Mukim Lamteuba, Sejarah dan Kebudayaannya

Panorama Gunung Seulawah dilihat dari Kemukiman Lamteuba. Foto: Muhajir Al-Fairusy untuk Komparatif.ID.

Mukim Lamteuba yang berada di pinggang Gunung Seulawah merupakan salah satu mukim tertua di Aceh. Lamteuba berasal dari kata lham teubai (tembilang tebal-red) yang digunakan untuk menggali lubang saat membuka permukiman di bekas danau besar di pinggang Seulawah.

Uroe gantoe atau pasar mingguan Lamteuba yang digelar saban Sabtu, tampil lebih meriah pada Sabtu,tanggal 23 Desember 2023.Masyarakat tidak hanya datang untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, melainkan ikut serta menyaksikan pembukaan Festival Khanduri Budaya Lamteuba.

Perhelatan budaya pertama sekali dalam sejarah Mukim Lamteuba mendorong banyak pengunjung. Ragam atraksi budaya Aceh dan Lamteuba ditampilkan. Kehadiran panggung utama dengan sederet aksi pembukaan pada Piasan budaya Lamteuba ikut menyemarakkan uroe gantoe yang didukung oleh Haria Peukan Kemukiman Lamteuba.

Baca: Teuku Nyak Makam, Hidup Mulia Atau Mati Syahid

Salah satu sudut pasar juga disulap menjadi galeri pameran sederhana. Berbagai macam produk kebudayaan Lamteuba ditampilkan, mulai dari kuliner hingga alat teknologi tradisional yang kerap digunakan oleh masyarakat di kawasan lembah Seulawan ini sebagai inti kebudayaan mereka yang bercorak agraris.

Mukim Lamteuba sebagai salah satu mukim tertua di Aceh, diapit oleh bukit dan hijaunya rimba hutan. Di timur kemukiman, berdiri tegak Gunung Seulawah, seakan pemukiman ini tepat berada di lembah pegunungan kebangaan rakyat Aceh. Gunung yang namanya disemat pada pesawat pertama Indonesia, yang dimaknai sebagai simbol modal Aceh bagi keberlangsungan negara ini.

Jarak dari kawasan penduduk menuju ke kaki Gunung Seulawah memerlukan waktu seharian penuh dengan berjalan kaki.  Jika cuaca sedang bagus, pesona keindahan Gunung Seulawah dapat dinikmati seutuhnya dari Kemukiman Lamteuba. Warna hijau pepohonan nan apik dipadu dengan luasnya persawahan milik masyarakat Lamteuba yang menghampar sepanjang kemukiman ini. Beberapa sawah terdapat bebatuan besar, diduga kuat adalah batuan vulkanik berjenis basal dari letusan gunung berapi yang pernah terjadi.

Asal Muasal Nama Mukim Lamteuba

Dari sumber sejarah lisan masyarakat Lamteuba, penamaan kemukiman ini berasal dari kata lham teubai (tembilang tebal) atau versi lain menyebut lham teuba (tembilang yang dibawa oleh para perintis kemukiman ini).

Jawaban ini sekaligus mematahkan argumen sesat seorang penceramah di Aceh, yang menuduh dan membangun stigma miring jika Lamteuba berasal dari kata tuba (racun). Sang penceramah yang tidak memiliki latar pengetahuan sejarah (ahistoris) kian abnormal dengan mengaitkan kata tuba (racun) dengan peristiwa kematian seorang Panglima Perang Aceh Teungku Chik Di Tiro.

Muhammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad menerangkan, Teungku Chik Di Tiro memang meinggal dunia setelah memakan racun (Aceh; tuba) dari seorang perempuan paruh baya dari kawasan sekitar. Akan tetapi tidak ada sangkut paut dengan Kemukiman Lamteuba. Konyolnya, sang penceramah dengan percaya diri mengaitkan peristiwa terbunuhnya Tgk Chik Ditiro dengan kata tuba dengan menerka nama Mukim Lamteuba berasal dari kata tuba.

Rumoh Aceh masih dilestarikan oleh masyarakat Kemukiman Lamteuba, Aceh Besar, sebagai kahazanah budaya yang dirawat demi menjaga nilai tradisi. Foto: Muhajir Al-Fairusy untuk Komparatif.ID.
Rumoh Aceh masih dilestarikan oleh masyarakat Kemukiman Lamteuba, Aceh Besar, sebagai kahazanah budaya yang dirawat demi menjaga nilai tradisi. Foto: Muhajir Al-Fairusy untuk Komparatif.ID.

Sang penceramah tidak hanya menunjukkan keserampangan sejarah yang diutarakan, lebih jauh ia telah menukas secara kasar jika Kemukiman Lamteuba bagian dari kawasan kriminal yang tega meracuni ulama.

Orasi ini jelas ditolak dan dibantah oleh masyarakat Mukim Lamteuba secara meluas. Toponomi kemukiman mereka telah ada jauh sebelum Tgk Chik Ditiro yang mendapat restu dari Teungku Chik Tanoh Abee melawan Belanda harus terbunuh karena racun seorang perempuan paruh baya.

Baca: Moleknya Wajah Aceh Dalam Ornamen Masa Lampau

Muhammad Yaqub (80 tahun) amat menyesali narasi hoaks tersebut. Ia seorang warga Mukim Lamteuba yang berusia sepuh, paham betul sejarah kampung halamannya. M. Yaqub mengurai sejarah Kemukiman Lamteuba, berdasarkan cerita yang diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya.

Bermuasal dari Sebuah Danau

Dulunya, kawasan Lamteuba adalah danau yang luas. Masyarakat menyebutnya lautan. Pun demikian, penyebutan danau tampak lebih terukur, mengingat Lamteuba berada di lembah salah satu gunung berapi aktif, kondisi ini memang kerap membentuk danau di sekeliling pegunungan aktif layaknya Danau Toba.

Permukiman ini diapit oleh bukit dengan bentuk cekungan. Para penghuni Lamteuba awalnya menetap di kawasan pinggiran danau, di antaranya Goh Cot Jeulana, Goh Cot Teungku, dan Goh Dua.

Dari keterangan M. Yaqub, debit air kerap mengalir ke kawasan pemukiman awal di Cot Puteng. Melihat kondisi ini, para sepuh seperti Teungku Cot Djailani bersepekat untuk mengeringkan danau agar kawasan ini dapat dijadikan pemukiman yang lebih luas. Selanjutnya, para sepuh dan leluhur Lamteuba secara bersama mengumpulkan lham (tembilang) dengan ukuran tebal guna mengeruk dan menimbun kawasan danau.

Pengerukan dan penimbunan tanah menggunakan tembilang yang berukuran tebal (Aceh; teubai) pertama sekali dilakukan di kawasan Cot Puteng (kini di belakang Kampung Lam Apeng). Selanjutnya, kumpulan orang yang ada di Goh Cot Jeulana bersepakat untuk menetap di kawasan baru ini, dan memberi nama kampung mereka dengan nama Lham Teubai. Toponomi ini disadur dari penggunaan alat penggalian yang digunakan pertama sekali.

Pemukiman berikutnya disusul kelompok kedua dari Goh Rimba Trieng Lah yang memilih bermukim di kawasan dekat pantai danau (Aceh; pante). Maka, nama tempat ini selanjutnya diberi nama Lampante. Setelah itu, disusul kelompok dan rombongan dari Cot Goh Dua yang memilih menetap di kawasan Meunasah Baroeh, yang kini dikenal dengan sebutan Gampong Lambada. Pola pemukiman ini terus berlanjut hingga membentuk delapan gampong dalam Pemukiman Lamteuba.

Sebelum memiliki masjid kemukiman, menerut keterangan M. Yaqub, dulunya masyarakat Mukim Lamteuba harus berjalan jauh untuk Salat Jumat ke Krueng Raya-kawasan Lamreh. Selanjutnya, setelah penduduk mulai ramai, Salat Jumat dipindahkan ke Gampong Ateuk, situs masjid tertua tersebut kini masih ada di kawasan salah dayah di Gampong Ateuk, sebelum dipindahkan ke Lambada. Pemilihan Lambada sebagai pusat kemukiman tampaknya dipengaruhi oleh letak kampung ini di tengah-tengah pemukiman masyarakat Lamteuba. Situs sejarah masjid tertua kedua juga masih dapat dilihat jejaknya, bangunannya terdapat dalam komplek MIN Lamteuba, tepat di belakang masjid induk kemukiman sekarang.

Masjid tua di Lamteuba. Menurut catatan dibangun sekitar tahun 1885 Masehi. Foto: Muhajir Al-Fairusy untuk Komparatif.ID.
Masjid tua di Lamteuba. Menurut catatan dibangun sekitar tahun 1885 Masehi. Foto: Muhajir Al-Fairusy untuk Komparatif.ID.

Sebagai kemukiman yang bercorak agraris dan berdampingan dengan rimba raya, kondisi ini menuntun penduduk memiliki kemampuan survive yang piawai dengan alamnya. Tidak mengherankan, jika kawasan ini masih terdapat pawang rusa, pawang unoe (Indonesia; madu) dan pawang hutan. Dulunya, di Mukim Lamteuba juga ada pawang gajah dan harimau. Tapi pewarisan pengetahuan itu tampaknya tidak dilanjutkan. Pun demikian, jejak daya tahan masyarakat setempat terhadap perubahan sosial yang kian menggerogoti budaya Aceh masih dapat disaksikan. Keberadaan rumah Aceh yang khas masih terdapat di sepanjang pemukiman ini. Ukiran-ukiran yang terdapat di dinding rumah Aceh kawasan ini jelas menunjukkan daya seni dan budaya yang dimiliki masyarakat.

Selain itu, tradisi berburu rusa, glueh dan peulandok (kancil) telah lama dilakukan masyarakat tempatan. Pawang pemburu tampak sangat berpengalaman menjelajah hutan rimba di lembah Seulawah. Rumah-rumah pawang, umumnya dipasang kepala rusa bertanduk sebagai saksi atas perburuan mereka.

Baca: A. Madjid Ibrahim, Guru Besar dari Krueng Agama

Di antara keunikan masyarakat Mukim Lamteuba masih ada seni meusifeut atau merukon, yang berisi nasihat agama. Selanjutnya, dalam konteks kuliner, amat piawai mengolah tebu menjadi meulisan (gula cair) natural dan dikenal dengan istilah meulisan teubee.

Dari keterangan penduduk, dulunya meulisan teubee dibawa dalam drum drum besar ke Pasar Seulimuem menggunakan kuda. Artinya, produksi ekonomi masyarakat dari alamnya telah lama berlangsung. Tidak hanya meulisan teubee, mereka juga cakap memasak masakan khas Aceh, mulai dari boh manoek leumpeng, sambai on peugaga, hingga jenis masakan Aceh lainnya.

Mukim Lamteuba sebagaimana kawasan Aceh Besar lainnya juga memiliki tradisi memasak kuah beulangong atau kuah rayek. Bedanya, masyarakat Mukim Lamteuba lebih memilih material pohon pisang daripada buah nangka. Kuah Rayek Lamteuba dikenal sedap, banyak pengunjung memuji cita rasanya.

Dalam konteks ketahanan pangan, orang Mukim Lamteuba juga telah lama mengenal konsep penyimpanan padi dengan tradisi mereka. Para petani jarang menggunakan kroeng pade sebagaimana lazimnya petani di kawasan Aceh lainnya. Masyarakat Lamteuba kerap memanfaatkan serambi (seuramoe keu) rumah mereka yang berbentuk panggung dengan menumpuk padi di sana. Tumpukan padi di setiap ruang seuramoe kerap digunakan untuk alas tidur yang empuk. Saat kebutuhan keluarga muncul, maka secara perlahan padi akan diambil sesuai kebutuhan untuk selanjutnya dijual.

Catatan redaksi: Tulisan khas, dilarang di-copy baik sebagian maupun seluruhnya, sebelum 24 Januari 2024.

Artikel SebelumnyaKIP dan Pemkab Pidie Teken Dana Hibah Pilkada Serentak 2024
Artikel SelanjutnyaBerwisata ke Sabang, Ayah-Anak Tewas Tertimpa Dahan Pohon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here