MPU Selamat, MAA Kiamat

Muhajir Al-Fairusy
Muhajir Al-Fairusy, ia menggugat Pemerintah Aceh yang disebut olehnya telah merusak Majelis Adat Aceh (MAA).

Adat ngon hukom agama lage zat ngon sifeut, demikian proklamir identitas keacehan digemakan sejak dulu. Islam dan adat dikondisikan untuk berjalan beriringan dalam rangka menopang pembangunan Aceh di masa yang akan datang. Mewujudkan dua slogan ini; agama dan adat, sejak pascakemerdekaan, Hasjmy telah mendorong lahirnya lembaga-lembaga keistimewaan Aceh yang meliputi agama, adat dan pendidikan. Meskipun, keduanya memiliki nasib berbeda kemudian hari, harus kandas dengan nuansa politis. Aceh kian tak menentu.

Pemberian status Daerah Istimewa Aceh, berarti memberikan dan memosisikan otonomi hak-hak masyarakat Aceh dalam hubungan tatanan/norma-norma, agama, pendidikan dan adat kebiasaan menjadi lebih berperan dalam kehidupan masyarakat. Hal itu ditegaskan dalam Keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, di mana kepada Daerah Aceh diberikan hak penyelenggaraan keistimewaan bidang agama, pendidikan dan adat istiadat untuk dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Bagaimanapun, dalam perjalannya, dua lembaga istimewa Aceh; MAA dan MPU harus mengalami nasib berbeda kemudian hari. Sejak tahun 2018, lembaga MAA mulai diobok-obok hingga tidak mendapat perlakuan istimewa dari Pemerintah Aceh, kondisi ini diawali dengang tidak dilantiknya ketua MAA terpilih, Badruzzaman Ismail sebagai ketua. Ragam alasan dilontarkan hingga berujung ke pengadilan.

Sejatinya, kasus ini tak perlu merambah arena pengadilan, toh MAA sendiri sebagai lembaga adat telah berhasil mengusung konsep penyelesaian tindak pidana ringan dengan pendekatan adat di berbagai tempat. Tapi, didesak untuk tidak mampu menuntaskan perkara politisasi atas lembaga adat ini. Di pengadilan, mulai dari tingkat PTUN hingga MA, jelas ketua terpilih Badruzzaman Ismail memenangkan perkara kisruh MAA. Tapi, dengan sikap dingin dan abuse of power, Pemerintah Aceh memilih bungkam dan tidak lantas mengukuhkan Badruzzaman Ismail sebagai ketua yang seharusnya akan berakhir pada tahun 2023 nanti. Kondisi ini, telah menyebabkan benturan keras yang selanjutnya mendorong kian carut marut internal lembaga MAA yang terus berproses ke arah tak menentu.

Situasi ini berbeda dengan MPU, yang mendapat perlakuan istimewa dari Pemerintah Aceh. Tidak ada pemboikotan dan penundaan berbau politis untuk tidak melantik ketua terpilih. Bandingkan dengan MAA.

Sejatinya kedua lembaga ini adalah lembaga istimewa yang memang seharusnya mendapat perlakuan istimewa. Adat dan agama di Aceh memang telah lama tercerabut dari akarnya seperti yang diungkap oleh guru besar antropologi UGM asal Aceh, Irwan Abdullah. Bahkan, dikooptasi ke arah yang lebih politis. Tradisi besar Aceh yang besar dari agama dan adat sudah terkubur lama.

Menelisik sejarah, jelas mengurai bagaimana lintang pukang Aceh mengistimewakan diri dari perjalanan awal kemerdekaan Indonesia, termasuk dalam melahirkan lambada adat Aceh. Berawal dari Ikrar Lamteh tahun 1959, melalui Wakil Perdana Menteri Hardi Nomor 1 tahun 1959 mendorong Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, seiring turun gunungnya Daud Bureueh yang mulai memberontak sejak tahun 1953 s/d 1962 di Peureulak, Aceh Timur dengan dijemput Kolonel M. Yasin.

Bagaimanapun, Akibat dari peristiwa itu, telah menimbulkan kerugian harta benda dan korban manusia, mandeknya sektor pendidikan, ekonomi, sosial dan kesehatan, lebih-lebih merosotnya pembinaan adat budaya yang sangat merugikan harkat dan martabat masyarakat Aceh bagi kelanjutan generasi mendatang.

Awalnya, hak istimewa Aceh itu terkesan cek kosong yang tidak ada apa-apanya. Karena itu, Gubernur Aceh, Hasjmy yang dilantuk sejak 27 Januari 1957 mengambil inisiatif membentuk lembaga LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh) tahun 1986, dan berubah nama menjadi MAA pada tahun 2003.

Atas dasar itu, dilanjutkan penetapan status hukumnya dengan membentuk Qanun Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun itu ditetapkan berlakunya sejak diundangkan tanggal 10 Maret 2004 M, atau bertepatan 19 Muharram 1425 H, LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 2004 NOMOR 8 SERIE D NOMOR 5. Organisasi Majelis Adat Aceh, struktur lembaganya dibentuk tingkat provinsi, kabupaten/kota, perwakilan provinsi, kecamatan, mukim sampai ke gampong-gampong.

Pertama kali pembentukan pengurus MAA Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan, atas pertimbangan hasil Keputusan Kongres tentang perubahan LAKA menjadi MAA, yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur No.430/066/2003 tanggal 8 Januari 2003.

Melalui Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 8 Januari 2003 Nomor 430/066/2003 ditetapkanlah Pengurus MAA pertama (periode 2003–2008) yang dipimpin oleh Prof. Dr.H.Hakim Nya’ Pha, S.H., D.E.A sebagai Ketua Umum, H. Badruzzaman Ismail, S.H., M.Hum sebagai Ketua I dan Said Ismail Sm.Hk sebagai Sekretaris Umum. Kepengurusan ini berlaku sejak tanggal pengukuhan/ pelantikannya oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si, di Ruang Tengah Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, ba’da salat Dhuhur pukul 13.30 WIB, bersamaan dengan pelantikan pengurus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Lembaga Istimewa yang Kian Terseok
Majelis Adat Aceh memang kian terseok tak tentu arah. Ide pembangunan dan pelestarian adat sudah lama stagnan sejak kisruh diciptakan. Mengobok-obok adat, sejatinya meruntuhkan kekuatan dan semangat orang Aceh dalam membangun daya tahan budayanya yaitu ”Adat Aceh”.

Secara teori adat dipahami sebagai suatu realitas proses interaksi antar individu dan kelompok manusia yang melahirkan format-format nilai budaya berwujud norma, moral, hukum, seni dan tatanan aturan-aturan yang satu dengan lainya berkorelasi menjadi suatu sistem. Sistem inilah yang mengikat masyarakat Aceh dalam kelompok budaya masing-masing sesuai dengan kawasan lingkungannya dalam rangka mengukuhkan identitas mereka.

Bagi masyarakat Aceh, pembangunan budaya dan adat yang disertai dengan syariat adalah suatu kemestian sejarah. Keduanya dapat menjadi perekat kekuatan kesatuan dan persatuan keacehan dalam membangun negerinya. Hukum dengan adat laksana zat dengan sifat, tidak boleh dicerai berai sesuka hatinya.

Perlakuan berbeda pada dua lembaga istimewa ini oleh penguasa Aceh sekarang, menunjukkan sikap politis dalam rangka mendukung meruntuhkan martabat salah satu pilar lembaga keistimewaan Aceh. Penguasa Aceh seharusnya belajar pada hadih madja dalam mengelola keistimewaan Aceh, “Hukom (Agama) ngon adat lagei zat ngon sifeut, hanjeut meu-reut-reut ki nyang hawa”.

*)Penulis adalah Peneliti Etnografi dan Kebudayaan Aceh.

Artikel SebelumnyaPT Trans Continent Sumbang 1 Ekor Lembu untuk Warga Beurandeh
Artikel SelanjutnyaAjari Korut Tentang Teknologi Blockchain, Dua Pria Eropa Bermasalah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here