Mukhlis Munir telah menutup mata pada Senin sore, 2 Desember 2024. Pendekar antikorupsi dari Bireuen itu harus pamit karena jatahnya di dunia telah usai pada usia 43 tahun. Tentu duka tak dapat ditolak, khususnya dari sang istri tercinta, dan dua belahan jiwa mereka.
Mukhlis Munir aktivis yang berasal dari akar rumput.Ia putra Teungku Munir, seorang pria yang membangun rumah sederhana tepian Krueng Peusangan yang membelah Kutablang. Ya, Mukhlis lahir dan besar di Gampong Kulu, Kutablang.
Baca: Mukhlis Munir Meninggal Dunia, Aktivis Antikorupsi Berduka
Saya tidak tahu terlampau jauh persinggungannya sehingga ia memutuskan bergabung dalam gerakan antikorupsi. Ia bergabung dengan Gabungan Solidaritas Anti Korupsi (GaSAK) pada 2004 bersama Muri, Alfian,Hambali Ilyas, dan beberapa orang lainnya.
Saya mengenal Mukhlis—kami menyebutnya Bang Mukhlis—pada tahun 2006, ketika lagi asyik-asyiknya mendiskusikan isu-isu transparansi dan akuntabilitas. Saya dan teman-teman di Universitas Almuslim Peusangan, Bireuen, bertemu dengan pria aktivis antikorupsi itu, kala ia sedang bekerja sebagai staf kontrak Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang sedang melakukan program Komite Darurat Kemanusiaan (KDK) di Bireuen. Ia bersama Nuruzzahri bertugas melakukan monitoring pembangunan yang dilakukan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Program itu berada di bawah payung Indonesia Corruption Wacth (ICW) Jakarta.
Saya bergabung dengan GaSAK pada tahun 2006 sebagai relawan antikorupsi. Tidak lama kemudian diangkat sebagai staf lapangan pada divisi monitoring dan investigasi. Dari sana saya berkesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik oleh LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe. Pelatihan itu menjadi pintu masuk menjadi jurnalis profesional di kemudian hari.
Mukhlis Munir pernah juga menjadi wartawan. Bila saya tidak keliru kala itu dia menjadi wartawan Metro Aceh—bagian dari harian Rakyat Aceh—untuk liputan Bireuen. Statusnya masih magang kala itu. ia diajak oleh Bahrul Walidin.
Mukhlis juga pernah menjadi pekerja di PNPM Mandiri Perdesaan. Beberapa waktu dia bekerja di sana, dan akhirnya memutuskan resign karena mematuhi wejangan seorang teungku bahwa tidak berkah bekerja di PNPM.
Saat itu saya menggodanya, “Kalau gaji PNPM tak berkah, bagaimana dengan gaji di DPR? Bukankah teungku-tengku banyak juga di sana?” kata saya kala itu.
Mukhlis tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Sejenak kemudian mengutip satu butir kacang tanah di atas meja, dan melemparkannya ke badan saya. kami tergelak bersama. Mungkin Mukhlis Munir baru sadar bahwa keputusannya terlampau sentimental. Atau juga dia merasa bahwa saya tidak tahu terlampau dalam perihal halal, haram, dan syubhat sebuah rezeki. Entahlah.
Sepanjang saya mengenal Mukhlis Munir, dia merupakan aktivis yang konsisten. Bidang antikorupsi yang ia geluti dilaksanakan dengan sepenuh hati. Semua tahu menjadi aktivis antikorupsi tentu sangat seksi. Banyak orang yang menyegani. Selalu ada peluang untuk bertindak curang. Tapi hingga ajal menjemputnya, Mukhlis konsisten dengan pilihan hatinya. Ia tidak memanfaatkan dunia antikorupsi sebagai alat memeras orang lain.
Berkali-kali saya melihat langsung ia menolak suap. Bahkan dalam jumlah yang besar untuk ukuran kami sebagai anak muda dari kampung dan tidak mengenal dunia bisnis besar.
Ya, mungkin Mukhlis konsisten pada sumpah aktivis antikorupsi yang pernah ia baca kala terjun ke dunia tersebut. Sejak saya memulai perjalanan sebagai aktivis antikorupsi, hingga 15 tahun menjadi wartawan, saya belum pernah mendengar Mukhlis melakukan pemerasan terhadap orang lain.
Mukhlis Munir merupakan pria yang sangat optimis. Sejak divonis mengalami gagal ginjal, ia tetap semangat bahwa umur di tangan Allah. Semangat sembuh sangat besar timbul dari dalam jiwanya.
Orang-orang kaget dan takjub. Sebagai penderita gagal ginjal, Mukhlis mampu bertahan sangat lama. Belasan tahun ia mampu menghadapi prosesi cuci darah setiap minggu.
Hingga akhirnya, beberapa hari lalu ia kembali drop. Mukhlis dibawa ke RSUD dr. Fauziah. Pada Senin sore, ia pamit dari dunia fana; untuk selamanya.
Saya teringat pertemuan kami di sebuah kios di tepi Krueng Tingkeum, Kutablang, setahun lalu. Saat itu saya, Desrianto (Mastur), Mukhlis, dan Aqsa –putra pertama Mukhlis dan Ita—buka puasa bersama dengan menu ayam geprek.
Usai Salat Magrib kami bercengkerama panjang lebar. Lebih tepatnya bernostalgia tentang GaSAK, SiMAK, SeRAK, dan laluan hidup masing-masing setelah memilih jalan hidup masing-masing.
Selamat jalan, Bang Mukhlis. Engkau adalah simbol antikorupsi di Bireuen. Kau tetap konsisten pada jalan perubahan, kau yang telah menginspirasi banyak anak muda di Bireuen, kau yang akhirnya harus menempuh jalan sunyi, karena dunia antikorupsi adalah jalan teramat sunyi di muka bumi.