Namanya Ripa Belasungkawa. Sejak ia mati, hantu api bergentayangan di kampung kami. Ia menebar teror ke segala penjuru desa. Sepanjang malam berteriak minta tolong.
Suatu hari di bulan Februari 2025, Ripa Belasungkawa mati. Ia terjatuh ke kolam tempat pembuangan akhir tahi masyarakat yang dibangun oleh Pemerintah Gampong Pungget.
Coran semen tebal penutup kolam tahi, jebol tiba-tiba. Ripa Belasungkawa yang sedang berdiri di atasnya terjatuh ke dalam kolam tahi yang dalamnya lebih 10 meter.
Bilamana itu bukan kolam tahi, tentu saja akan banyak yang segera menolong. Karena 90 persen warga Gampong Pungget merupakan ahli dalam hal menyelam dan berenang.
Tapi karena Ripa terjatuh ke dalam lumpur tahi yang baunya sangat menyengat, tak ada yang bersedia terjun menyelamatkan lelaki berkumis dan berkacamata itu.
Ripa Belasungkawa sempat berteriak minta tolong. Ada durasi sekitar lima menit ketika ia terlihat berjuang keras berenang di tengah lautan tahi. Tapi teriakannya dianggap angin lalu oleh hadirin yang berkumpul di sana, meramaikan potong pita proyek yang telah dibangun setahun lalu.
Pejabat dan warga yang hadir pada acara peresmian greenhouse gas tahi, hanya memandang sang pejabat tinggi PT Pancuri Tujoh Energi Niaga yang timbul tenggelam dalam tahi.
Sebagian lagi merekam peristiwa itu menggunakan telepon genggam, dan seolah berlomba, mengeposkannya ke media sosial masing-masing.
Ketika Damkar tiba setengah jam kemudian, Ripa Belasungkawa telah sepenuhnya tenggelam ke dasar kolam. Proses evakuasi tidak membutuhkan waktu lama. Petugas Damkar yang menggunakan pakaian khusus, berhasil menemukan tubuh sang pejabat di dasar kolam.
Petugas medis segera melarikan Ripa ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, tubuh penuh lumpur tahi itu diperiksa. Dokter menyatakan bahwa Ripa telah mati beberapa waktu sebelum dibawa ke hospital.
Keluarga sang pejabat menangis histeris. Jenazah dibawa pulang ke rumah megah di kota, jauh dari Gampong Pungget.
Baca juga: Misteri Raja Itam di Blang Santewan
Seluruh media massa menulis kabar kematian sang Dirut PT Pancuri Tujoh Energi Niaga. Televisi meliput langsung ke lokasi tempat pembuangan akhir tahi. Dengan gaya reportase bercerita, mereka melukiskan peristiwa naas itu dengan sangat apik. Ucapan duka disampaikan para koleganya di koran-koran besar di ibukota.
Beberapa media menulis obituari, mengisahkan perjalanan hidup almarhum yang dikenal ramah dan santun. Testimoni dikumpulkan dari kolega dan sahabat dekat. Semuanya mengaku kehilangan sang pejabat yang terkenal gemar membantu orang miskin.
Satu minggu kemudian, pada malam Jumat dinihari, Rahman Serigala, seorang petugas ronda malam melintas di tempat tewasnya Ripa. Saat menoleh ke lokasi kejadian, dia melihat kobaran api dari dalam kolam tahi yang telah dipasangi police line.
Rahman Serigala mengendap-endap mendekati kolam. Pria berkulit gelap dan tinggi besar itu, dikenal pemberani. Tak ada yang ia takuti di dunia ini, kecuali istrinya yang super cerewet.
Dia tidak takut polisi, dia tidak takut kepada tentara, dia tidak takut kepada penagih pajak, karena ia memang tak pernah dianggap sebagai warga negara yang layak ditagih pajak. Ia hanya takut kepada Marni, perempuan yang ia nikahi 15 tahun lalu.
Perihal mengapa Rahman sangat takut kepada istrinya, nanti akan diceritakan pada kesempatan yang lain. Pokoknya, bila Marni sudah mengeluarkan kalam, sesibuk apa pun Rahman, ia tetap akan pulang.
Rahman memperhatikan dengan seksama ke arah kolam. Kolam itu tampak terang-benderang. Aroma busuk menyeruak hingga Rahman harus menutup hidung.
Tiba-tiba sesosok pria yang seluruh badannya diselimuti api muncul dari kolam. Pria itu meraung-raung minta tolong.
“Bukankah itu Pak Ripa Belasungkawa? Apakah dia telah menjadi hantu?” tanya Rahman kepada dirinya sendiri.
Sosok lelaki yang tubuhnya diselimuti api itu, berjalan sambil berteriak minta tolong.
***
Besok pagi seisi kampung bercerita melihat sosok hantu api berjalan-jalan di perkampungan sembari meraung-raung minta tolong.
Hantu api itu singgah di kedai Kipli Angin Kompresor yang berjualan bahan bakar minyak. Hantu api itu minta kepada Kipli supaya mengguyur tubuh hantu itu dengan pertalite. Kipli tentu saja tidak mau. Dia memilih lari sambil membaca Ayat Kursi dengan suara lantang.
Hantu api itu juga mendatangi Warkop Negeri Sembilu. Kepada pengunjung kedai yang tidak begitu banyak, hantu tersebut meminta supaya tubuhnya disiram dengan Pertalite.
“Saya tidak menjual BBM,” seru Heru, pemilik Warkop Negeri Sembilu.
“Tuangkan saja semua Pertalite yang ada di tangki motor-motor itu,” kata hantu api dengan suara penuh amarah.
Heru yang berlagak tidak takut, demi marwahnya di depan pengunjung warkop, mencoba berdialog. Tapi hantu api membentaknya.
Bentakan itu membuat seluruh pengunjung warkop lari tunggang-langgang. Melihat pengunjung telah lari, Heru pun tidak mau ketinggalan. Ia mengambil langkah seribu.
***
Teror hantu api tak kunjung usai. Setiap malam, pada dini hari, ia selalu muncul di jalan desa. Bila berpapasan dengan manusia, hantu itu selalu meminta tubuhnya diguyur Pertalite.
Akhirnya, tak ada lagi yang beraktivitas pada malam hari. Jam enam sore, warung ditutup, pelaksanaan Salat Magrib dan Insya dilakukan di rumah masing-masing. Satu-satunya yang tetap beraktivitas di luar rumah pada malam hari hanyalah Rahman Serigala.
Ia yang sangat penasaran, mendatangi kemana saja hantu api pernah muncul. Tapi sejak malam pertama, dia tidak pernah lagi bertemu hantu itu. Sepertinya hantu api enggan menampakkan diri di depan lelaki yang tidak memiliki saraf takut.
Kini Rahman dikenal sebagai pemburu hantu api. Namanya disanjung-sanjung sebagai pria pemberani yang menjadi andalan. Berkat keberaniannya itu, arwah Ripa Belasungkawa semakin menjauh dari Gampong Pungget.
“Andaikan dia tidak takut kepada Marni, sungguh keberaniannya telah paripurna,” sebut Heri Tahir, saat menyeruput kopi pagi di Warkop Bayar Bayar Bayar milik Koperasi Sukatani yang dikelola pensiunan polisi berpangkat brigadir.
“Setiap manusia memiliki titik lemah,” timpal Mulyono, pria transmigran yang telah 40 tahun menetap di Gampong Pungget.
Mereka tergelak. Hati mereka diliputi rasa gembira, karena sosok Rahman seperti superhero di pentas stand up comedy.
Sejak kemunculan hantu api, Rahman menjadi sosok karismatik, sekaligus jenaka. Keberaniannya dipuji. Rasa takutnya kepada Marni menjadi bahan candaan di tengah ketakutan terhadap teror hantu Pertalite itu.
Perilaku masyarakat pun berubah. Sejak kemunculan teror hantu api, mereka tidak lagi menggunakan Pertalite. Kios-kios juga tidak lagi menjual Pertalite. Semuanya menjual Pertamax. Semua warga menggunakan Pertamax pada kendaraan masing-masing.
***
Tiga bulan kemudian, pemerintah menyatakan bila Pertalite tidak lagi diproduksi. Minyak warna hijau itu tidak aman digunakan. Hasil penelitian sebuah lembaga independen Pergi Aja Dulu, keberadaan Pertalite di pasaran mengundang kemunculan hantu api.
Rahman dan Marni menghilang dari kampung. Tak ada yang tahu kemana mereka pergi. Seseorang yang mengaku melihat mereka terakhir kali pada suatu petang, mengatakan bila enam hari lalu Rahman dan Marni pergi tergopoh-gopoh. Mereka dijemput oleh beberapa orang berbadan tegap yang menggunakan tiga unit MPV mewah.
Setahun kemudian, Rahman Serigala muncul lagi di Gampong Pungget. Dia datang membawa sebuah kabar yang membuat seisi kampung gempar.
Ternyata kematian Ripa Belasungkawa tidak murni kecelakaan. Dia sengaja dihabisi demi menyelamatkan bos besar yang memimpin bisnis ilegal mengoplos Pertalite di pabrik PT Pancuri Tujoh Energi Niaga.