Negara Tak Lindungi Peternak Ayam Skala Kecil

Rut menyoal minimnya perlindungan negara terhadap peternak ayam secara mandiri. Persaingan usaha yang tidak fair, menurutnya bisnis sektor ini sepenuhnya dalam genggaman pasar kapitalisme. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Peternak ayam skala kecil di Indonesia seperti kata pepatah: hidup segan mati tak mau. Di tengah ketidakmandirian dalam ekosistemnya, banyak pula kebijakan negara yang membuat mereka terus terpuruk. Di sisi lain, agregator –bisnis korporasi besarterus melebarkan sayapnya tanpa jeda.

Pascakenaikan harga BBM subsidi, ternyata harga ayam justru turun. Fakta ini tidak biasa, sebab para pedagang tentu harus memperhitungkan biaya produksi mereka yang mengandalkan BBM. Semakin naik harga BBM, maka akan dibebankan pada biaya transportasi.

Ternyata usut punya usut, para peternak ayam mengaku malah menghadapi situasi sulit. Pasalnya  di tengah kenaikan berbagai harga barang, harga jual ayam justru rendah, jelas tidak sebanding dengan modal produksi mereka yang tinggi. Inilah yang memicu para peternak ayam terdiri dari sekumpulan peternak ayam mandiri dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan  terhimpun dalam Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) berdemo di kawasan silang Monas, Jakarta pada September lalu.

Baca juga: Ibu Tunggal di Inggris Ramai-ramai Jadi Pelacur

Mereka hanya ingin stabilkan harga ayam hidup di atas HPP (harga pokok produksi) mengingat bahwa harga pangan sudah terlalu tinggi.  Pada bulan  Oktober, kembali KPUN di Jawa Timur berdemo di depan kantor gubernur. Mereka menyuarakan isu yang sama.

Sekaligus meminta operasi pasar dengan harga di luar acuan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dihentikan. Hasilnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menghentikan operasi pasar untuk komoditas ayam broiler dan telur. Namun, kebijakan ini tak bisa menghentikan harga ayam membaik, bahkan tak menyentuh kesejahteraan peternak sedikitpun. Mengapa?

Persoalan pertama, di Indonesia ada dua jenis peternak ayam. Yang pertama adalah peternak mitra, yaitu peternak yang mendapatkan bahan produksi dan menjual hasil produksinya ke perusahaan-perusahaan besar di industri peternakan, melalui skema kemitraan.

Kedua adalah peternak ayam mandiri (peternak rakyat) yang mengelola keuangan sendiri dan menjual hasil produksinya langsung ke pasar. Peternak jenis kedua ini meski mandiri ternyata untuk sarana produksi ternak atau sapronak (yang terdiri dari bibit ayam, pakan, dan obat-obatan) mereka hanya bisa membelinya dari perusahaan-perusahaan besar, atau yang disebut perusahaan integrator. Artinya kemandirian mereka masih di bawah kendali perusahaan integrator.

Ketua KPUN Alvino Antonio, mengatakan kondisi merugi memang sedang dialami para peternak mandiri atau peternak rakyat saat ini dikarenakan harga jual ayam yang rendah. Harga bibit ayam untuk memproduksi satu ekor anak ayam, menurut perhitungan mereka, biayanya Rp5.500. Sementara perusahaan-perusahaan integrator menjual bibit ayam ke peternak mandiri dengan harga Rp6.000-Rp7.000. Belum ditambah dengan bahan pakan mereka sudah mengambil untung minimal 13%. Di sinilah awal kerugian itu, karena harga DOC (day old chicks/bibit ayam) sama pakannya, mereka mengambil untung. Bagaimana peternak mandiri atau rakyat bisa berkutik?

Maka yang terjadi, peternak mandiri ini tak hanya bergantung pada perusahaan integrator untuk pasokan bibit ayam, pakan, obat-obatan namun hingga  menjual ayam hasil budi daya mereka sendiri pun dalam kuasa perusahaan besar ini. Bahkan boleh dikata, peruhaaan besar ini pesaing ketat para peternak mandiri. Usaha kecil dan menengah, seperti milik Alvino dan anggota komunitasnya jelas kalah saing.

Persoalan kedua, adanya tindakan pemerintah yang mematok harga, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, ia akan  berkoordinasi dengan kembaga terkait, seperti Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk mengatur harga ayam agar tidak terlalu murah dan merugikan peternak, dengan menciptakan ekosistem yang kondusif. Salah satunya, dengan menyediakan akses bibit ayam dengan harga yang terjangkau.

Perusahaan integrator di lapangan nyata telah menguasai bisnis ayam dari hulu sampai ke hilir dan secara terselubung bisa “mendikte harga”. Kalaulah petani ingin mengunggulinya jelas kalah di stok barangnya, perusahaan jelas sudah memiliki lebih banyak lagi. Maka, jika dikembalikan kepada mekanisme pasar, namun negara sudah mematok, jelas kerugian yang lebih fatal yang akan dialami para peternak tersebut.

Menurut Parjuni Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, perusahaan integrator saat ini menguasai budi daya sekitar 80% dari total populasi ayam nasional. Sementara peternak ayam mandiri, hanya kebagian sisanya. Sehingga peternak mandiri tidak bisa berkembang. Kebijakan negara, perusahaan integrator diberi tempat sekaligus pasar di Indonesia. Kemudian difasilitasi dengan diberi hak untuk memelihara indukan (GPS /grand parent stock). Kembali peternak mandiri akan kalah, sebab modal mereka kecil.

Persoalan ketiga,  Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 mengatur tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang di dalamnya juga mencakup soal budi daya. Undang-undang itu diubah oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014, yang kemudian beberapa pasalnya diubah lagi dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Nyatanya kebijakan ini tidak pro peternak mandiri.  Dijelaskan dalam undang-undang tersebut perusahaan  boleh berbudi daya, namun yang lepas dari pengawasan,  perusahaan boleh budidaya  apa saja dan tidak ada ketentuan besaran populasi yang dibudidaya. Berikut juga tidak ada aturan perusahaan itulah yang kelak menguasai harga pakan dan lain sebagainya.

Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami,  menampik kalau para pengusaha mengendalikan harga karena “mekanisme pasar” yang menentukan. Perusahaan-perusahaan juga tidak bisa menaikkan harga ayam begitu saja karena harga ayam yang rendah saat ini disebabkan oleh kelebihan pasokan (oversupply) dan kurangnya permintaan.

Rut Sri Wahyuningsih, menulis tentang tidak adilnya negara dalam memberikan perlindungan terhadap peternak ayam mandiri, yang mencoba berdikari dengan segenap usaha. Foto: Doc. Rut.
Rut Sri Wahyuningsih, menulis tentang tidak adilnya negara dalam memberikan perlindungan terhadap peternak ayam mandiri, yang mencoba berdikari dengan segenap usaha. Foto: Doc. Rut.

Inilah mengapa pemerintah menetapkan kebijakan peternak ayam berbasis mitra, sebab dengan adanya kontrak kerja dengan perusahaan, ketika harga sudah ditetapkan dalam kontrak dengan perusahaan, sementara harga ayam di luar turun, peternak tidak merugi. Jelas ini frame berpikir yang salah, sebab ada banyak peternak ayam yang tidak memiliki modal besar, apalagi peternak rakyat.

Persoalan keempat,  Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021, yang mengatakan bahwa budi daya ayam broiler adalah ranahnya kemitraan telah menjadikan urusan bisnis peternakan ayam ini ditangani banyak badan. Dengan alasan memproteksi peternak kecil,  urusan produksi ranah Kementerian Pertanian, untuk urusan harga dan perdagangan termasuk ranah Kementerian Perdagangan, sementara untuk pasokan menjadi ranah Badan Pangan Nasional (Bapanas).

Inilah kebijakan ala kapitalisme, ada bagi-bagi job padahal persoalan  yang hendak diselesaikan masih satu aspek. Akibatnya, masing-masing lembaga memiliki tujuan dan cara tersendiri untuk mewujudkan misi lembaganya, bukan misi rakyat. Sebab akhirnya yang berjalan adalah mindset profit atau keuntungan bagi lembaganya.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan sedang bekerja sama dengan kementerian dan lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pihak swasta untuk mendorong penyerapan live bird atau ayam hidup ke perusahaan integrator, menurutnya ini adalah pembangunan  ekosistem. Dengan melibatkan BUMN, mulai dari pengadaan DOC  dan grand parent-nya (bibit induk ayam), penyediaan pakan ternak, RPU (rumah potong unggas), penyerapan live bird, penyimpanan dalam bentuk karkas frozen.

Peternak Ayam Mandiri Minim Perlindungan

Dari keempat persoalan yang melingkupi peternak ayam kita hari ini menunjukkan betapa minimnya peran negara. Sebab, secara alamiah kemampuan peternak tidak sama, padahal negaralah yang wajib menjamin seluruh rakyatnya, terutama para kepala keluarga untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka sehingga bisa menunaikan kewajiban yaitu  memberi nafkah untuk keluarganya.

Bukannya terus menerus mempermudah perusahaan integrator menguasai bisnis ayam dari hulu hingga hilir bahkan bisa mendikte harga. Peternak ayam kita yang butuh dibantu dan diurus. Jika tak punya modal maka negara yang memberi, baik modal bergerak maupun tidak bergerak. Bila perlu diadakan pelatihan secara gratis. Negara pun tak boleh mematok harga, bahkan jika ada kelebihan pasokan sebagaimana disebutkan di atas di suatu daerah, maka harus dibagi untuk seluruh wilayah negara, hingga merata.

Praktik monopoli akan menjatuhkan bisnis rakyat kecil, sehingga mereka hidupnya susah.  Dan yang diadopsi negeri ini adalah sistem ekonomi kapitalisme.  Praktik monopoli sah-sah saja bahkan didukung oleh negara.

Kebijakan negara dalam sektor yang saya bahas di atas, tentu saja kontra dengan mayoritas penduduk Indonesia yang menganut agama Islam. Seharusnya pendekatan kebijakan perdagangan dan persaingan bisnis tidak boleh terlalu jauh dari Islam. Konon lagi menumbuhsuburkan praktik kapitalisme yang sangat kejam itu.

Monopoli terhadap bisnis peternakan ayam menurut saya telah menciptakan ketidakadilan. Peternak mandiri satu persatu berguguran, sedangkan negara hanya hadir dalam bentuk aturan semata, tanpa mampu—atau bahkan tidak mau—memberikan perlindungan sekaligus jaminan kepada rakyat yang berdikari.

Bila ini terus-menerus berlangsung, maka semakin banyak peternak ayam mandiri akan jatuh usahanya dan kemudian bangkrut. Melihat apa yang terjadi saat ini, maka satu-satunya solusi matikan kapitalisme di Indonesia.

Penulis: Rut Sri Wahyuningsih. Merupakan pegiat literasi yang bermukim di Sidoarjo, Jwa Timur. Email:rutyuyun@gmail.com.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here