Setiap tahun, dari perbukitan Lamteuba hingga lembah-lembah di Aceh Tengah, asap putih naik dari ladang ganja yang dibakar aparat. Pemandangan itu sudah terlalu akrab—ritual rutin penegakan hukum, simbol perang panjang melawan narkotika. Tapi di balik asap yang menghilang di udara, ada paradoks ganja yang justru semakin pekat: tanaman yang dibasmi itu kini menjadi rebutan banyak negara yang tengah memburu energi bersih dan material ramah lingkungan.
Undang-Undang Narkotika No. 35/2009 menempatkan ganja sebagai narkotika golongan I—kategori paling keras, paling dibatasi, dan dianggap tidak memiliki manfaat medis maupun industri. Dalam pikiran hukum, posisi itu tegas.
Namun ilmu pengetahuan tidak tinggal diam. Dalam satu dekade terakhir, penelitian tentang cannabis sativa, khususnya varietas industrinya—hemp—mengalami lonjakan. Dari Eropa hingga Asia Tengah, hemp bergerak bukan sebagai stigma, tetapi sebagai komoditas: bahan baku tekstil, bioplastik, kayu komposit, serat bangunan, hingga energi terbarukan.
Satu tanaman, berbagai fungsi. Sementara di Indonesia, nasibnya hanya satu: dibakar. Tragis!
Aceh punya sejarah panjang dengan ganja, jauh sebelum negara mengenalnya sebagai narkotika. Di lembah-lembah pedalaman, tanaman ini pernah tumbuh terbuka, menjadi bagian ekonomi lokal yang—baik disukai maupun tidak—lebih stabil dari banyak komoditas legal.
Setelah konflik berakhir dan regulasi mengeras, narasi negara membekukan tanaman ini sebagai ancaman. Padahal bagi sebagian petani, ganja adalah penopang hidup di tengah fluktuasi harga kopi, cengkeh, dan pala.
Setiap pemusnahan ladang adalah pertunjukan kekuasaan, tetapi juga cermin ketegangan yang tak kunjung selesai: petani yang kehilangan salah satu sandaran ekonomi, negara yang mengutamakan keamanan, dan stigma yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ironisnya, justru Aceh memiliki kondisi agroklimat paling ideal untuk tanaman cepat tumbuh seperti hemp—komoditas yang di banyak negara menjadi fondasi ekonomi hijau.
Paradoks Ganja dan Kebijakan
Nilai kalor biochar hemp menyamai batubara kualitas rendah. Riset Marrot dkk. (2022) mencatat angka 28–31 MJ/kg—kadar energi yang tak bisa diremehkan. Hasil penelitian Marrot dkk. (2025) menunjukkan kandungan karbonnya relatif tinggi. Kadar karbon berkisar dari 70–86% setelah pirolisis.
Hemp dapat diolah menjadi bio-oil, syngas, dan bahan bakar padat. Berbagai penelitian menyimpulkan hemp mampu diubah menjadi energi hampir di seluruh bentuknya. Hemp dari tanah tercemar pun masih bisa dimanfaatkan.
Hasil penelitian Voglar dkk. (2024) menunjukkan bahwa dengan pemurnian yang benar, hemp dapat diproses. Tetapi keamanan penuh (misalnya residu logam dalam bio-oil atau abu) bergantung pada kondisi pirolisis dan perlu data toksikologi spesifik.
Dengan fakta-fakta ilmiah tersebut, kesimpulannya sederhana: tanaman yang kita bakar sebagai barang bukti, di tempat lain diolah menjadi listrik dan material energi masa depan.
Teknologi Sudah Dikuasai, Tanaman Justru Dihabisi
Indonesia bukan negara asing terhadap teknologi biomassa. Kita sudah lama memiliki instalasi gasifikasi, insinerasi, dan pirolisis untuk limbah sawit, sekam padi, hingga serpihan kayu.
Dari segi teknis, tidak ada yang perlu ditemukan ulang. Hal yang absen hanya satu: tanaman yang dapat menjadi bahan baku unggulan. Dalam misi transisi energi, keputusan untuk memusnahkan biomassa berkualitas tinggi bukan saja tidak efisien—tapi kontraproduktif.
Pertanyaannya bukan apakah ganja harus dilegalkan. Pertanyaannya: apakah hemp industri bisa diberi ruang—tanpa mengendurkan pengawasan terhadap ganja psikoaktif?
Baca juga: Pemimpin dan Para Geunteut di Lingkar Kuasa
Banyak negara sudah berhasil menempuh jalan tengah. Ada beberapa opsi yang realistis:
Pertama, membedakan hemp industri dari ganja psikoaktif melalui batasan THC yang jelas dan mudah diuji.
Kedua, membuka riset resmi, terutama terkait biomassa dan energi.
Ketiga, merancang skema perizinan terbatas untuk budidaya hemp industri di lokasi terkontrol.
Keempat, membangun proyek percontohan, misalnya di lahan-lahan marjinal atau bekas tambang, untuk menguji kelayakan ekonomi.
Dengan cara ini, negara tetap menjaga ketertiban hukum, tetapi tidak menutup pintu terhadap ilmu pengetahuan dan kebutuhan ekonomi rakyat.
Di tengah pencarian energi terbarukan, Indonesia membutuhkan biomassa alternatif, tumbuh cepat, dan berenergi tinggi. Ironisnya, salah satu kandidat terkuat justru dihancurkan setiap tahun.
Paradoks ganja bukan semata persoalan legalitas. Ia adalah persoalan bagaimana kita membaca sains, memahami sejarah sosial, dan merancang kebijakan yang berpijak pada realitas.
Dan pada akhirnya, satu pertanyaan tetap menggantung: Sampai kapan kita terus membakar potensi yang sebenarnya dapat menerangi masa depan?












