Oleh-oleh Jelang Pemilu

Oleh-oleh jelang pemilu muhajir juli ijazah paket c
Muhajir Juli. Praktisi komunikasi massa.

Seorang ibu rumah tangga terkejut tatkala membuka pintu depan. Ia mendapatkan oleh-oleh jelang pemilu dari seorang caleg. Berupa satu zak beras lima kilogram, dan satu botol minyak goreng.

Di badan karung beras, ditempeli stiker bergambar caleg, lengkap dengan foto dan nomor urut. Tidak ada pesan lain. Cuma si ibu rumah tangga paham, bila si caleg sedang mencari dukungan. Dari setiap oleh-oleh jelang pemilu, si caleg tentu berharap dicoblos.

Paket logistik dapur tersebut ditaruh merata di setiap pintu rumah. Mungkin ditaruh pada dinihari. Atau menjelang Subuh. Tak elok disebut serangan fajar, karena dilakukan tengah malam. Tak pantas juga money politic karena tidak melibatkan uang dan tanpa komitmen.

Baca: Pimpinan Dayah & Santri Blang Blahdeh Dukung Zulfadhli

Pantas disebut sebagai buah tangan, dengan harapan diterima dengan baik, dan nama dan nomor urut si pemberi diingat oleh target. Harapan tertinggi, si penerima bersedia mencoblos nama si pemberi pada hari H.

Sayangnya, sepertinya timses yang membagikan logistik dapur sepertinya kurang riset. Pada lorong itu, beberapa rumah tidak berpenghuni. Tapi “oleh-oleh jelang pemilu” tetap ditaruh di depan pintu.

Meski tidak akan mubazir, tapi tentu saja tidak tepat sasaran. Otomatis si caleg “rugi”.

Sejak dulu pemilu selalu berhubungan dengan pemberian langsung kepada pemilih. Kondisi ini bertambah semarak dan massif sejak dimulainya pemilu langsung. Antar caleg di internal partai saling berebut simpati pemilih. Macam ragam upaya dilakukan. Mulai membagikan sarung, jilbab, radio, dll, hingga uang tunai. Bahkan ada yang membagikan chip game online untuk pemilih dari kalangan muda.

Semakin ke sini, bertambah massif. Pemilih tidak lagi bersedia mencoblos tanpa menerima oleh-oleh jelang pemilu. Dengan demikian biaya ikut serta dalam kontestasi dari pemilu ke pemilu semakin bertambah besar.

Partai politik tidak lagi memegang kendali di luar pembagian kursi. Karena kontestan berhubungan langsung dengan calon pemilih. Keberadaan bapilu di tiap partai sekadar menjadi think tank yang tidak begitu berpengaruh. Karena di lapangan, para kontestan memakai kendaraan lain yaitu timses. Timses dibentuk hingga ke desa-desa.

Banyak kejadian, timses tidak jujur, tidak memiliki power, dan bahkan tak mampu meyakinkan calon pemilih. Tapi banyak juga timses yang powerfull, disegani, dan didengar oleh pemilih.

Keberadaan timses yang powerfull, tidak serta merta membuat kandidat tak perlu memberikan oleh-oleh jelang pemilu kepada pemilih. Tapi, dengan keberadaan timses berkinerja baik, akan berdampak bagus untuk perolehan suara.

Bagi incumbent, kinerjanya selama duduk di kursi kekuasaan akan sangat berpengaruh. Semakin baik kinerja, semakin mudah ia “dipasarkan” ke pemilih. Bila kinerjanya tidak baik, maka timses akan sangat kesulitan. Caleg-caleg demikian, biasanya uangnya diambil, tapi dia tidak lagi dipilih. Atau, dia tetap dipilih, tapi oleh-oleh yang harus diantar dua kali lipat dari sebelumnya.

Di tengah kondisi semakin mahalnya belanja demokrasi pemilu, ternyata masih ada pemilih yang tidak bersedia menerima oleh-oleh. Kemerdekaan mereka tidak bisa dipasung dengan pemberian jelang pemilu.

“Biarlah saya memilih secara merdeka.” Itu jawaban mereka.

Kerennya lagi, mereka yang menolak oleh-oleh bukan semata dari kalangan berada. Tapi juga dari kalangan akar rumput, yang hidup Senin-Kamis.

Bukan Sekadar Oleh-oleh Jelang Pemilu

Lalu, apa yang menyebabkan biaya pemilu semakin mahal? Banyak sebabnya? Hal paling umum, pemilih tidak merasakan perubahan yang berarti setiap pemilu usai. Ketidakmampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat menyebabkan lahirnya “pembalasan” terhadap kandidat.

Hal lainnya, banyaknya bermunculan kandidat yang belum punya kapasitas intelektual. Demi meraih simpati massa pemilih, mereka menghambur-hamburkan oleh-oleh jelang pemilu. Tentu saja uang-uang itu dihitung. Bila menang akan diambil kembali dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan kecurangan.

Well, pemilu 2024 hanya menghitung hari. 14 Februari 2024, akan menjadi penentu. Apakah incumbent akan dipilih kembali? Apakah pendatang baru akan dipilih? Tapi ada satu hal yang menarik, incumbent yang berkinerja bagus, sudah dapat meraba kemenangan tatkala ia mulai berkampanye. Hukum alam tidak berubah, bahwa yang baik tetap baik. Orang baik berbicara dengan aksi, bukan sekadar orasi.

Selamat memilih, selamat berdemokrasi. Mari gunakan hak pilih Anda dengan baik. Pilihlah kandidat yang punya kapasitas. Pilihlah incumbent yang berkinerja baik. Jangan tertipu dengan sekadar oleh-oleh jelang pemilu.

Teulah sithôn ureueng meugo, teulah siuroe ureueng meurusa. 

Artikel SebelumnyaMencari “Politisi Burong Tujoh” di Aceh
Artikel SelanjutnyaKPU: Hasil Exit Poll Luar Negeri Belum Boleh Dirilis
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here