Musik & Politik di Aceh

Musik don king
Zulfadli Kawom. Foto: Dokumen pribadi.

Di Aceh, musik menjadi tertuduh sebagai maksiat yang tidak boleh mendapatkan tempat. Kafe dilarang memutar live musik, konser musik dicaci maki, tapi di sisi lain, korupsi, pelecehan seksual, kejahatan lingkungan hidup, terus berlangsung di depan mata.

Refleksi pendek ini terinspirasi dari “obrolan santai sore hari di TB Kopi Taman Budaya Aceh, Banda Aceh. Termasuk satu pekan lalu, ngobrol santai dengan  seorang akademisi di Darussalam, sekaligus praktisi kesenian.

Musik selalu berlaku universal dan netral. Pun demikian, sebagai produk budaya, musik bisa merembes ke mana saja, termasuk ke ranah politik. Walaupun orang tidak tahu artinya, misalnya ketika mendengar lagu Kutidhing Liza Aulia, orang akan merinding.

Baca: Pemerintah Bireuen Larang Pementasan Live Music

Di Aceh orang suka lagu Barat bernada minor, lagu-lagu India, Batak dan Padang walaupun tidak tahu artinya, begitu juga sebaliknya orang-orang Sumatra mulai suka dengan lagu-lagu Bergek.

Hubungan antara music dan politik telah terlihat di banyak budaya. Orang-orang di masa lalu dan sekarang–terutama politisi, musisi dan pendengar yang terlibat dalam politik – berpendapat bahwa musik dapat ‘mengekspresikan’ ide dan ideologi politik, seperti penolakan terhadap kemapanan (‘anti kemapanan’) atau protes terhadap tindakan negara atau swasta.

Termasuk dapat menjadi kampanye antiperang melalui lagu-lagu seruan perdamaian. Juga menggelorakan sentimen nasional dan ideologi nasionalis melalui lagu kebangsaan dan lagu-lagu patriotik. Hikayat Prang Sabi dilarang pada Belanda, begitu juga lagu Album Nyawoung dibredel oleh militer saat pelaksanaan Darurat Militer di Aceh, kaset-kaset disita, pendengar ada yang dipukuli.

Karena masyarakat mengatribusikan makna dan efek ini pada musik yang mereka anggap bersifat politis, musik memainkan peran penting dalam kampanye politik, demonstrasi, serta upacara kenegaraan. Misalnya Teungku Rasyidin Matangkuli lewat dakwah-dakwah di podium-podium kampung sering membawakan lagu Jen Jok akhirnya dia ditarik menjadi politisi PPP sebelumnya hanya menjadi juru kampanye.

Unjuk rasa mahasiswa juga sering diwarnai lagu and music yang bikin bersemangat walau hanya membawa Hikayat Prang Sabi Muklis Nyawoung dan Rafly.

Sebagian besar–tetapi tidak semua– musik yang dianggap politis atau berkaitan dengan politik adalah lagu, dan banyak di antaranya merupakan lagu bertopik, yaitu lagu dengan lirik bertopik, yang dibuat untuk waktu dan tempat tertentu.

Bill Clinton itu saxofonist hebat. Bung Karno suka bermain gitar, selain menulis drama dan puisi. Puisinya yang bagus dan berjiwa nasionalis antara lain yang berjudul Aku Melihat Indonesia. Bung Karno memang negarawan hebat, politisi sejati, pemimpin karismatik, insinyur brilian dan seniman cemerlang. Beliau suka menulis naskah drama. Tonil-tonil awal beliau tulis di Ende, Flores, saat masa pengasingan 1934-1937.

Hasan Tiro juga penyuka musik klasik kelas dunia. Presiden SBY juga menyukai music  dan pernah membuat lagu. Jokowi penggemar Metallica walaupun tidak sesuai dengan penampilannya.

Sebenarnya para musisi juga “berpolitik” dalam arti sejati: berkarya untuk kebaikan umum (bonum commune) — itulah tujuan politik. Cuma para politisi cenderung “main kotor” yang bikin nilai dan makna politik tergerus.

Saya menganggap para musisi adalah “politisi sejati”: politik dalam arti memberi sumbangan bagi peradaban dan kemanusiaan. Matilah kita di bumi ini kalau tiada musik, atau paling kurang kita kayak “batu karang” semua.

Saya terkenang Uncle Franky Sahilatua. Saya yang panggil “Bang Franky” (dalam satu Acara di Bali tahun 2012 silam), almarhum juga masih suka nyanyi bareng di bawah panggung dengan anak-anak gerakan dari seluruh Indonesia, saat itu sedang Acara ‘Global Warming’ di Bali, sampai -sampai beberapa pejabat yang hadir juga menyanyikan lagu Land for Food Not for Oil.

Nah, seperti juga Iwan Fals, Bang Franky “berpolitik tinggi lewat musik”: bersuara untuk bangsa dan negeri lewat petikan gitar dan bernyanyi.

Itulah “politik kebangsaan”, bukan “politik kekuasaan”.

Memang, musik bikin politik lebih “rileks dan manusiawi”.

Musik bikin kita tetap sadar diri: hidup sesungguhnya adalah panggung seni tanpa henti.

Bukankah Bang Rafly dan Haji Uma sebelumnya dikenal juga lewat musik?

Tapi, di Aceh, dunia music kerap diterjemahkan negatif oleh politisi. Aliran religius komersil yang mereka anut, mendiskreditkan musik dan musisi sebagai bagian dari pelaku aktivitas mengundang bala.

Live music dilarang, konser  dilarang, gitar dibenci, piano dicaci maki. Padahal, sampai sekarang, belum ada seniman Aceh yang melakukan korupsi, memperkosa murid di lembaga pendidikan, merusak lingkungan hidup, dan kejahatan lainnya.

Musisi dan dan karya yang dihasilkan selalu demi menghadirkan kegembiraan, kesadaran berbangsa, sekaligus refleksi. Bila ada satu dua yang berjoget di saat konser, bukankah itu bukan kejahatan? Sekadar ekspresi kegembiraan. Apakah kegembiraan tidak boleh lagi diwujudkan?

Artikel SebelumnyaPolres Pidie Pastikan Pengungsi Rohingya Aman
Artikel SelanjutnyaVolvo EX30 Diluncurkan Perdana di GIIAS 2024
Zulfadli Kawom
Seniman, aktivis kebudayaan, Mekanik di Malaysia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here