar, SDM Masih Lemah
Artikel SelanjutnyaBelum Lapor SPT Pajak? Hari Ini Kesempatan Terakhir

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here